Satu Episode dalam Kehidupan Seorang Pemuda yang Hidup di Jakarta

Muhammad Rizki Ardhana
Fans Manchester City
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2021 21:17 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rizki Ardhana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi cerita. Sumber: Foto Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cerita. Sumber: Foto Pribadi.
ADVERTISEMENT
MALAM ini, aku akan mendongengkan kepadamu sebuah cerita tentang seorang jejaka yang biasa-biasa saja. Sebut saja orang itu Pemuda U. Walaupun tokohnya banal, semoga kamu bisa sabar untuk mengikutinya hingga tamat deh, sudah cukup bagiku. Tanpa banyak basa-basi, langsung saja kuceritakan kepadamu satu hari dalam kehidupan Pemuda U tepat sebulan yang lalu:
ADVERTISEMENT
Pemuda U sedang menggenggam ponselnya sambil berbaring santai di atas ranjang tunggal yang hanya cukup untuk dirinya seorang. Malam itu, yang terakhir di bulan April, terasa panas sekali. Kipas angin warna ungu yang tertancap di dinding kamarnya dihidupkan dengan tiga tarikan tali. Pemuda U menggali-gali galeri foto yang ada di ponselnya untuk mengecek kembali jadwal masuk kerjanya di bulan depan. Di foto tersebut, kolom tabel pojok kiri bawah bertuliskan huruf “S”; besok pagi Pemuda U harus berangkat ke kantornya, yang terletak di ujung utara kota Jakarta. Usai memastikannya, ia memencet tombol home dan melanjutkan panggilan video dengan keluarganya di kampung, yang berada di salah satu kota kecil di bagian timur pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
“Kapan rencana mau pulang ke sini lagi?” tanya Ibunya.
“Belum tahu, Bu. Kemungkinan dua bulan lagi. Ibu juga sudah dengar berita terbaru dari TV, kan? Ada wacana larangan mudik untuk lebaran tahun ini. Mau melanggar pun enggak berani, takut kena hukuman disiplin, apalagi baru setahun kerja, Bu,” ujar Pemuda U. “Bulan Juni kayaknya, aku baru bisa pulang.”
“Wah, belum bisa pulang dong, lebaran ini? Bakal dua kali berarti, Mas, kamu enggak bisa ngerasain opor dan sambel goreng kentang buatan Ibu di rumah.” sambar Adiknya sambil tertawa.
Pemuda U hanya bisa tersenyum masam. Aku ikut menertawakannya.
Tak terasa 1 jam lamanya mereka telah berbincang bersama. Pemuda U berpamitan kepada orang tuanya untuk mengakhiri panggilan. Alasannya, ia ingin segera bersiap untuk tidur, karena esok pagi ia harus berangkat kerja. Selepas menekan tombol merah, Pemuda U telentang memandangi plafon putih kamarnya. Tatapannya kosong, aku tak tahu apa yang ada di pikirannya selama 5 menit. Alarm pengingat waktu tidurnya pun berbunyi, dan ia beranjak dari kasurnya lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Pukul 22.25, Pemuda U mulai memejamkan matanya.
ADVERTISEMENT
Tak lama setelahnya, aku turut mengantuk dan ikut terlelap.
. . .
Pagi pun tiba. Sang surya telah menunjukkan pucuk kecilnya kepada dunia. Kala kumembuka mata, Pemuda U ternyata telah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Maaf saja, aku tidak bisa menceritakan padamu tentang apa saja yang dilakukannya sejak bangun hingga ia telah bersiap. Berat sekali rasanya untuk bangun pagi itu. Lanjut saja ke cerita:
Pemuda U telah memakai seragam biru dongkernya, dari kemeja hingga celana. Tak lupa, kedua pundaknya telah dipasangi evolet, yang secara berurutan tertempel: lambang perak, satu bordiran garis putih, dan singkatan nama instansi tempatnya bekerja. Selain itu, di bagian depan seragamnya terpampang nama Pemuda U, dan di lengan baju sebelah kirinya melekat badge berwarna merah-hitam yang di tengah-tengahnya terdapat lambang berwarna kuning. Selanjutnya, Pemuda U menyisir rapi rambutnya dan menyemprotkan parfum dupe sebuah merek fesyen terkenal 4 kali ke tubuhnya: leher, dada kiri-kanan, dan punggung jadi yang pemungkas. Wanginya layaknya campuran dari esens jeruk bergamot, lada, narwastu, dan bahan-bahan lainnya. Setelah berkaca hingga puas, dirinya lalu memasukkan beberapa barang ke dalam ransel hitamnya: dompet, botol minum, dan sebuah buku.
