Konten dari Pengguna

Gelaran Sejenis ‘Banned Books Week’ Harus Hadir di Indonesia

Achmad Rohani Renhoran
Akademisi dan Penulis. Saat ini aktif menulis soal buku, media, dan literasi.
3 Januari 2023 19:05 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Rohani Renhoran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Book Burned (Sumber: pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Book Burned (Sumber: pexels.com)
ADVERTISEMENT
Sebagian dari kita mungkin masih ingat kasus penikaman Salman Rushdie saat memberi kuliah umum kepada mahasiswa Chautauqua Institution, New York (12/8/2022) kemarin. FBI menduga bahwa Hadi Matar, pelaku penikaman Rushdie sudah merencanakan hal itu sejak lama. Pasalnya, Matar yang merupakan imigran dari Lebanon selatan, juga merupakan bagian dari relawan kelompok Syiah ekstrem, yakni Korps Pengawal Revolusi Iran (IRGC).
ADVERTISEMENT
Pemerintah Iran sendiri melarang peredaran novel Rushdie, Satanic Verses, bahkan mengancamnya dengan hukuman mati melalui fatwa Ayatollah Khomeini selaku Imam besar Iran kala itu. Singkatnya, Satanic Verses dilarang beredar oleh Imam Khomeini sejak 1988 lalu, karena dinilai memuat tulisan yang menghina kehidupan Nabi Muhammad SAW dan umat Islam.
Sangat disayangkan memang, mengingat novel itu tidak lebih dari sebuah karya fiksi berdasarkan imaji Rushdie semata. Karya yang kalau boleh meminjam istilah Gus Dur dalam resensinya di majalah Editor (1989), adalah hanya sebuah “parodi” semata. Tidak lebih dari itu.
Meski demikian, kebijakan pelarangan buku seperti ini acapkali dijumpai sampai saat ini. Kasus tersebut pun tidak hanya berlaku terhadap Satanic Verses saja tentunya. Ada banyak kasus serupa berlangsung di berbagai belahan dunia. Tindakan ini dilakukan secara sadar, mengatasnamakan norma agama, kesusilaan, hingga pelanggaran terkait perbedaan pandangan politik. Saya akan coba membahasnya satu per satu.
ADVERTISEMENT
Buku yang dilarang Beredar
Bagi para penggemar karya-karya kontroversial, pasti akrab dengan novel Lolita, dan Ulysses. Karya-karya ini merupakan dua dari sekian banyak novel yang dilarang beredar di sejumlah negara. Lolita diterbitkan di Paris pada 1955 oleh penerbit Maurice Girodias. Novel karya Vladimir Nabokov dari Rusia ini dilarang beredar di negara Argentina, Kanada, Selandia Baru, Inggris, dan termasuk Prancis sendiri. Alasannya, novel ini memuat kisah seks pria dewasa dengan gadis remaja, di mana hal itu dianggap melanggar norma kesusilaan oleh pemerintah Inggris.
Begitu pula dengan novel Ulysses. Karya terlarang dari James Joyce yang terbit di Paris pada 1922 ini, pernah sampai dibakar di negara Amerika. Sebelum akhirnya menang di persidangan dan terbukti tidak memasukkan unsur pornografi dalam ceritanya, novel Ulysses sempat dilarang karena disebut-sebut berisi adegan amoral, seperti masturbasi dan praktik penindasan terhadap kaum lemah.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya sampai di situ saja. Di sisi lain, pelarangan buku juga dilakukan karena dianggap telah menista agama dan atau telah menghina kelompok politik tertentu. Bisa kita lihat dari nasib The Da Vinci Code yang tidak jauh beda dari Satanic Verses. Novel sensasional Dan Brown ini juga dianggap melanggar norma agama.
Yang paling ikonis di novel ini, adalah bagian mengenai pernikahan Yesus Kristus dengan Maria Magdalena. Merespon itu, banyak kalangan mengutuk bagian tersebut karena menganggap hal demikian sangat jauh berbeda dari apa yang diyakini oleh penganut Kristen Katolik Roma pada umumnya. Tidak sedikit pula kritikus yang menyalahkan apa yang ditulis Dan Brown.
