Pilpres 2024 dan Tanah Harapan Indonesia 2045

Andre Rahadian SH
Advokat, Praktisi Hukum Transportasi, Infrastruktur dan TMT
Konten dari Pengguna
1 Maret 2024 13:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andre Rahadian SH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mencoblos saat pemilu. Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mencoblos saat pemilu. Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilu sering kali menimbulkan perdebatan dan sering kali tidak memenuhi status “bebas dan adil” (Bishop dan Hoeffler 2016). Banyak faktor struktural yang terkait dengan berkurangnya integritas proses Pemilu sudah teridentifikasi dalam banyak penelitian yang menyasar 109 Pilpres di seluruh dunia antara tahun 1996 hingga 2016.
ADVERTISEMENT
Lembaga Pemilu seperti badan pengawas dan peraturan Pemilu, serta independensi peradilan dan media pada akhirnya dapat dimanfaatkan oleh pelaku yang melakukan kecurangan dalam proses Pemilu (Molina dan Lehoucq 1999; Lehoucq dan Kolev 2015; Birch dan Van Ham 2017).
Untuk mencapai tujuan tersebut, ketika jajak pendapat memperkirakan balapan yang ketat, tekanan untuk memberikan hasil positif di tengah meningkatnya ketidakpastian pada hari Pemilu dapat mendorong aktor politik untuk memanipulasi hasil pemilihan (Dawson 2020). Bagi mereka yang berkuasa, ketidakseimbangan sumber daya yang mungkin terjadi dapat menjadi sarana untuk mengacaukan proses pemungutan suara dan tabulasi, serta mempengaruhi proses pemilihan secara terstruktur, sistematis dan masif, dibandingkan dengan pihak oposisi.
Benarkah kecurangan telah terjadi di Indonesia pada Pemilu dan Pilpres 2024?
ADVERTISEMENT
Ketidaknetralan dan praktik kecurangan yang melibatkan aparatur negara pada penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres 2024 sudah dilaporkan banyak pihak dan disebarkan melalui sosial media. Persepsi ketidaknetralan pemerintah menjadi bahan diskusi di banyak forum, mulai dari keterlibatan para menteri dan lembaga-lembaga negara dalam mendukung salah satu pasangan sampai dengan pengerahan bantuan sosial pemerintah, menjadi sorotan karena diduga dipolitisasi menjadi bagian dari upaya memenangkan salah satu pasangan Capres-Cawapres, padahal pembagian bansos menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Sejatinya banyak pihak yang miris melihat hal-hal tersebut di atas yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif serta terbuka. Akan tetapi secara umum, masyarakat Indonesia tak banyak bereaksi terhadap pelbagai bentuk tindakan dan hasil dari Pemilu 2024. Apakah ini bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan alat negara atau sebuah ketidakberdayaan?
ADVERTISEMENT
Karena kita ketahui mendekati dan usai Pemilu dan Pilpres 2024, harga makanan pokok masyarakat, yakni beras, secara konsisten terus merangkak naik hingga diklaim sebagai yang tertinggi dalam sejarah Indonesia. Benarkah Indonesia sedang dalam kondisi krisis pangan? Apakah disebabkan El Nino? Atau perekonomian kita sudah terdampak konflik Rusia dengan Ukraina serta Israel dengan Palestina yang menyebabkan rantai pasokan belum normal?
Namun terlepas dari kenaikan harga beras dan banyak sangkaan kecurangan terhadap hasil Pilpres 2024 di Indonesia, hingga terjadinya dekadensi Demokrasi yang memicu menurunnya kepercayaan kepada lembaga Pemilu, semua pihak harus menghormati keputusan akhir pihak berwenang mengenai siapa nanti yang memenangkannya.
Diskusi Jaga Pemilu terkait dugaan kecurangan di Pemilu 2024, Sabtu (24/2/2024). Foto: Annisa Thahira Madina/kumparan
Mari kita bergeser ke momen berikutnya yang sudah ada di depan mata. Masyarakat Indonesia harus menatap ke depan mempersiapkan diri menuju Indonesia Emas 2045. Dalam Skenario Masa Depan Indonesia 2045 yang ditulis ILUNI UI 2022, untuk mengantarkan Indonesia ke masa depan, pemimpin dan pemerintah harus memiliki kapabilitas yang dinamis guna membawa Indonesia ke Tanah Harapan, di mana Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berwawasan lingkungan akan terwujud.