ADVERTISEMENT
Hari ini, Pemuda U memilih untuk memakai jaket jin biru muda sebagai tamengnya saat berkendara. Selesai memakai sepatu kulit hitam, Kinjeng pun dikeluarkan olehnya ke jalan. Kinjeng adalah motor Supra 125 berwarna hitam dan kelabu yang merupakan kesayangan Pemuda U. Ia sangat mengasihi motornya, sampai-sampai hampir tiap hari Pemuda U memandikan dan menyabuni Kinjeng, sebab Kinjeng adalah salah satu kepunyaan “mahal” pertama yang dibelinya menggunakan uang tabungannya sendiri, setelah menabung beberapa bulan lamanya. Jenaka memang.
Tidak perlu waktu lama, badan Kinjeng telah memanas dan Pemuda U segera menaikinya. Sebelum berpacu bersama, tak lupa Pemuda U berdoa supaya dirinya dan Kinjeng selamat, entah dari celaka, marabahaya, juga pecahan kaca. Setelah menelungkupkan tangan ke mukanya, Pemuda U siap melaju menembus debu dari Rawamangun menuju kantornya yang terletak di dalam area Pelabuhan Tanjung Priok. Pasangan setia memulai ekspedisi dari timur ke utara.
ADVERTISEMENT
. . .
Saat menaiki Flyover Pramuka, Pemuda U merasa gerah betul. Pagi itu, matahari yang melayang di kanan jalan terasa sangat dekat, walaupun sebenarnya berjarak 150 juta kilometer dari bumi—tak terbayang seperti apa yang akan manusia rasakan di akhirat. Kala itu, langit cerah berwarna biru menjadi lanskap yang cukup elok untuk dipandang, dibandingkan dengan hari-hari biasa yang berwarna abu-abu—entah karena sedang mendung maupun asap kendaraan yang menggembung. Jaket jinnya yang sengaja tak dikancingkan tidak membantu Pemuda U untuk merasakan hawa sejuk. Kancing atas baju seragamnya pun dicopot; dilepaslah ikatan yang membelenggu leher Pemuda U. Lebih sejuk rasanya, karena bisa merasakan semilir angin polusi jalanan Jakarta.
Walaupun di akhir pekan, masih saja ratusan kendaraan roda dua maupun roda empat menggilas aspal jalanan, yang entah ke mana tujuan akhirnya. Yah, kurasa pantas juga sifat jumawa dirasakan oleh para Homo Jakartanensis, saat menyebut kota tempatnya tinggal sebagai “Kota yang Tak Pernah Tidur”; sudah mirip New York dan Tokyo saja. Namun, seperti biasa, saat akhir pekan Pemuda U tak hanya ditemani pengendara bermotor lainnya. Puluhan pesepeda dari yang menaiki model jengki, lipat, maupun balap juga turut meramaikan jalan. Pagi ini, untung saja para pesepeda mengayuh besikalnya di pinggir, tidak sampai memakan tengah jalan raya. Soalnya, Pemuda U punya tragedi mengerikan tentang sepeda, tapi tak akan kuceritakan—terlalu panjang.
ADVERTISEMENT
Oh iya, pasti kalian baru teringat kan, kalau tanggal 1 Mei hari libur nasional? Lalu kenapa Pemuda U berangkat kerja? Nanti deh, akan kujelaskan lebih lanjut setelah sampai di tujuan.
Dalam perjalanannya ke kantor, Pemuda U perlu melewati tiga jembatan layang: Pramuka, Cempaka Mas, dan Kelapa Gading. Semakin menuju ke utara, seragam Pemuda U pun semakin terbuka. Dari yang totalnya 6 butir kancing, setengahnya telah dibebaskan. Tentu saja tidak dibuka secara berurutan, tapi dilompati satu-satu. Toh Pemuda U memakai dalaman hitam pula dibaliknya.
