Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Politik Turki Pada Era Pimpinan Recep Tayyip Erdogan
12 November 2024 9:38 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Aqilah Hanifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perbandingan antara dinamika politik di Provinsi Banten dan gaya kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan di Turki menawarkan analisis menarik tentang bagaimana agama, populisme, dan pembangunan infrastruktur digunakan untuk memperkuat kekuasaan baik di tingkat nasional maupun lokal.
ADVERTISEMENT
1. Populisme Berbasis Agama sebagai Alat Politik
Salah satu ciri utama kepemimpinan Erdogan adalah pendekatan populis yang berbasis pada nilai-nilai Islam konsevatif. Erdogan menampilkan diri sebagai pemimpin yang "mengembalikan" Turki kepada akar agama, yang menurutnya terpinggirkan oleh masa lalu sekuler. Melalui kebijakan seperti mengizinkan jilbab di institusi publik, Erdogan menyasar kelompok-kelompok konservatif yang merindukan identitas Islam yang lebih kuat dalam pemerintahan.
Di Banten, pendekatan berbasis agama juga sangat terasa. Provinsi ini dikenal dengan masyarakat yang religius serta budaya pesantren yang kuat. Pada saat pemilihan, calon-calon pemimpin yang menonjolkan identitas keislaman kerap kali mendapat dukungan yang luas dari publik. Agama tidak sekadar menjadi nilai pribadi, melainkan alat politik untuk menarik suara kelompok konservatif. Metode ini sering menciptakan cerita tentang "kembalinya nilai-nilai Islam" dalam upaya untuk membuat masyarakat terwakili. Namun, konsekuensinya adalah muncul polarisasi, yang dapat menyebabkan ketegangan sosial. Ini terutama berlaku ketika kelompok tertentu merasa tidak diperhatikan oleh kebijakan.
ADVERTISEMENT
2. Pembangunan Infrastruktur sebagai Sarana Legitimasi dan Popularitas
Erdogan mengandalkan proyek-proyek infrastruktur besar, seperti pembangunan bandara instanbul dan jaringan kereta cepat, sebagai bukti keberhasilan pemerintahannya. Proyek-proyek ini memberikan dua efek penting, yaitu meningkatkan citra pemerintah yang efektif dan menraik investasi serta meningkatkan ekonomi lokal. Namun, proyek-proyek besar ini sering kali dikritik sebagai cara untuk memperkaya rekan-rekan politik Erdogan, mengingat banyak kontrak diberikan kepada perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan kontrak diberikan keperusahaan yang memiliki keterkaitan dengan lingkaran kekuasaannya.
Di Banten, pembangunan infrastruktur juga menjadi alat penting bagi pemimpin untuk menunjukkan hasil kerja nyata. Jalan-jalan diperbaiki, fasilitas umum dibangun, dan proyek-proyek pariwisata dikembangkan demi menunjukkan "perubahan" yang dibawa pemerintah daerah. Namun, seperti di Turki, isu transparasi dalam pengelolaan dana proyek seringkali muncul. Sering terdengar tuduhan bahwa sebagian proyek hanya memberi manfaat bagi kelompok elit politik lokal atau keluarga yang memiliki hubungan dekat dengan dengan kekuasaan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan di kalangan publik mengenai sejauh mana proyek infrstruktur benar-benar bertujuan untuk kepentingan rakyat, atau sekadar memperkaya pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
3. Tuduhan Korupsi dan Dinasti politik
isu nepotisme dan korupsi menjadi tantangan besar bagi Erdogan. Di Turki, berbagai laporan menuding bahwa jaringan keluarga dan teman dekat Erdogan menerima keuntungan besar dari proyek-proyek pemerintah. Kritik ini menciptakan stigma bahwa pemerintahan Erdogan terlalu eksklusif dan tidak memberikan kesempatan pada masyarakat umum untuk terlibat dalam bisnis atau proyek pemerintah.
