Konten dari Pengguna

Pabrik Naskah Pada Masa Hindia Belanda

Arbar Wijaya
Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8 Maret 2021 13:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arbar Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Skriptorium - Sumber : https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.facebook.com%2Fuberkulturskriptorium%2F&psig=AOvVaw19HygOErY9Vr3Suj1LwR1O&ust=1615267933199000&source=images&cd=vfe&ved=0CA0QjhxqFwoTCKiJms38n-8CFQAAAAAdAAAAABAE
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Skriptorium - Sumber : https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.facebook.com%2Fuberkulturskriptorium%2F&psig=AOvVaw19HygOErY9Vr3Suj1LwR1O&ust=1615267933199000&source=images&cd=vfe&ved=0CA0QjhxqFwoTCKiJms38n-8CFQAAAAAdAAAAABAE
ADVERTISEMENT
Sejarah skriptorium di Nusantara dimulai pada masa kolonial Belanda. Pada masa kolonial Belanda di Batavia, pemerintah Hindia-Belanda membutuhkan banyak para pekerja yang didatangkan dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Bugis, Makasar, Bali, Arab, dan Cina. Mereka dipekerjakan untuk melakukan sebuah penyalinan, karena pada saat itu salah satu cara dan upaya dalam membangun perekonomian adalah dengan cara menulis yang kemudian tulisan tersebut diperbanyak dengan cara di salin sehingga hasil penulisannya diperjualbelikan atau disewakan kepada para pembaca atau para penggemar tulisan.
ADVERTISEMENT
Terdapat tiga buah istilah yang berkaitan dengan skriptorium, yakni kepenulisan naskah, penyalin naskah, dan skriptorium itu sendiri. Kepenulisan naskah dapat diartikan sebagai kepengarangan naskah yang menghasilkan karya pertama yang ditulis oleh pengarang langsung, atau kepenulisan naskah biasa disebut dengan istilah otograf. Sedangkan penyalin naskah adalah aktivitas reproduksi naskah yang menghasilkan varian-varian naskah. Pada umumnya terdapat perbedaan antara satu salinan dengan salinan yang lain meskipun di salin oleh orang yang sama. Hal ini dikarenakan para penyalin naskah biasanya tidak bisa membaca dan mereka hanya menyalin naskah sesuai dengan apa yang dia lihat tanpa memahami apa yang ia salin dari naskah yang ia lihat. Dalam melakukan aktivitas kepenulisan naskah, dibutuhkan bagi seorang penulis atau penyalin suatu ruangan untuk melakukan aktivitas penulisan dan penyalinan naskah. Suatu ruangan yang digunakan untuk melakukan aktivitas penulisan atau penyalinan naskah disebut dengan Skriptorium.
ADVERTISEMENT

Skriptorium di Batavia / Betawi

Dari berbagai fakta yang terdapat dalam naskah, skriptorium naskah Betawi misalnya, di salin di dua tempat, yakni di lembaga Algemeene Secretarie dan di berbagai kampung yang ada di Betawi. Di kantor Algemeene Secretarie memiliki beberapa penyalin profesional yang digaji oleh pemerintah, misalnya Cing Saidullah yang menyalin naskah Sejarah Melayu dan Hikayat Iskandar Zulkarnaen, dan Muhammad Sulaeman yang menyalin naskah Hikayat Indranata. Terdapat pula nama Muhammad Hasan sebagai penulis Sejarah Melayu, dan Abdul Hadi sebagai penulis Hikayat Pelanduk Jenaka. Semua naskah yang ditulis dan di salin ini dikirim ke Belanda, tepatnya ke Akademi Delft yang digunakan sebagai bahan ajar para pejabat di sana.
Selain lembaga resmi yang dibuat oleh pemerintah Hindia-Belanda, di Batavia saat itu, terdapat skriptorium yang disebut sebagai Pecenongan. Pecenongan adalah salah satu skriptorium naskah sebagai tempat penulisan dan penyalinan naskah di Batavia. Pecenongan berada di kalangan masyarakat Batavia saat itu dan bukan lembaga resmi buatan pemerintah Hindia-Belanda. Naskah yang dihasilkan oleh Pecenongan yang ditulis oleh beberapa anggota masyarakat ini cukup banyak jumlahnya.
ADVERTISEMENT
Naskah-naskah yang diproduksi dari Pecenongan memiliki keunikan dalam penyalinan naskah, yakni naskah-naskah tersebut dapat disewakan untuk dibaca dan naskah-naskah tersebut memiliki hiasan naskah ilmuniasi dan ilustrasi.
Terdapat tiga generasi penyalin pada skriptorium tersebut, yakni Muhammad Fadli, Muhammad Bakir atau Saprin/Guru Cit, dan Ahmad Beramka. Di antara tiga pengarang tersebut, Muhammad Bakir lah yang lebih banyak memberikan kontribusi dalam pemberian ilmuniasi dan ilustrasi. Pemberian iluminasi dan ilustrasi pada naskah yang ditulis dalam skriptorium tersebut bertujuan untuk menarik minat pembaca maupun penyewa naskah. Semakin bagus iluminasi dan ilustrasi naskah yang digambarkan maka naskah tersebut akan memberikan tambahan nilai jual sehingga para penyalin naskah akan mendapatkan uang yang cukup tinggi untuk kehidupan sehari-harinya.
ADVERTISEMENT
Naskah-naskah yang disediakan dari skriptorium tersebut terdiri dari beberapa genre naskah, seperti pantun, puisi, prosa, dan juga cerita. Cerita berwarna keislaman juga dapat ditemukan dalam khazanah naskah Betawi ini. Misalnya, terdapat dua naskah yang berkaitan dengan tokoh Islam yang disucikan dan dipuja, yakni Syekh Muhammad Saman, dan Syekh Abdul Kadir Jaenlani.

Skriptorium di Cirebon

Selain di Batavia, skriptorium juga dapat ditemukan di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Di Cirebon, terdapat tiga kantong penyimpanan naskah-naskah keagamaan, yaitu keraton, keluarga keraton, dan pondok pesantren. Dapat kita jumpai di sana, berbagai macam naskah keagamaan yang melimpah dengan berbagai tema, seperti tasawuf, tauhid, fikih, al-quran, hadits, dan sebagainya. Naskah keagamaan yang paling tua, yakni Patarekan dengan kode KC012 yang berisi tentang ajaran-ajaran Tarekat Sayattariyah yang ditulis pada tahun 1118 H atau sekitar tahun 1630/1631 M. Kini kondisi naskah sudah sangat rapuh sehingga sangat sulit untuk dibaca.
ADVERTISEMENT
Produksi naskah-naskah keagamaan asal Cirebon didorong oleh semangat menyebarkan ajaran-ajaran Islam, seperti tasawuf, tauhid, dan syariat. Penulis atau penyalin naskah yang kebanyakan para ulama, menulis dengan bahasa dan aksara yang disesuaikan dengan pemahaman masyarakat sehingga masyarakat dapat memahaminya dan berminat untuk mempelajarinya. Di dalam naskah keagamaan asal Cirebon sebagaimana naskah-naskah Nusantara pada umumnya, nama diri seorang penulis atau penyalin jarang tercatat. Mereka digambarkan sebagai sosok penulis yang tawadu, menganggap dirinya sebagai hamba yang bodoh, fakir, hina, dan sebagainya.