Sudah 18 menit Pemuda U melesat kencang menumpangi Kinjeng, dan ia telah sampai di pertigaan Enggano. Setelah berbelok ke kiri, ramai benar kendaraan berlalu lalang. Memang jalan tersebut berfungsi layaknya leher botol, karena dari yang sebelumnya tiga, jalurnya menyempit menjadi dua saja. Apalagi, jalan Enggano jadi salah satu trayek utama orang-orang yang berkendara dari timur laut menuju ke arah Ancol. Lebih parahnya lagi, selain sepeda motor dan mobil pribadi, jalan itu juga dipenuhi dengan truk-truk kontainer raksasa.
ADVERTISEMENT
Pemuda U selalu berhati-hati saat melaju di jalan tersebut, dan kali ini jarum speedometer Kinjeng tidak pernah melebihi angka 50 km/jam. Namun, apa hendak dikata, saat diri sudah berhati-hati, ada saja hal-hal diluar kehendak yang dapat mencelakakan jiwa. Tanpa tedeng aling-aling, sebuah angkot merah tiba-tiba saja memotong ke arah kiri untuk mengambil penumpang yang melambaikan tangannya di pinggir jalan. Sontak Pemuda U langsung menarik tuas rem dan membanting kepala Kinjeng ke arah kanan untuk menghindari tabrakan dengan angkot itu. Ia pun kaget dan refleks bergunjing. Tentu saja, kata umpatannya tidak akan kusebutkan di sini. Dan setelah beberapa detik, akalnya pun kembali bekerja. Pemuda U menenangkan diri dan bertaubat kepada Yang Maha Kuasa: meminta ampunan atas dosa yang telah diperbuat, serta memohon supaya pahala puasanya tak hangus pula.
ADVERTISEMENT
Roda Kinjeng pun lanjut berotasi. Selepas melewati pos gerbang pelabuhan, sebuah gedung berwarna putih pucat dan bergaris biru pun terpampang jelas. Walaupun sudah tua, bangunan tersebut masih saja terlihat gagah, dan Pemuda U melesat kencang menuju ke arahnya.
. . .
Setelah mengistirahatkan Kinjeng di parkiran, Pemuda U melangkah ke lantai basemen gedung. Saat melihat jam Casio hitam di pergelangan tangannya, jarum jam tepat menunjukkan pukul 07.59—hampir saja ia telat absen. Buru-buru Pemuda U membuka aplikasi di ponselnya, dan lanjut berswafoto sebagai bukti bahwa ia telah berada di kantornya pada saat itu. Pemuda U memutuskan untuk beristirahat sejenak di ruang kerjanya, serta mendinginkan kepala. Dua AC tua berwarna putih kusam berbunyi tanda dihidupkan, dan tombol untuk menurunkan suhu di remote pengatur beberapa kali ditekan.
ADVERTISEMENT
“Sambil nonton satu video dulu, ah.” gumam Pemuda U, saat memencet tombol power di komputer yang ada di depannya.
Seusai layar monitor jadi terang, logo rubah oranye dikliknya dua kali. Pemuda U mengetik “youtube.com” di kolom pencarian, lalu belasan video muncul dan menunggu untuk disaksikan. Kali ini ia memilih video berjudul “MENGGILA DI JEPANG #01” buatan salah satu youtuber favoritnya. Penonton dibawa pergi untuk menemani vlogger perempuan itu menjelajahi Osaka seharian: dari bermain wahana di Universal Studio Japan, berfoto dengan papan iklan bergambar seorang atlet yang sedang berlari, hingga makan ramen di Dotonburi.
Hampir setengah jam Pemuda U duduk anteng terbawa suasana. Seusai layar menghitam, video tersebut meninggalkan 2 kesan baginya: tekad ingin pergi ke Jepang dan bunyi perut keroncongan yang sama-sama semakin keras. Pemuda U jadi kecut dan memutuskan untuk pergi ke atas, menuju meja kerjanya yang betulan.
ADVERTISEMENT
Oh iya, aku berhutang untuk menjelaskan mengapa Pemuda U pergi ke kantor di hari libur. Ia adalah seorang pegawai negeri sipil yang berdinas di jawatan salah satu kementerian. Seperti yang telah kuberitahu, kantornya yang terletak di pelabuhan menunjukkan bahwa tupoksi instansinya pasti tak jauh dari urusan perdagangan, tepatnya impor dan ekspor. Mengawasi keluar-masuknya barang ke perbatasan negara jadi tugas mereka yang utama.
