Konten dari Pengguna

Deepfake Bikin Kita Ragu Sama Segalanya, Masih Percaya Matamu?

Arsyad Sadewa
Mahasiswa Universitas Pamulang Fakultas Teknik Informatika S1
10 Mei 2025 15:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arsyad Sadewa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi deepfake ( sumber https://pixabay.com/id/photos/medis-sains-layar-sentuh-6324364/ )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi deepfake ( sumber https://pixabay.com/id/photos/medis-sains-layar-sentuh-6324364/ )
ADVERTISEMENT
Bayangkan kamu sedang scroll media sosial, lalu muncul video seorang tokoh penting menyampaikan pernyataan kontroversial. Ekspresinya nyata, suaranya pas, mulutnya sinkron. Tapi beberapa jam kemudian, muncul klarifikasi:
ADVERTISEMENT
Inilah wajah baru dari ancaman informasi di era digital, deepfake. Teknologi yang awalnya dianggap sekadar inovasi hiburan kini berubah menjadi alat manipulasi yang mengancam kepercayaan publik terhadap realitas.

Apa Itu Deepfake?

Deepfake adalah hasil manipulasi konten visual dan/atau audio menggunakan kecerdasan buatan (AI), khususnya teknik pembelajaran mendalam (deep learning). Teknologi ini memungkinkan seseorang meniru wajah, suara, dan gerakan tokoh lain secara nyaris sempurna. Bahkan saking halusnya, manusia biasa tanpa pelatihan khusus hampir mustahil membedakan antara video asli dan hasil rekayasa. Deepfake bukan hanya soal hiburan semata. Ia kini merambah ke wilayah politik, ekonomi, keamanan, dan bahkan kehidupan pribadi.

Dari Lelucon Jadi Senjata

Dulu, konten deepfake populer sebagai parodi atau konten kreatif di YouTube dan TikTok. Tapi kini, potensinya jauh lebih mengkhawatirkan:
ADVERTISEMENT
Teknologi ini bukan lagi mainan. Ia sudah jadi senjata informasi massal.

Kenapa Kita Harus Khawatir?

Ilustrasi pengkodean deepfake ( sumber https://pixabay.com/id/photos/kode-pengkodean-komputer-data-1839406/ )
Di tengah banjir informasi saat ini, deepfake membuat kita meragukan segalanya. Bahkan bukti visual yang dulu dianggap paling sahih, kini bisa dipertanyakan. Ini menciptakan efek ganda seperti, orang mudah tertipu oleh konten palsu yang terlihat meyakinkan, atau orang jahat bisa dengan mudah menyangkal bukti asli dengan klaim,
ADVERTISEMENT
Berkaca dari ini, Hany Farid, seorang profesor di bidang ilmu komputer dari University of California, Berkeley, yang ahli dalam deteksi deepfake, mengatakan,
Teknologi ini bukan lagi hanya menjadi alat hiburan atau penelitian. Ia kini telah mengaburkan batas antara kebenaran dan kebohongan, mempengaruhi semua aspek kehidupan kita, dari politik hingga hubungan pribadi.

Bagaimana Mendeteksinya?

Mendeteksi deepfake memang sulit, tapi bukan tidak mungkin. Beberapa cara yang bisa dilakukan:
ADVERTISEMENT
Namun, perlu diakui, kecanggihan teknologi makin hari makin menyulitkan deteksi manual. Ini berarti kita perlu solusi lebih besar.
Menurut Dr. Siwei Lyu, profesor di University of Albany yang telah banyak meneliti teknologi deepfake,

Solusi Jangka Panjang: Literasi Digital dan Regulasi

Kunci utama menghadapi deepfake bukan sekadar alat, tapi pendidikan literasi digital. Masyarakat harus diajarkan untuk lebih kritis terhadap konten visual dan memahami bagaimana teknologi ini bekerja. Pendidikan ini harus dimulai sejak dini, dari ruang kelas hingga ruang keluarga.
Selain itu, diperlukan regulasi yang jelas soal penyalahgunaan teknologi deepfake. Banyak negara termasuk Indonesia masih tertinggal dalam hal hukum yang secara khusus mengatur penyebaran konten manipulatif semacam ini. Dr. Sherry Turkle, seorang profesor di MIT yang juga pakar psikologi dan teknologi, mengingatkan,
ADVERTISEMENT

Saat Fakta dan Fiksi Tak Lagi Jelas

Ilustrasi kebingungan ( sumber https://pixabay.com/id/photos/ragu-potret-keraguan-ide-berpikir-2072602/ )
Deepfake bukan sekadar tren teknologi. Ia adalah tantangan zaman. Jika dulu kita percaya
sekarang kita harus bertanya:
Di era digital yang penuh noise ini, bukan lagi cukup hanya jadi pengguna. Kita harus jadi warga digital yang cerdas, skeptis, dan bertanggung jawab. Karena ketika teknologi bisa menciptakan ilusi yang sempurna, hanya nalar kritis yang bisa menyelamatkan kita dari tipu daya yang nyaris tak terdeteksi.