Zine sebagai Media Paling Serius Menyerukan Kebebasan

Achmad Rohani Renhoran
Akademisi dan Penulis. Saat ini aktif menulis soal buku, media, dan literasi.
Konten dari Pengguna
21 Februari 2024 11:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Rohani Renhoran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gambar Zine, sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gambar Zine, sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Media cetak sebagai sarana berbagi informasi, kini terus berkembang dan makin variatif. Hal ini tentu saja dikarenakan adanya penyesuaian konten antara isu yang sedang hangat bin viral, dengan segmen pembacanya.
ADVERTISEMENT
Segmen pembaca yang rata-rata ditargetkan pada kaum Milenial dan Gen z ini, memaksa perusahaan media untuk bertransformasi menjadi platform yang lebih ramah konsumen.
Tak jarang, sebagian besar konten serius pun harus dikemas menggunakan gaya dan bahasa prokem, menyesuaikan budaya tongkrongan ‘ala anak muda. Jika tidak, maka siap-siap gulung tikar.
Sayang sekali, maraknya varian media cetak tidak serta merta membawa perubahan positif bagi kreativitas sebagian anak muda. Sejumlah masalah muncul, menjadi penghalang mereka untuk berekspresi.
Beberapa masalah, seperti ongkos produksi yang tinggi hingga ketatnya lembaga sensor dalam menyeleksi konten, menjadi persoalan pelik bagi mereka.
Betolak dari halangan tersebut, maka muncullah inisiatif untuk mendirikan media sendiri, dengan konsep Self-Publishing. Konsep ini mendukung setiap komunitas anak muda untuk memproduksi sendiri konten sesuka mereka, kemudian mendistribusikan ke publik dengan sebebas-bebasnya.
ADVERTISEMENT
Nah, salah satu produk ‘media cetak indie’ yang lahir dari konsep Self-Publising inilah yang kiwari kita kenal dengan nama Zine.
Laura van Leuven, dalam A Brief Histori of Zines, menyebut bahwa zine merupakan media alternatif yang diproduksi secara mandiri dan terbatas oleh penerbit independen.
Media cetak jenis ini, mulanya memang dibuat untuk mempromosikan aktivitas dari individu atau suatu kelompok kepada publik, yang jarang bahkan tidak pernah diliput sama sekali oleh media-media cetak mainstream.
Tata letak zine, sepenglihatan saya juga sangat main blowing. Selain kolase, ada yang tampilannya menggunakan teks komputer, tulis tangan, gambar khas komik, dan masih banyak lagi keanehan lainnya.
Tidak ada lain bagi saya untuk mendefinisikan zine, selain kata ‘kebebasan’ itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Oke, sebelum membahas lebih jauh, izinkan saya bercerita sedikit perihal asal-muasal zine, dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Awal Mula Lahirnya Zine
Dalam buku Dari Ruang Keseharian: Penerbitan Zine & Pengarsipan, Doni Singadikrama menjelaskan, bahwa zine pertama kali lahir dengan nama fanzine atau fans magazine, di Amerika Serikat.
Istilah fans magazine sendiri, merujuk pada para fandom (penggemar) fiksi ilmiah yang kemudian memutuskan membentuk komunitas.
Mereka lantas merilis zine pertamanya yakni The Comet (1930), melalui sebuah penerbitan mandiri bernama The Science Correspondence Klab di Chicago.
Pengaruh zine yang menjamur luas melalui gerakan kolektif ini, kemudian masuk ke Indonesia, salah satunya pertama kali di Kota Bandung, via skena musik.
Maraknya budaya musik underground di Bandung, serta ketertarikan personelnya dengan media alternatif, memancing perhatian musisi internasional. Tak jarang, zine-zine musik dari luar negeri pun banyak dikirim ke sana.
ADVERTISEMENT
Hary Ganjar Budiman, dalam tulisannya, Perkembangan Zine di Bandung; Media Informasi Komunitas Musik Bawah Tanah (1995-2012), menyinggung soal zine pertama bertajuk Revorgrams Zine (1995).
Menurut Hary, Revorgrams atau akronim dari Revolution Programs cenderung memuat informasi seputar musik lokal sebagai dukungan terhadap peningkatan kualitas band metal di Bandung.
Redaktur Revorgrams terdiri dari anggota band-band Metal di daerah Ujungberung. Mereka memanfaatkan sumber daya seadanya untuk menghasilkan sebuah bahan bacaan yang relevan bagi anak muda.
Faktanya, keterbatasan yang ada tidak lantas menjadi penghalang. Mereka tetap berhasil membuat zine dengan baik, menggunakan sentuhan kolase atau metode gunting-tempel, sehingga secara visual terlihat artistik. Selain itu, desain dan layout zine ini juga terbilang rapi dan estetik pada masanya.
ADVERTISEMENT
Di Jakarta, perkembangan zine juga mulai berkelindan di medio 90an. Sebut saja Brainwashed Zine yang lahir pada 1996.
Hampir sama dengan Revorgrams, zine ini juga kerap membahas seluk-beluk dunia musik punk, hardcore, dan ska, baik yang lokal maupun interlokal di sepanjang peredarannya.
Baru pada tahun-tahun akhir Brainwashed dicetak, yakni pada 1999, zine ini mengangkat isu-isu politik sebagai kontennya. Satu dari dua edisi terakhir mereka, bahkan membahas profil Tan Malaka.