Tentu saja, pekerjaan untuk mengawasi dan melindungi masyarakat Indonesia dari penyelundupan dan perdagangan ilegal tak memandang waktu. Apalagi, Tanjung Priok selaku tempat Pemuda U bekerja merupakan pelabuhan tersibuk se-Indonesia, dan yang ke-26 di dunia. Oleh karena itu, kantor tempatnya bekerja harus memberlakukan jam kerja yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan. Tuntutan pekerjaan menjadikan Pemuda U sebagai salah satu pegawai yang hari kerjanya berbeda dibanding rekan-rekan pada umumnya. Ia bekerja sebagai awak terdepan kantornya; laksana gerbang utama, berhadapan langsung dengan orang-orang yang membutuhkan pelayanan jasa. Kau ingin tahu apa yang dikerjakannya? Pemuda U bekerja sebagai penerima surat masuk.
ADVERTISEMENT
. . .
Di luar gedung, terik mentari bersinar menyilapkan mata, dipantulkan warna-warni ribuan kontainer yang bertumpukan. Suara-suara klakson truk saling berbalas, dan terdengar samar-samar gema megafon yang galak dibunyikan. Di depan komputer, Pemuda U duduk anteng dengan kaki disilangkan dan kepalanya tertunduk kaku, memandang ke arah bawah. Tangannya menggenggam sebuah buku bersampul biru.
Setelah dilihat lebih dekat, tampak wajah seorang laki-laki botak yang beraut wajah masygul dan terlihat seperti tuyul besar. Di pojok kanan atas tertulis Almost Transparent Blue. Rupanya Pemuda U sedang membaca novel gubahan Ryu Murakami. Penulis asal Negeri Sakura tersebut dikenal dengan novel-novelnya yang bertema absurd dan sering menampilkan dekadensi moral serta usaha sia-sia manusia modern untuk mencari makna hidup sesungguhnya, yang hingga kini tak kunjung terjawab. Unik juga selera Pemuda U. Dirinya terlihat serius dalam membaca novel tipis tersebut, tapi matanya menunjukkan kebingungan.
ADVERTISEMENT
“Hadeh, jadi pusing.” gumamnya.
Diletakkanlah buku itu ke atas meja, kemudian Pemuda U melemaskan punggungnya ke kursi. Kepalanya dimiringkan ke arah kiri, dan matanya tertuju pada evolet yang terpasang di bahunya. Satu garis putih yang sudah semakin kusam layaknya simbol, menyiratkan bahwa telah genap sewarsa seragam biru dongker itu dikenakan olehnya. Kurasa ia sedang berangan-angan tentang masa depannya: kapan garis putihnya bertambah dua? Beberapa hari yang lalu, Pemuda U mendengar kabar bahwa kampusnya dulu tempat menimba ilmu, tidak lagi membuka pendaftaran bagi para alumninya untuk melanjutkan perkuliahan kembali ke jenjang yang lebih tinggi. Pupus sudah harapan Pemuda U untuk melanjutkan pendidikannya lagi, saat masa semangat belajar sedang tinggi-tingginya. Target-target tahun ke depannya semua sirna, diberanguskan oleh pahitnya kenyataan. Ia terjebak di tengah kabut tebal yang tak kunjung memudar, sampai seorang datang ke hadapannya.
ADVERTISEMENT
Seorang bapak-bapak tua, yang kutaksir sudah berkepala empat, datang menggotong ransel hitam di punggungnya. Topi trucker, kemeja putih berpola kotak-kotak, celana jin kombor warna biru luntur dipakai secara berurutan dari kepala ke kaki. Ia datang ke meja dan menaruh setumpuk dokumen.
“Siang, Mas.” ucapnya sembari menganggukkan kepala.
“Siang. Bagaimana, Pak? Ada yang bisa dibantu?” balas Pemuda U.
“Ini, saya mau mengajukan surat,” balas Bapak itu sambil mendorong masuk dokumennya. “Biasa, permohonan percepatan pemeriksaan.”
“Oh, siap. Sebentar ya, Pak.”
