Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Podcast dalam Penyuluhan Pertanian: Inovatif tetapi Belum Adaptif
24 April 2025 12:21 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Darbi Pirmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Era percepatan transformasi digital semakin hari semakin menjangkau setiap wilayah bahkan sampai ke perdesaan, untuk itu penggunaan media baru dalam kegiatan penyuluhan pertanian bukanlah menjadi sebuah keniscayaan. Salah satu bentuk media yang mulai mendapatkan perhatian adalah podcast, platform berbasis audio digital yang menyajikan konten dalam format naratif, ringan, dan fleksibel secara waktu. Biasanya bisa diakses di Platform Spotify, Apple Podcasts, Google Podcasts, Noice, dan Anchor. Bagi petani milenial yang sudah mulai akrab dengan perangkat digital dan jaringan internet, podcast tampak menjanjikan sebagai wahana pembelajaran non-formal yang dapat diakses kapan dan di mana saja.

Namun demikian, jika dilihat dari perspektif komunikasi pembangunan, efektivitas media tidak hanya diukur dari seberapa canggih atau populernya suatu teknologi, melainkan dari seberapa mampu ia menjembatani proses pembelajaran yang partisipatif, kontekstual, dan transformatif (Servaes, 2008). Maka, muncul pertanyaan kritis: apakah podcast benar-benar adaptif terhadap kebutuhan, karakteristik, dan realitas kehidupan para petani khususnya yang tinggal di pedesaan?
ADVERTISEMENT
Sebagai media yang bersifat satu arah dan minim visualisasi, podcast memiliki keterbatasan dalam menyampaikan konten penyuluhan yang bersifat teknis atau demonstratif. Informasi tentang teknik budidaya, pemangkasan tanaman, pengendalian hama, atau penggunaan alat pertanian, pada dasarnya membutuhkan pendekatan visual agar dapat dipahami secara utuh oleh petani. Hal ini selaras dengan pandangan Rogers (2003) dalam teori difusi inovasi, bahwa adopsi pengetahuan teknis membutuhkan media yang mendukung observabilitas dan kompleksitas rendah dua karakter yang justru tidak kuat dalam format podcast. Selain itu, dari sisi aksesibilitas, data dari APJII (2023) mengungkap bahwa hanya sekitar 66,5% penduduk pedesaan yang memiliki akses internet yang stabil. Ini menunjukkan adanya kesenjangan digital (digital divide) yang berpotensi menghambat inklusivitas media podcast sebagai alat penyuluhan yang merata dan berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Media Audio yang Fleksibel, Relasional, dan Inklusif
Salah satu keunggulan utama podcast dalam konteks penyuluhan pertanian terletak pada fleksibilitas dan kedekatan emosional yang ditawarkannya. Tidak seperti media formal lainnya, podcast memungkinkan gaya penyampaian yang lebih naratif dan dialogis. Hal ini sejalan dengan pendekatan komunikasi pembangunan yang menekankan pada komunikasi dua arah berbasis pengalaman dan budaya lokal (Melkote & Steeves, 2001). Melalui cerita, wawancara dengan petani inspiratif, atau diskusi ringan mengenai teknologi budidaya, podcast menciptakan suasana belajar yang tidak menggurui, tetapi justru membangun hubungan emosional dengan pendengarnya.
Format audio yang bisa didengarkan sambil melakukan aktivitas harian seperti menyiram tanaman, memberi pakan ternak, atau mengangkut hasil panen menjadikan podcast sangat sesuai dengan ritme kerja petani. Inilah yang disebut sebagai komunikasi kontekstual, di mana media menyesuaikan diri dengan realitas keseharian audiens prinsip dasar dari pendekatan partisipatif dalam penyuluhan.
ADVERTISEMENT
Data dari Edison Research (2023) menunjukkan bahwa pendengar podcast di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 32% dalam dua tahun terakhir. Segmentasi usia yang paling dominan berada pada kelompok 25–39 tahun — kelompok usia yang juga mewakili mayoritas petani milenial (BPS, 2022). Fakta ini memperkuat asumsi bahwa podcast memiliki potensi besar untuk menjangkau generasi petani muda yang secara alamiah lebih akrab dengan teknologi digital dan pola belajar non-konvensional.
Dari sisi produksi, podcast juga menawarkan efisiensi biaya. Jika dibandingkan dengan video atau animasi pertanian yang memerlukan proses produksi visual yang kompleks, podcast jauh lebih sederhana. Alat yang dibutuhkan cukup mikrofon sederhana dan perangkat lunak editing dasar. Hal ini membuka ruang bagi partisipasi komunitas penyuluh atau kelompok tani lokal untuk menciptakan konten secara mandiri, sesuai konteks bahasa, dialek, dan kebutuhan spesifik wilayah mereka. Inisiatif seperti ini sejalan dengan prinsip empowerment through media, di mana petani tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga produsen pengetahuan (Freire, 1970; Tacchi, 2009).
