Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Era Kebangkitan Ulama Perempuan
29 Maret 2018 16:18 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Arafiq Zm tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Mencermati berita tentang pertemuan ulama perempuan yang dilaksanakan di Jawa Tengah dalam tiga hari terakhir, dari 27-29 Maret 2018, saya kembali teringat tentang pertemuan ulama dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) setahun lalu.
ADVERTISEMENT
Pertemuan ulama perempuan pertama kali dilaksanakan tepatnya pada tanggal 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin Cirebon Jawa Barat dengan sebutan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Waktu itu, KUPI dihadiri lebih dari 500 ulama perempuan dari berbagai daerah di Indonesia dan beberapa negara. Mereka mempertegas peran, memperluas pengakuan, dan terus berkontribusi melalui Seminar Internasional, Seminar Nasional, dan Musyawarah Fatwa tentang persoalan kebangsaan aktual di ruang publik.
Kala itu, kongres diselenggarakan untuk melegitimasi dan mengafirmasi kerja-kerja ulama perempuan di Indonesia, terutama yang sudah memiliki kesadaran keberpihakan untuk keadilan relasi laki-laki dan perempuan.
Kiranya halaqah (pertemuan) ulama perempuan di Semarang selama tiga hari ini adalah salah satu bagian dari langkah nyata para ulama perempuan pasca kongres setahun lalu. Bahkan halaqah ini nyaris bertepatan satu tahun pasca KUPI dilaksanakan. Halaqah pergerakan ulama perempuan di Semarang mengusung tema yang lebih spesifik, yaitu meneguhkan gerakan ulama perempuan dalam pengarusutamaan moderasi Islam.
ADVERTISEMENT
Bahkan Farida, sebagai salah satu ulama perempuan ketika diwawancara oleh beberapa media online menegaskan bahwa ulama perempuan perlu menguatkan jaringan NKRI sekaligus berpartisipasi menyegarkan moderasi Islam.
Ulama perempuan memiliki keanggotaan yang lebih luas. Keanggotaannya tidak hanya diikuti oleh para nyai dari kalangan pesantren saja, tetapi juga diikuti oleh para ustadzah, guru, ilmuwan, sarjana dan tenaga profesional muslimah lainnya. Mereka hadir dalam semangat pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan pada pendidikan keagamaan Islam. Sebuah semangat mengikis sekat-sekat patriarkal dan mitos bahwa perempuan hanya memiliki peran pada wilayah domestik semata.
Memang sudah saatnya ulama perempuan meningkatkan peran publik demi kemajuan bangsa dan moderasi Islam. (rfq)