Konten dari Pengguna

Kampus Jadi Pabrik Gelar Bukan Rumah Pikir

Arsyad Sadewa
Mahasiswa Universitas Pamulang Fakultas Teknik Informatika S1
7 Mei 2025 16:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arsyad Sadewa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kampus ( Sumber https://pixabay.com/id/photos/universitas-bangunan-tua-kampus-2704306/ )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kampus ( Sumber https://pixabay.com/id/photos/universitas-bangunan-tua-kampus-2704306/ )
ADVERTISEMENT

Ketika Pendidikan Tinggi Sibuk Meluluskan, Bukan Mencerahkan

Ilustrasi pusing ( sumber  https://pixabay.com/id/photos/dewasa-terganggu-mengaburkan-1850268/ )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pusing ( sumber https://pixabay.com/id/photos/dewasa-terganggu-mengaburkan-1850268/ )
ADVERTISEMENT

Kampus Kehilangan Jiwanya

Di masa lalu, kampus adalah tempat ide-ide liar lahir dan diuji. Ia adalah rumah bagi para pemikir gelisah, ruang aman bagi kritik dan kebebasan berpikir. Namun hari ini, banyak kampus justru lebih mirip "pabrik gelar" tempat mahasiswa diproses, dinilai, lalu dikemas dalam toga. Yang penting lulus cepat. IPK tinggi. Serap kurikulum. Patuh pada dosen. Tidak banyak tanya. Padahal pendidikan tinggi semestinya mengajarkan mahasiswa bagaimana berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan.

Gelar Akademik Tidak Menjamin Nalar Kritis

Ilustrasi akademik ( sumber https://pixabay.com/id/photos/mahasiswa-diploma-lulusan-rumbai-3990783/ )
Di media sosial, kita sering melihat sarjana berdebat tanpa dasar, menyebarkan hoaks, atau terjebak dalam pemikiran hitam-putih. Bukan karena mereka bodoh, tapi karena sistem pendidikan tinggi lebih menilai nilai akhir daripada proses berpikir.
Banyak mahasiswa yang mengerjakan tugas hanya untuk mendapat angka, bukan untuk memahami. Skripsi disusun sekadar formalitas. Seminar dan diskusi pun jarang menyentuh akar persoalan semuanya diburu-buru demi akreditasi dan "output" kuantitatif.
ADVERTISEMENT
Apakah ini salah mahasiswa? Tidak sepenuhnya. Sistemnya memang mendorong mereka untuk berkompetisi dalam kecepatan, bukan kedalaman.

Dosen Pun Terjebak dalam Sistem

Ilustrasi dosen pusing ( sumber https://pixabay.com/id/photos/pria-tua-senior-penderitaan-513529/ )
Para dosen juga tak lepas dari tekanan. Mereka dituntut menulis jurnal terindeks, mengejar beban kredit, dan menaikkan peringkat kampus. Banyak yang akhirnya tak punya waktu atau energi untuk benar-benar mengajar dalam arti membangun nalar, berdialog, dan membuka ruang kritis. Kelas menjadi satu arah. Ujian jadi rutinitas. Dan kurikulum jarang memberi ruang untuk kontestasi gagasan atau pemikiran alternatif.

Kampus Menjadi Korporat, Mahasiswa Jadi Konsumen

Saat banyak kampus dikelola seperti perusahaan, orientasi pendidikan pun bergeser. Mahasiswa dianggap klien, bukan mitra berpikir. Asalkan membayar UKT dan lulus tepat waktu, dianggap sukses.
Akibatnya, ruang demokrasi kampus mengkerut. Aktivisme dianggap mengganggu. Mahasiswa yang kritis dicap pembangkang. Padahal sejarah bangsa ini membuktikan: kampus yang hidup adalah kampus yang gaduh oleh debat, kritik, dan perlawanan intelektual.
ADVERTISEMENT

Membangun Kembali Rumah Pikir

Jika ingin mengembalikan martabat pendidikan tinggi, kampus harus berani melawan arus efisiensi tanpa esensi. Harus kembali menjadi tempat orang berpikir, salah, belajar, dan tumbuh secara utuh.
Berani menata ulang sistem penilaian, memberi ruang untuk pertanyaan sulit, dan menempatkan mahasiswa sebagai subjek pembelajaran bukan objek kurikulum.
Karena gelar bisa dicetak dalam empat tahun, tapi nalar yang tajam dan pikiran yang merdeka adalah hasil dari pergulatan seumur hidup.
Selama kampus masih lebih fokus pada kuantitas lulusan daripada kualitas pemikiran, kita hanya akan menghasilkan generasi yang pintar menjawab soal, tapi bingung menjawab zaman.
Ilustrasi pilihan jawaban ( sumber https://pixabay.com/id/photos/tahun-baru-keputusan-jalur-plang-5291766/ )
Sudah waktunya kita bertanya:
ADVERTISEMENT