Saat Pemuda U memfotokopi lembar pertama surat yang diajukan, Pak Tua itu kembali bertanya, “Jaga sendirian, Mas?”
“Betul, Pak. Mulai pandemi kemarin yang jaga di sini cuma seorang. Surat-surat juga lumayan berkurang, jadi dijaga seorang pun cukup.”
ADVERTISEMENT
“Wah, tambah sepi dong di sini. Apalagi pelayanan sudah pindah ke loket belakang semua.” ujar Pak Tua sambil tertawa.
“Iya gini deh, Pak, kalau berangkat pas hari libur,” balasnya seraya menandatangani dan mengecap tanggal di tanda terima. “Mangga, Pak.” ucap Pemuda U saat menyerahkannya.
“Siap. Kira-kira kapan ya permohonannya di proses? Kalau bisa sih segera, soalnya barangnya peka waktu. Tolong dibantu ya, Mas.”
“Wah, kemungkinan nggak bisa hari ini, Pak, kan ini suratnya harus diantar ke Kepala Kantor dulu. Nah, beliau baru masuk hari Senin. Mohon ditunggu saja, Pak.”
“Waduh, kalau begitu tak tunggu aja.” ucap Pak Tua. “Ya sudah, terima kasih banyak ya, Mas Umar.” katanya sambil tersenyum lebar.
ADVERTISEMENT
“Siap. Sama-sama, Pak.”
Pandangan mata Umar mengikuti Pak Tua tersebut keluar gedung, dan tiba-tiba rintik hujan turun perlahan. Makin lama, hujan turun makin deras. Ia kembali duduk, dan memutuskan untuk bermain komputer sejenak. Logo rubah merah diklik dua kali dan youtube.com dibuka lagi. Umar lalu memilih sebuah video pertunjukan sandiwara dari sebuah sanggar teater di Jakarta untuk ditonton. Lakon yang dimainkan adalah Waiting for Godot karya Samuel Beckett, dramawan asal Irlandia. Karya Beckett nan paling masyhur ini menceritakan tentang dua orang laki-laki, Vladimir dan Estragon, yang duduk berdua di atas batu untuk menunggu seseorang bernama Godot, sepanjang waktu berjalan. Selama satu setengah jam lebih, Umar menyaksikan Didi dan Gogo mengobrol dan berdebat ngalor-ngidul dan panjang-lebar tentang hal-hal absurd, yang ujung-ujungnya mereka putuskan untuk tetap menunggu kedatangan Godot, nan tak kunjung tiba. Namun anehnya, bibir Umar tersenyum lebar usai menonton pertunjukannya.
ADVERTISEMENT
. . .
Beberapa jam telah berlalu, dan Umar masih berlenggang di kursi untuk menyelesaikan novelnya. Di luar, mentari sudah memperlihatkan batang hidungnya kembali. Sampai saat itu, tak ada lagi orang datang untuk menyerahkan surat pada Umar. Begini-begini saja memang, bila mendapat jadwal kerja di akhir pekan; tak ada orang datang, tak ada pembicaraan. Kegiatan di pelabuhan juga tak seramai hari-hari biasa. Hanya buku dan komputer yang jadi teman setia Umar dari datang hingga petang. Tepat jam empat, ia turun menuju ruang basemen untuk berkemas pulang.
Kinjeng telah lama menunggu sahabatnya untuk datang di parkiran. Sehabis mesinnya dinyalakan, Umar memasang wireless earphone ke kupingnya sembari menunggu Kinjeng menghangat. Untuk menemaninya di perjalanan kembali, kali ini Umar memilih untuk memutar playlist band-band dari barat, dan Charmless Man didapuknya jadi lagu pembuka. Saat handel gas diputar ke belakang, dentum drum Dave Rowntree dan serak basah nyanyian Damon Albarn lantang terdengar beriringan dengan dua roda kinjeng yang berputar.