ADVERTISEMENT
Tantangan Realitas Akses, Visualisasi, dan Interaktivitas
Kendati podcast menyimpan potensi sebagai media penyuluhan alternatif, penggunaannya dalam konteks pertanian perdesaan masih menghadapi sejumlah tantangan struktural dan fungsional. Dari perspektif komunikasi pembangunan, media yang ideal bukan hanya yang mudah diproduksi atau digemari, tetapi yang mampu menjawab kebutuhan komunikasi petani secara kontekstual dan partisipatif (Servaes, 2008).
Pertama, aksesibilitas infrastruktur digital masih menjadi hambatan utama. Laporan APJII (2023) mencatat bahwa penetrasi internet di wilayah perdesaan Indonesia baru menyentuh angka 66,5%. Lebih dari itu, tidak semua daerah menikmati jaringan stabil yang memungkinkan streaming audio tanpa gangguan. Ini memperlihatkan adanya digital divide yang cukup lebar antara wilayah urban dan rural dan karenanya mengancam prinsip kesetaraan dalam pelayanan penyuluhan berbasis digital (UNDP, 2020).
ADVERTISEMENT
Kedua, karakteristik penyuluhan pertanian yang sarat dengan muatan teknis membutuhkan media yang mampu memberikan representasi visual. Proses seperti pemangkasan cabang, deteksi hama berdasarkan gejala visual, atau kalibrasi alat semprot pertanian, sangat sulit untuk disampaikan secara efektif hanya melalui deskripsi audio. Dalam teori pembelajaran kognitif, Mayer (2001) menjelaskan pentingnya dual coding yaitu integrasi antara informasi verbal dan visual agar terjadi proses pemahaman yang menyeluruh. Dalam hal ini, podcast sebagai media berbasis audio saja tentu memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan belajar tersebut.
Beberapa inisiatif mencoba menjembatani keterbatasan tersebut dengan mengintegrasikan podcast dan tautan ke media visual seperti infografis atau video tutorial. Namun, upaya ini menghadapi tantangan baru, yaitu kebutuhan akan literasi digital yang lebih tinggi. Tidak semua petani familiar dengan cara mengakses dan mengunduh materi pendukung dari berbagai kanal distribusi digital. Hal ini berpotensi menciptakan eksklusi informasi bagi kelompok petani yang memiliki keterbatasan dalam penguasaan teknologi informasi.
ADVERTISEMENT
Ketiga, dari segi interaktivitas, podcast cenderung bersifat satu arah dan tidak memberikan ruang langsung bagi pendengar untuk mengajukan pertanyaan, menyanggah, atau berbagi pengalaman. Padahal, esensi penyuluhan yang ideal adalah dialogis, memungkinkan proses klarifikasi dan umpan balik dua arah. Dalam kerangka teori penyuluhan konstruktivistik, belajar bukan sekadar menerima informasi, tetapi juga membangun makna melalui interaksi (Chambers, 1997; Knowles, 1984). Maka, dalam posisinya sekarang, podcast lebih cocok diposisikan sebagai materi pengantar atau pelengkap dalam ekosistem pembelajaran pertanian bukan sebagai satu-satunya media utama.
Perlu Sinergi Multimedia, Bukan Sekadar Tren
Di tengah pesatnya digitalisasi informasi, penggunaan podcast dalam penyuluhan pertanian seharusnya tidak dilihat semata sebagai respons terhadap tren, melainkan sebagai bagian dari pendekatan komunikasi pembangunan yang holistik dan terintegrasi. Podcast, dengan segala keunggulannya dalam menyampaikan pesan secara naratif dan humanis, sepatutnya diposisikan sebagai komponen pendukung dalam strategi multimedia bukan sebagai media tunggal.
ADVERTISEMENT
Pengalaman praktik menunjukkan bahwa integrasi antarplatform lebih efektif dalam menjawab kompleksitas kebutuhan komunikasi petani. Misalnya, kisah inspiratif dalam bentuk podcast dapat menjadi entry point yang menggugah motivasi petani, lalu diperkuat melalui video demonstrasi teknik pertanian via YouTube, dilanjutkan diskusi reflektif melalui grup WhatsApp, atau bahkan pendalaman secara sinkron dalam sesi live Zoom. Pendekatan semacam ini selaras dengan prinsip multimodal learning, di mana media yang berbeda memainkan peran saling melengkapi (Mayer, 2001).
Dalam konteks program pembangunan, pendekatan ini sangat relevan untuk menjangkau dua sasaran utama sekaligus: petani muda yang terbuka terhadap teknologi, dan petani tradisional yang membutuhkan dukungan visual dan dialogis. Strategi ini juga sejalan dengan pendekatan blended communication kombinasi antara komunikasi digital dan tatap muka yang banyak diterapkan dalam program pemberdayaan berbasis komunitas (FAO, 2021).
ADVERTISEMENT
Agar podcast dan media digital lainnya benar-benar efektif, kolaborasi lintas aktor menjadi krusial. Penyuluh pertanian sebagai agen perubahan perlu didukung oleh produser konten, fasilitator digital, hingga perwakilan kelompok tani sebagai sumber narasi otentik. Kolaborasi ini memungkinkan proses produksi konten yang tidak hanya menarik secara format, tetapi juga bermakna secara substansi dan kontekstual secara budaya.
