Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mahasiswa Universitas Mercu Buana Studi Lapangan Kunjungi Klenteng Toasebio
24 November 2024 14:03 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Aqlima Arifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jakarta, 22 November 2024 – Mahasiswa Universitas Mercu Buana, Fakultas Ilmu
Komunikasi, mengunjungi Klenteng Toasebio di kawasan Pecinan Glodok, Jakarta
Barat, sebagai bagian dari studi lapangan mata kuliah Komunikasi Antarbudaya.
Kegiatan ini dipandu oleh dosen mata kuliah, Ibu Rosmawaty Hilderiah .P, Dr, S.S.sos., MT, dan dilaksanakan
dalam rangka program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Anggota
kelompok yang terlibat dalam kunjungan ini adalah Riandini Aureli Azzahra, Aqlima
Arifa, Nur Fitriani Puspita Sari, dan Fabian Okvaliant. Tujuannya adalah mempelajari
interaksi budaya yang terjadi antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat lokal di
kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sejarah Singkat Klenteng Toasebio
Klenteng Toasebio memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan kehidupan
masyarakat Tionghoa di Indonesia. Menurut Koh Andre, pemandu lokal, nama
"Toasebio" berarti pesan kebajikan. Klenteng ini menjadi pusat kebajikan sejak
didirikan ratusan tahun lalu. Namun, sejarahnya juga mencatat tragedi kerusuhan
besar pada 17 April 1740, yang dikenal sebagai Tragedi Kali Angke. Peristiwa
tersebut terjadi akibat ketegangan sosial yang dipicu kebijakan pajak kolonial
Belanda yang tidak adil.
Meskipun sempat mengalami kerusakan akibat kerusuhan, Klenteng Toasebio tetap
menjadi salah satu tempat ibadah yang paling dihormati oleh masyarakat Tionghoa
dan lokal di kawasan Pecinan. Hingga kini, klenteng ini menjadi simbol keteguhan
budaya Tionghoa di tengah keberagaman Indonesia.
Lokasi dan Wujud Akulturasi Budaya
Berada di kawasan strategis dekat pasar dan aliran sungai, Klenteng Toasebio
mencerminkan tradisi masyarakat Tionghoa yang memilih lokasi mudah diakses
untuk tempat ibadah mereka. Koh Andre menjelaskan bahwa Glodok dulunya
memiliki kanal-kanal seperti Venesia, yang menjadi pusat aktivitas perdagangan dan
interaksi budaya. Klenteng ini juga menunjukkan wujud akulturasi melalui
penghormatan kepada tokoh-tokoh lintas budaya, seperti Eyang Surya Kencana,
seorang tokoh Islam dari Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Toleransi sebagai Dasar Keharmonisan
Mahasiswa yang hadir mengamati bagaimana masyarakat Tionghoa dan lokal hidup
berdampingan dengan saling menghormati tradisi masing-masing. Klenteng
Toasebio menjadi bukti nyata bahwa toleransi mampu menciptakan harmoni di
tengah keberagaman budaya. Sebagai wujud penghormatan antaragama, klenteng
ini juga menghormati tokoh seperti Gus Dur yang dikenal sebagai simbol pluralisme
di Indonesia.
Pembelajaran Komunikasi Antarbudaya
Melalui kunjungan ini, mahasiswa memperoleh wawasan langsung tentang
bagaimana akulturasi budaya terjadi di masyarakat. Mereka menyaksikan bahwa
keberagaman dapat menjadi kekuatan jika dilandasi rasa saling menghormati. Studi
lapangan ini juga membantu mahasiswa memahami konsep komunikasi
antarbudaya dalam praktik nyata, sebagaimana diajarkan di kelas oleh Ibu Rosmawaty Hilderiah .P, Dr, S.S.sos., MT.
ADVERTISEMENT
Program MBKM yang diterapkan Universitas Mercu Buana memberikan kesempatan
bagi mahasiswa untuk belajar langsung dari masyarakat, memperluas wawasan,
dan memperdalam pemahaman mereka tentang keberagaman budaya Indonesia.
Klenteng Toasebio menjadi salah satu contoh nyata bahwa perbedaan budaya
bukanlah penghalang, melainkan aset yang harus dijaga bersama.