Kedua zine di atas, dalam praktiknya telah menjadi penanda era baru media komunitas yang relatif gampang diproduksi serta gampang juga disalurkan ke pelbagai kota di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, konten zine saat ini telah bermetamorfosis menjadi konten yang lebih beragam.
Tidak melulu membahas soal musik metal atau punk saja. Di Yogyakarta, kota di mana saya sering bersinggungan langsung dengan para kolektor dan zinester (pembuat zine) ini, banyak sekali jenis zine yang saya jumpai.
ADVERTISEMENT
Muatannya pun beraneka ragam, sebut saja bahasan tentang sastra, seni rupa, street art, fotografi, hingga sepak bola.
Warna-warni topik bahasan di dalam zine dewasa ini, seolah menjelaskan secara eksplisit bahwa media ini telah berhasil menjadi sarana alternatif yang sangat rekomended bagi komunitas.
Media Alternatif untuk Melawan
Semangat menyebarkan ideologi subkultur, bercorak seni ke masyarakat luas, tampaknya bukan satu-satunya tujuan dari zine. Bisa dilacak dari kemunculannya di era Orde Baru, di mana ada semangat perlawanan politik juga di sana.
Bisa dibilang, zine bisa disebut sebagai counterattack anak muda dalam merespons pembredelan media cetak macam Tempo, Editor, dan Detik pada 1994. Saat itu, konten-konten yang beredar memuat tema anti-kapitalisme serta cinta nasionalisme.
ADVERTISEMENT
Seketika, medan zine yang mulanya hanya membahas soal musik punk, menjelma menjadi panggung politik dengan cita-cita mengusir kapitalisme dari Indonesia sekaligus menumbangkan rezim Orde Baru.
Pada 1997, sebuah zine berjudul Insureksi Albania yang diterbitak oleh OPSI, menyerang pemerintah melalui tulisan-tulisan tentang penolakan kebijakan moneter.
Mereka mengampanyekan gerakan boykot media massa serta konten berita, sebagai sikap protes terhadap ketimpangan ekonomi dalam negeri. Mereka menjadikan Albania sebagai contoh negara yang jadi korban dari buruknya penerapan kebijakan moneter.
Di Yogyakarta, kritik kebijakan pemerintah melalui media alternatif juga dimuat dalam zine Terompet Rakyat. Media terbitan Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi ini, sangat tendensius menyikapi kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat.
Sejak 1999, Terompet Rakyat dengan masif menyebar salinan zine mereka ke warung-warung setempat. Isu yang diangkat ke dalam zine ini, di antaranya meliputi seruan anti-militerisme, kerusakan lingkungan, diskriminasi perempuan, dan sentimen anti-perang.
ADVERTISEMENT
Hal ini terbukti ampuh, gagasan mereka yang kritis mampu diterima masyarakat, hingga membuat mereka popular di kalangan para aktivis reformasi kala itu.
Perkembangan Terbaru
Melihat begitu aktifnya zine sebagai media agitprop (agitasi dan propaganda) pasca reformasi, saya melihat geliat yang begitu besar dari komunitas bawah tanah dalam memproduksi isu sosial.
Mereka betul-betul memanfaatkan momentum transformasi sistem, dari era kediktatoran menuju demokrasi ini dengan baik. Sistem telah menjamin kebebasan berpendapat, sehingga siapa pun bisa bersuara di depan umum.
Oleh sebab itu, penyebaran opini dalam bentuk zine perlahan-lahan berani muncul ke permukaan, secara terang-terangan ditunjukkan, bahkan sampai difestivalkan.
Lihat saja, betapa ramainya zinester yang hadir Bandung Zine Fest 2024 tempo hari. Sekitar 110 lapak zine didisplay, memenuhi lokasi festival.
ADVERTISEMENT
Menurut laman bandungbergerak.id, ratusan pelapak zine menampilkan isu yang beragam, namun ada tema besar yang diangkat oleh sebagian besar pelapak dari dalam dan luar Bandung. Tema tersebut di antaranya berfokus pada kekerasan oleh aparat negara, sengketa lahan, dan penggusuran.
Konsistensi dari zine yang mengusung tema sosial-politik rupanya masih tetap eksis. Meski, trend saat ini lebih condong ke art-zine, yang lebih concern ke konten semisal desain grafis, fotografi, dan personal hobbies.
Refleksi semangat perlawanan dari media alternatif ini, harapan saya bisa lebih meluas lagi ke wilayah-wilayah terluar Indonesia. Dengan adanya platform digital seperti e-zine misalnya, harusnya informasi mengenai kolektif zine bisa lebih cepat tersebar tentu saja.
Agar pembahasan mengenai serba-serbi zine di Indonesia, bisa berjalan secara merata. Biar teman-teman di Indonesia Timur, dari Sulawesi sampai Papua, jadi bisa ikut membuat zine, mendistribusikannya, alih-alih membuat gelaran tahunan macam Bandung Zine Fest atau gelaran sejenisnya.
ADVERTISEMENT
Ya iyalah, masa festival zine cuma ada di Pulau Jawa? Yang bener aje, rugi dong!
Achmad Rohani Renhoran, Dosen, Penulis, dan Penyayang Kucing.