Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ijazah Masih Relevan, Atau Subscriber yang Kini Jadi Tuntutan?
5 Mei 2025 14:30 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Arsyad Sadewa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Anak muda selalu diajarkan bahwa ijazah adalah tiket utama menuju kesuksesan. Sejak kecil, kita dicekoki narasi seperti itu. Masuk SD yang bagus, lanjut ke SMP unggulan, masuk SMA favorit, lalu kuliah. Dapat gelar. Lalu kerja. Begitu katanya. Tapi di tahun 2025, narasi seperti:
ADVERTISEMENT
mulai terdengar seperti lelucon basi. Gelar sarjana sudah digenggam. CV sudah dikirim ke puluhan perusahaan. Tapi tak kunjung dipanggil. Di sisi lain, ada remaja 19 tahun yang membuat konten lucu di TikTok atau jadi reseller skincare di Shopee bisa menghasilkan puluhan juta. Bukan karena dia punya ijazah, tapi karena dia punya subscriber, audiens, dan keberanian mencoba. Lalu kita bertanya:
Ijazah Bukan Lagi Jaminan, Tapi Pendidikan Masih Membodohi Dengan Janji Masa Depan Palsu
Kita perlu jujur. Ijazah hari ini tak lagi menjamin masa depan.
ADVERTISEMENT
Kenapa bisa begitu? Karena dunia kerja hari ini lebih butuh keterampilan, jejaring, komunikasi, dan adaptasi, bukan gelar akademik semata. Tapi anehnya, kampus dan sekolah kita masih sibuk dengan hafalan, UTS dan UAS, dan makalah formal yang sering hanya dibaca satu orang: dosennya.
Sementara itu, anak muda belajar dari YouTube, ikut bootcamp daring, belajar dari Discord, komunitas, atau dari pengalaman langsung di lapangan. Dan ironisnya, kadang justru inilah yang lebih “menghasilkan”.
Dunia Sudah Bergerak, Tapi Pendidikan Kita Masih Jalan di Tempat
Dunia kerja berubah setiap lima bulan, tapi kurikulum baru disusun tiap lima tahun. Ini bukan hiperbola.
ADVERTISEMENT
Lebih tragis lagi, dosen yang mengajarkan teori kerja kadang bahkan belum pernah bekerja di industri yang diajarkan. Kita belajar tentang "dunia kerja" dari orang yang belum pernah mengalaminya.
Apakah Salah Anak Muda?
Apakah salah jika anak muda hari ini lebih memilih menjadi freelancer, content creator, atau bahkan dropshipper daripada kuliah S1 Teknik selama 4 tahun dengan biaya belasan juta? Tentu tidak. Mereka hanya sedang realistis.
Tokoh pendidikan Paulo Freire pernah bilang:
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Pendidikan kita hari ini justru menjadi alat pembentukan keseragaman, bukan kebebasan. Anak muda dibentuk menjadi sama, padahal dunia butuh keberagaman peran.
Jalan Lain yang Justru Berhasil
Kita tak kekurangan contoh anak muda yang sukses dengan jalur non-formal:
ADVERTISEMENT
Mereka ini bukan anti-pendidikan. Tapi mereka memilih pendidikan yang relevan dan membebaskan.
Pendidikan yang Membebaskan, Bukan Membatasi
Anak muda tidak menolak pendidikan. Mereka hanya menolak sistem yang tidak menjawab kebutuhan zaman.
Pendidikan seharusnya bukan tempat yang mengatur mimpi, tapi ruang untuk mengeksplorasi mimpi. Tapi sayangnya, justru banyak institusi pendidikan yang sibuk mencetak angka akreditasi, mengejar lulusan cepat, dan memaksakan jalur linear yang tak semua orang cocok jalani. Saatnya Pendidikan Dipertanyakan, Bukan Dimaklumi. Selama ini, kita terlalu sering memaklumi:
Tapi dunia tak menunggu. AI terus berkembang. Bisnis digital berjalan cepat. Persaingan global tak kenal belas kasihan. Kita tidak bisa menyalahkan anak muda karena tidak cocok dengan sistem lama. Justru sistemlah yang harus ditanya:
ADVERTISEMENT
Pendidikan Harus Berubah, Atau Ditinggalkan
Kita tidak anti-kuliah. Tapi kita pro-kesadaran. Bahwa hari ini, belajar bisa dari mana saja. Dan masa depan bukan hanya milik pemilik ijazah, tapi milik mereka yang mau terus belajar dan berani berpikir ulang.
Jika sistem pendidikan tak segera berubah, maka anak muda tak akan menunggu. Mereka akan menciptakan jalurnya sendiri. Dan itu bukan pembangkangan, tapi respons atas dunia yang berubah total.
Karena masa depan tak dibentuk oleh tradisi. Tapi oleh keberanian untuk memulai cara baru.
ADVERTISEMENT