Terakhir, ada novel Animal Farm oleh George Orwell dan The Catcher in the Rye yang ditulis J. D. Salinger. Dua novel ini dilarang beredar karena alasan politik yang kurang lebih sama. Orwell dinilai terlalu berlebihan mengejek rezim Komunisme Stalin melalui Animal Farm. Amerika dan Inggris awalnya melarang peredaran novel ini, karena akan mengganggu koalisinya dengan Uni Soviet melawan Nazi. Namun, setelah pemerintahan Uni Soviet resmi jatuh, novel tersebut tidak lagi dilarang.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, The Catcher in the Rye dituduh membawa pengaruh negatif bagi pemuda Amerika, setelah disinyalir memuat cukup banyak ide mengenai paham Komunis di dalamnya. Bahkan, ada rumor beredar bahwa peristiwa penembakan John Lennon oleh Mark David Chapman pada 1980 lalu itu, terinspirasi juga dari novel ini. Namun, belum ada pihak yang bisa menjamin kebenaran rumor tersebut hingga saat ini.
Terlepas dari apa pun tendensi yang melatarbelakangi tindakan pemboikotan karya-karya di atas, bagi saya pelarangan buku oleh oknum pemerintah atau lembaga-lembaga terkait, secara sadar telah mereduksi prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip dari sistem yang dianut sebagian besar negara di dunia. Mirisnya lagi, negara seperti Amerika yang dikenal sebagai ‘si paling demokratis’ pun, faktanya turut berpartisipasi dalam praktik pelarangan bacaan tertentu yang dianggap menyimpang.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana dengan dampak pelarangan buku di negara kita? Tentu saja isu ini bukan lagi barang baru bagi pembaca di Indonesia. Praktik-praktik pelarangan buku sudah mulai bermunculan sejak zaman kolonial dahulu. Pengaruh yang dihasilkan dari praktik tersebut pun masih terasa sampai sekarang.
Misalnya, dari aksi pembakaran beberapa naskah Pramoedya A. Toer oleh pemerintah Orde Baru, akibatnya kita tidak bisa lagi membaca pemikiran Pram secara komprehensif lewat karya yang dibakar itu. Karya berisi pemikiran yang dianggap berbahaya karena mengandung gagasan perjuangan politik kaum buruh dan tani beserta kritik terhadap kebijakan penguasa. Inilah yang saya maksud dengan ‘mereduksi prinsip demokrasi kita’.
Dampak Pelarangan Buku di Indonesia
Dalam sebuah pengantar pada buku Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi oleh Tim Peneliti PR2Media, Erwin Schweisshelm menyebut Indonesia sebagai trademark masyarakat pluralis di dunia.
ADVERTISEMENT
Direktur Perwakilan Friedrich Elbert Stiftung (FES) Indonesia itu, mengatakan bahwa sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia merupakan mercusuar bagi toleransi dan pluralisme di benua Asia. Dengan adanya penelitian yang mendalam mengenai pelarangan buku diharapkan mampu memberi sumbangsih positif demi merawat demokrasi media di Indonesia.
Maka, pernyataan tersebut secara tidak langsung ingin menegaskan kembali upaya masyarakat dalam melawan kebijakan pelarangan buku di Indonesia.
Pelarangan buku, seperti yang dijelaskan dalam buku ini, berpengaruh terhadap hilangnya prinsip otonomi individu serta menghancurkan interpretasi realitas. Artinya, sebuah buku tidak akan lagi berisi pandangan kritis dan independen, melainkan telah ditentukan oleh lokus kekuasaan politik tertentu. Masyarakat juga tidak akan menemukan heterogenitas ide mengenai fakta sosial yang terjadi, akibat penulisan buku yang cenderung monoton, yang miskin perspektif.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, implikasi pelarangan buku yang dirasakan langsung oleh masyarakat ialah kerugian material yang cukup signifikan serta demoralisasi para pelaku perbukuan. Pihak yang terdampak dari kebijakan ini adalah penerbit, distributor, dan toko buku. Dicabutnya izin penerbitan buku, akan berakibat pada meningkatnya pembajakan buku secara ilegal. Dengan kata lain, angka penjualan makin menurun, penghasilan makin sedikit.