Situasi ini juga sangat relevan di Banten. Di provinsi ini, dinasti politik sering menjadi topik hangat. Isu korupsi yang melibatkan pemimpin daerah dan keluarga atau kolega dekat mereka menjadi perhatian masyarakat luas. Dinasti politik di Banten seringkali mengundang kritik karena memonopoli kekuasaan dan menghambat partisipasi politik yang lebih luas. Dinasti ini memungkinkan keluarga-keluarga tertentu untuk terus menguasai roda pemerintahan daerah dalam waktu lama, sehingga mempersempit peluang bagi orang-orang di luar lingkaran kekuasaan untuk berpartisipasi secara penuh dalam politik. Kritik tajam ini, seperti halnya di Turki, menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah, yang pada akhirnya berdampak pada stabilitas politik lokal.
ADVERTISEMENT
Dalam era kepemimpinan Erdogan, Turki menghadapi banyak kritik dari organisasi hak asasi manusia terkait pembatasan kebebasan berpendapat. Media dan jurnalis yang berani mengkritik kebijakan Erdogan sering kali mendapat tekanan hingga penangkapan. Pembatasan kebebasan ini membuat banyak warga Turki merasa tidak nyaman untuk berbicara terbuka mengenai pandangan politik yang berbeda.
Di Banten, ruang oposisi dan kebebasan berpendapat juga tidak lepas dari kendala. Terdapat kasus dimana lawan-lawan politik atau tokoh kritis mengalami tekanan dalam berbagi bentuk, seperti intimidasi atau pengawasan ketat. Meski dalam bentuk yang lebih halus dibandingkan Turki, tekanan ini tetap menimbulkan dampak psikologis yang kuat bagi masyarakat. Sebagai akibatnya, kritik terhadap pemerintah daerah cenderung melemah, dan ruang demokrasi menjadi terbatas, sehingga pemerintah lokal dapat memanfaatkan situasi ini untuk menjalankan kebijakan tanpa banyak penentangan.
ADVERTISEMENT
Erdogan menggunakan isu kedaulatan nasional dan perlindungan dari "ancaman asing" untuk menggalang dukungan dan menekan pihak oposisi. Kebijakan yang menonjolkan nasionalisme ini tidak hanya bertujuan untuk memperkuat posisi Turki di panggung internasional, tetapi juga untuk meredakan kritik internal.
Di Banten, sering terjadi ketegangan antara kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat terkadang mengeluarkan kebijakan yang mempengaruhi langsung otonomi Banten dalam hal pengelolaan sumber daya atau kebijakan pembangunan. Pemerintah daerah sering kali mengkritik intervensi ini sebagai bentuk pembatasan otonomi. Isu ini menciptakan ketegangan antara pejabat lokal dan pemerintah pusat, dan dapat digunakan oleh pemimpin lokal sebagai alat politik untuk memperkuat dukungan dari masyarakat Banten, seolah-olah mereka adalah "pelindung" kepentingan daerah yang siap melawan dominasi pusat.
ADVERTISEMENT
Meskipun Turki dan Banten berada dalam konteks politik dan skala yang berbeda, terdapat pola-pola serupa dalam pendekatan kekuasaan di kedua wilayah tersebut. Penggunaan populisme berbasis berbasis agama, penekanan pada pembangunan infrastruktur, nepotisme dan korupsi, pembatasan kritik, serta ketegangan antara kepentingan pusat dan daerah menunjukkan pola kepemimpinan yang berupaya mempertahankan kekuasaan dengan cara yang serupa.
Kesamaan pola ini membawa dampak yang perlu dipertimbangkan: jika pemerintah di Banten tidak mengelola isu-isu ini dengan transparasi dan akuntabilitas, maka hal ini bisa memicu ketidakpercayaan publi yang lebih luas dan melemahkan demokrasi di tingkat lokal. Begitupun dengan Turki.