ADVERTISEMENT
Sesaat setelah keluar dari pelabuhan, puluhan orang berbaju merah berkumpul di trotoar jalan, tepat di dekat Monumen Tonggak Samudra. Salah seorang diantaranya naik ke atap mobil pikap, menggenggam megafon di tangan kiri dan tangan kanannya dikepalkan di udara. Rekan-rekan dibawahnya mengamini semua perkataan yang keluar dari mulutnya. Semangat populisme memang sedang gencar-gencarnya digalakkan oleh masyarakat, khususnya para kerah biru, apalagi sejak undang-undang perekonomian disahkan tahun lalu. Namun anehnya, terdengar juga selingan “Tuhan Mahabesar” dalam bahasa Arab diserukan oleh massa ketika menyambut orasi pemimpinnya—yah, mungkin karena sedang suasana Ramadan saja. Umar memandangi mereka sekilas, sebelum menyeberang ke kanan untuk pulang.
Baru beberapa meter berjalan, Umar merasa matanya seperti berkunang-kunang. Jauh di depan sana, terlihat kilatan cahaya perak yang menyilaukan pandangannya. Setelah Umar perlahan-lahan mendekat, rupanya kilatan tersebut berasal dari sinar mentari yang dipantulkan badan manusia-manusia silver yang mengamen di perempatan. Lampu merah pun menyala; orang-orang menghentikan laju kendaraannya, giliran manusia silver yang bergerak. Tarian patah-patah macam gerakan Robocop ditampilkan oleh para lelaki yang melapisi badannya tiap hari dengan campuran cat sablon dan minyak tanah—yang membahayakan kulit dan pernapasannya sendiri—di antara garis hitam-putih penyeberangan pejalan. Umar merogoh kantong celananya untuk mengeluarkan selembar uang abu-abu, dan memasukkannya ke ember yang diarahkan padanya. Terdengar kata “terima kasih” saat orang silver tersebut menundukkan kepala. Delapan detik setelahnya, lampu hijau sudah menyala kembali.
ADVERTISEMENT
Umar menikmati perjalanan pulangnya bersama Kinjeng. Matahari terlihat sangat dekat di sebelah kanannya, tapi Umar tak merasa kegerahan. Kali ini, enam kancing bajunya masih terpasang rapi. Namun, jalan raya masih saja ramai dengan ratusan kendaraan. Orang-orang berangkat dari utara untuk menghabiskan malam Minggunya ke selatan, melepas penat sejenak dengan pergi ke surganya Jakarta. Ketika diapit di tengah dua kendaraan, Mr. Blue Sky dari Electric Light Orchestra mendapat giliran untuk diputar. Sepuluh menit setelahnya, Umar telah sampai di belokan terakhir menuju kosnya. Pohon kastanye dan ginkgo menyambutnya datang di kedua sisi; berlomba untuk menggugurkan kuning-hijau daunnya hingga menutupi aspal jalanan. Sejuk sekali hawa senja kala itu.
Sesampainya di kamar, Umar melepas seragam dan berganti ke setelan pabriknya, kaos oblong dan kolor pendek. Ia memutuskan untuk bermain ponsel sebentar sambil menunggu azan magrib dikumandangkan. Dibaringkanlah badannya menuju bantal dan kasur sempitnya yang tak begitu empuk, dan membuka galeri fotonya. Ia melihat lagi lembar jadwal untuk bulan Mei, dan melihat ke kolom miliknya untuk esok hari. "S". Dua pojok bibir Umar pun terangkat.
ADVERTISEMENT
. . .
Nah, begitu saja cerita yang bisa kusampaikan kepadamu tentang sehari dalam hidup Umar sebulan yang lalu. Santai saja, dia masih hidup, kok, sehat juga. Ingin tahu apa yang sedang dilakukannya? Malam ini di kamarnya, Umar sedang duduk di lantai sembari menatap layar laptop berwarna putih di depannya. Roman wajahnya terlihat tak karuan, jari-jarinya mengetik dan menghapus kembali pekerjaan yang sedang ia buat.
Kau penasaran juga, tulisan apa yang sedang digarapnya? Kubacakan saja deh, paragraf pertama cerita yang sedang diketiknya: "Malam ini, aku akan mendongengkan kepadamu sebuah cerita tentang seorang jejaka yang biasa-biasa saja. Sebut saja orang itu Pemuda U. Walaupun tokohnya banal, semoga kamu bisa sabar untuk mengikutinya hingga tamat deh, sudah cukup bagiku. Tanpa banyak basa-basi, langsung saja kuceritakan kepadamu satu hari dalam kehidupan Pemuda U tepat sebulan yang lalu:..."
ADVERTISEMENT