Lebih jauh lagi, penguatan kapasitas petani dalam memproduksi atau ikut serta dalam konten misalnya dengan pelatihan podcast komunitas atau lokakarya digital storytelling dapat memperkuat aspek partisipasi dan kepemilikan pengetahuan. Pendekatan ini bukan hanya relevan secara praktis, tetapi juga strategis dalam membangun komunikasi yang berkeadilan, sebagaimana dikemukakan oleh Servaes (2008) dalam kerangka komunikasi pembangunan berbasis partisipasi.
Podcast Butuh Strategi, Bukan Sekadar Produksi
ADVERTISEMENT
Di tengah lanskap digital yang kian kompleks, ketika petani muda terbagi perhatiannya antara ladang dan layar, kehadiran podcast memang membuka ruang baru dalam penyuluhan pertanian. Formatnya yang fleksibel dan naratif menawarkan kenyamanan tersendiri, terutama bagi generasi petani yang lebih akrab dengan teknologi. Namun, inovasi digital seperti podcast tidak akan mencapai potensi optimalnya jika tidak ditopang oleh strategi komunikasi yang tepat sasaran.
Permasalahan mendasar bukan terletak pada jumlah konten yang diproduksi, melainkan pada bagaimana podcast tersebut dikemas dan diintegrasikan dalam ekosistem belajar yang lebih besar. Penyuluhan tidak cukup hanya menyampaikan informasi ia harus menyentuh aspek transformasi perilaku dan pemaknaan pengalaman belajar (Freire, 1970; Rogers, 2003). Untuk itu, podcast perlu dikembangkan sebagai bagian dari rangkaian pengalaman belajar yang dirancang secara interaktif, partisipatif, dan kontekstual.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menjadi media yang bersifat top-down, podcast seyogianya difungsikan sebagai ruang dialog naratif yang menghadirkan suara-suara dari komunitas sendiri: petani, penyuluh lapangan, pelaku pasar lokal, hingga tokoh adat. Ini sejalan dengan pendekatan participatory communication, di mana masyarakat bukan hanya objek informasi, tetapi menjadi subjek dalam proses komunikasi pembangunan (Servaes, 2008).
Desain konten pun sebaiknya merespons kebutuhan dan realitas lokal. Misalnya, podcast yang membahas teknik budidaya kopi tidak cukup hanya menyebutkan tahapan teknis, tetapi harus membingkai narasi tersebut dalam konteks agroekologi wilayah, pengalaman lokal petani, serta tantangan pasar yang mereka hadapi. Dalam hal ini, pendekatan convergence communication sebagaimana dikembangkan oleh Tacchi & Kiran (2018), menjadi relevan menggabungkan teknologi, narasi lokal, dan partisipasi komunitas.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, tugas para penyuluh, fasilitator digital, dan perencana program pembangunan bukan semata menggenjot produksi konten, tetapi merancang pengalaman belajar digital yang menyeluruh. Ini berarti menciptakan alur komunikasi yang berlapis: dari podcast inspiratif, menuju visualisasi teknik melalui video, hingga ruang diskusi interaktif berbasis grup komunitas baik daring maupun luring. Hanya dengan pendekatan demikian, podcast benar-benar dapat berperan sebagai alat pemberdayaan, bukan sekadar hiburan di sela aktivitas pertanian.
Daftar Pustaka :
APJII. (2023). Laporan Survei Internet APJII 2023: Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. https://apjii.or.id/survei2023
Badan Pusat Statistik. (2022). Profil Petani Milenial Indonesia. BPS.
Chambers, R. (1997). Whose Reality Counts? Putting the First Last. Intermediate Technology Publications.
ADVERTISEMENT
Edison Research & Triton Digital. (2023). The Infinite Dial 2023: Podcast Consumption in Southeast Asia.
FAO. (2021). Digital and Inclusive Rural Advisory Services. Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Herder and Herder.
Knowles, M. S. (1984). Andragogy in Action: Applying Modern Principles of Adult Learning. Jossey-Bass.
Mayer, R. E. (2001). Multimedia Learning. Cambridge University Press.
Melkote, S. R., & Steeves, H. L. (2001). Communication for Development in the Third World: Theory and Practice for Empowerment. SAGE Publications.
Rogers, E. M. (2003). Diffusion of Innovations (5th ed.). Free Press.
Servaes, J. (2008). Communication for Development and Social Change. SAGE Publications.
Tacchi, J. (2009). The need for dialogue in communication for development: Towards a ‘holistic’ approach. Participatory Learning and Action, 59, 21–28.
ADVERTISEMENT
Tacchi, J., & Kiran, G. (2018). Inclusive Innovation: Digital Storytelling for Development. UNESCO & QUT.
UNDP. (2020). Digital Public Goods for Development: Emerging Practices. United Nations Development Programme.
Yilmaz, R. M. (2017). Exploring the role of media in agricultural extension: A case of podcast adoption among young farmers. Journal of Agricultural Education and Extension, 23(3), 243–256. https://doi.org/10.1080/1389224X.2016.1268665