Demoralisasi pelaku perbukuan menggambarkan keterbelakangan masyarakat dalam memaknai perbedaan. Intensitas konflik meningkat, seiring dengan berkurangnya buku-buku yang berisi tentang keberagaman, nilai-nilai toleransi, dan pluralisme. Fenomena ini akan seperti ‘kiamat’ bagi alam demokrasi kita.
Sebabnya itu, Indonesia perlu berbenah diri. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pelarangan buku ini. Salah satu caranya adalah dengan aksi turun ke jalan. Kita butuh gerakan-gerakan revolusioner yang konsisten dari rakyat dalam memperjuangkan kepentingan dunia perbukuan tanah air. Contoh sederhananya, bisa dilihat pada gelaran Banned Books Week yang rutin dilaksanakan di negara Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Banned Books Week Sebagai Solusi Alternatif
Banned Books Week (BBW) merupakan gelaran rutin yang bertujuan untuk merayakan kebebasan membaca, mengamati perkembangan perbukuan saat ini, serta menguatkan aksi perlawanan terhadap larangan buku di perpustakaan dan sekolah. Seiring tingginya semangat mencegah penghapusan dan pembatasan akses bacaan tertentu, Banned Books Week pun dinilai cukup menarik perhatian para pembaca terhadap bahaya pelarangan buku.
Dengan disponsori oleh American Library Association (ALA), American Booksellers Association, Association of American Publishers, dan lain-lain, BBW secara rutin digelar setiap tahun di negara Amerika Serikat. Selama minggu penuh, Komunitas pencinta buku di negara Amerika meliputi pustakawan, penjual buku, penerbit, wartawan, guru dan pembaca terlibat dalam kegiatan ini.
Seperti yang disadur dari situs bannedbooksweek.com bahwa buku-buku yang dibahas selama BBW berlangsung, adalah buku yang telah dilarang atau ditargetkan untuk dihapus dari sekolah dan perpustakaan. Namun, ada juga kelompok yang skeptis dengan gelaran BBW, sebagaimana yang tertulis dalam jurnal Questioning the Dogma of Banned Books Week oleh Elliot Kuecker. Menurutnya, rasa skeptis muncul akibat adanya fakta bahwa buku-buku yang ditampilkan tidak benar-benar dilarang secara hukum.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, saya rasa gelaran sejenis BBW ini tetap dibutuhkan dan perlu dihadirkan di Indonesia, selama polemik kebijakan pelarangan buku masih terus meresahkan rakyat. Kita perlu mengupayakan langkah strategis guna melawan kebijakan pelarangan macam ini. Tim Peneliti PR2Media menyebut dua langkah yang bisa ditempuh, yakni perlawanan secara konstitusional dan non konstitusional.
Perlawanan secara konstitusional, atau secara hukum, dilakukan agar aturan mengenai pelarangan buku bisa di revisi. Perlawanan macam ini pernah dilakukan oleh Muhidin M. Dahlan, Rhoma Dwi Aria, bersama Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) pada 2010 lalu. Mereka mengajukan Judicial Review terhadap karya Lekra Tak Membakar Buku ke Mahkamah Konstitusi, agar dapat ditinjau kembali.
Sementara itu perlawanan secara non konstitusional ditempuh dengan cara menggalang dukungan dari pelbagai pihak yang memiliki visi yang sama, yakni menentang adanya praktik-praktik pelarangan buku di Indonesia. Gelaran sejenis Banned Books Week itu juga termasuk salah satu contohnya.
ADVERTISEMENT
AR Renhoran Akademisi dan Pegiat Rumah Baca Taman Bacaan Nuhu Evav.