ADVERTISEMENT
Elemen pembentuk Tanah Harapan Indonesia 2045 adalah manusia Indonesia yang berkualitas, generasi milenial, generasi Z dan sesudahnya yang memiliki kekuatan dan keunikan untuk memaksimalkan bonus demografi yang akan berakhir pada 2035.
Kita juga memiliki modal lain, yakni karakter masyarakat Indonesia yang memiliki resiliensi tinggi. Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (Adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich & Shatte dalam Kirana, 2016).
Bila disederhanakan, resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit serta pulih ketika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai harapan. Masyarakat Indonesia telah lulus dari ujian berat, yakni dapat bertahan dan keluar dari krisis Covid-19. Resiliensi dapat ditumbuhkan melalui tiga aspek, yaitu: kegigihan atau tidak putus asa, kekuatan dan optimisme. Ketiga aspek ini merupakan hasil dari kebersyukuran (McCullogh, 2003).
ADVERTISEMENT
Masyarakat yang resilien ini bersama efektivitas kebijakan (kepemimpinan) jadi dua penentu untuk mencapai skenario Tanah Harapan Indonesia 2045. Tanah Harapan adalah terwujudnya Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berwawasan (paradigma) lingkungan (ekologi). Tanah Harapan dapat diwujudkan dengan menyusun kekuatan sosial-politik-budaya menjadi kelembagaan tata kelola baru Indonesia dan kekuatan ekonomi berbasis SDA dan SDM yang berwawasan lingkungan, yang mendatangkan nilai tambah melalui sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendorong daya saing dan keunikan ekonomi Indonesia.
Kelembagaan baru Indonesia yang berbasis pada proses demokrasi yang substansial ketimbang demokrasi yang prosedural. Pemimpin yang memajukan tata kelola bersama (do it together) (kolaborasi) daripada pemimpin yang mengedepankan tata kelola sendiri-sendiri (do it alone) – yang memanipulasi melalui kepemimpinan yang populis. Rekrutmen pemimpin menjawab kebutuhan rakyat dan mereka tidak menjadi wakil kelompok elite politik / ekonomi. Pemimpin (nasional dan daerah) yang terpilih berbasis demokrasi substansial mampu mempromosikan dan menggerakkan kelembagaan yang mengantarkan Indonesia menuju Visi Indonesia 2045.
ilustrasi ibu dan anak jelang pemilu Foto: Shutterstock
Dibutuhkan model kepemimpinan inovatif yang mampu mendobrak status quo, karena krisis berikutnya – tidak hanya karena kelangkaan pangan atau adanya virus baru – sangat mungkin terjadi di masa depan. Menurut Crosby & Bryson (2005), satu karakter kepemimpinan yang penting adalah policy entrepreneur yakni individu yang mampu menginvestasikan sumber daya terbatas hari ini untuk manfaat kebijakan publik di masa depan.
ADVERTISEMENT
Syaratnya policy entrepreneur ini tidak memanfaatkan situasi politik untuk kepentingan pribadi, melainkan berupaya membangun peluang dan cakrawala baru melalui ide dan inovasi (Cohen, 2021). Namun inovasi tersebut hanya terwujud jika seorang policy entrepreneur (tidak hanya presiden, tapi juga di semua tingkatan, termasuk birokrasi negara) memanfaatkan beragam sumber daya melalui aktivitas kolaborasi. Kepemimpinan yang efektif dan masyarakat yang resilien lebih dibutuhkan lagi ketika muncul ketidakpastian baru di masa depan, seperti fenomena wildcard atau black swan. Bisa saja satu kondisi global yang memiliki efek kupu-kupu secara sistemik kembali mendisrupsi dunia dan Indonesia terdampak.
Kepemimpinan efektif dan masyarakat yang resilien tetap bisa dimanfaatkan, dan dapat bekerja secara nasional, lokal, sektoral, dan keberpihakan gender yang meminimalkan dampak negatif kepada bangsa ini, serta memungkinkan untuk bertahan dan pulih. Apakah kepemimpinan efektif dapat terbentuk apabila tingkat kepercayaan masyarakat masih rendah terutama terhadap komitmen pada hal esensial seperti menjaga nilai demokrasi, penegakan hukum dan anti korupsi? Atau kita harus rela pada realita bahwa ke depan kebijakan publik gagal mengangkat dan memberikan kesempatan kepada generasi milenial, generasi Z dan generasi sesudahnya untuk memanfaatkan bonus demografi karena sebagian besar masyarakat kita masih berjibaku pada pertanyaan apakah besok bisa makan? Apakah kita berhasil mencapai tanah harapan atau malah masuk ke jurang dalam?
ADVERTISEMENT