Sortana: Membumikan Nilai Filosofis Peranti Kematian sebagai Kearifan Lokal

Aris Dany Setyawan
Mahasiswa S-1 Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang Pecinta Sastra I Penulis Kesejarahan SosBud I Pengamat Pendidikan
Konten dari Pengguna
3 Maret 2023 10:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aris Dany Setyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Representasi Kearifan Lokal, sumber: Foto Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Representasi Kearifan Lokal, sumber: Foto Pribadi
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai budaya dan kearifan lokal Indonesia seakan tidak ada habisnya. Dari ujung barat Sumatera hingga timur Papua seakan ada saja hal unik yang patut dikupas. Dari segi tradisi, kenampakan alam hingga kulinernya.
ADVERTISEMENT
Salah satu unsur kedaerahaan yang menarik untuk dibahas adalah kearifan lokal. Kearifan lokal sendiri dapat didefinisikan sebagai tradisi yang dilakukan oleh suatu masyarakat dengan tujuan tertentu. Tujuan ini biasanya mengandung unsur untuk melestarikan suatu hal, baik berupa lingkungan atau nilai luhur sosial.
Berdasarkan tujuannya, kearifan lokal memiliki banyak jenis. Dari upacara kelahiran, ritual alam, hingga kematian. Tulisan ini akan mengupas mengenai salah satu kearifan lokal di Madura dalam lingkup upacara kematian.
Sulit untuk dipungkiri, manusia hidup di dunia ini pada puncaknya akan kembali pada pangkuan sang ilahi rabbi. Hakikat kehidupan selanjutnya akan dapat dipijak ketika manusia telah melewati fase kematian. Mati sendiri dapat didefinisikan sebagai proses berpisahnya jasad dan juga roh pada diri seseorang untuk menjalani kehidupan yang lebih abadi.
ADVERTISEMENT
Maka tidak heran bilamana kematian dianggap sebagai hal yang sakral, baik secara religi dan juga kultural. Perspektif kultural menafsirkan bila kembalinya seseorang pada dimensi kehidupan yang lebih agung harus diantarkan dengan luhur serta penghormatan yang tinggi. Pandangan kultural ini yang memicu munculnya upacara dalam fenomena kematian.
Upacara dalam kematian sendiri bersifat variatif, mengingat Indonesia beranugerahkan multikultural yang terbentang dari Sumatera hingga Papua. Setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam menghormati seseorang yang meninggal. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kondisi geografis, sosiologis dan juga religius wilayah tersebut.
Di antara berbagai kearifan lokal dalam kematian di Indonesia, terdapat salah satu bentuknya yang unik. Sortana namanya, mungkin sedikit asing di telinga. Wajar saja sebab kearifan lokal yang berasal dari Madura ini memang sedikit terekspos kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Perihal itulah, Sortana ini menarik untuk dikupas dengan lingkup sebagai kearifan lokal. Pertama, perlu diketahui bahwa suku Madura merupakan suku yang mendiami pulau di sebelah timur laut Pulau Jawa, berseberangan dengan beberapa kota di Provinsi Jawa Timur.
Mata pencahariannya sendiri berorientasi pada sektor maritim seperti halnya nelayan, pembuat garam dan juga pedagang ikan. Sedangkan secara religi, suku Madura, didominasi masyarakat yang berpegang teguh akan syariat Islam. Tidak berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, Madura memiliki beberapa keunikan dalam tradisi-tradisi di dalamnya. Salah satunya adalah Sortana ini.

Sortana

Barang Pecah Belah sebagai Sortana, sumber: foto pribadi
Sortana sendiri, merupakan suatu kebiasaan orang Madura dalam rangkaian upacara kematian. Secara prosedural, keluarga yang ditinggalkan memberikan benda milik orang yang berpulang tersebut kepada orang-orang yang dianggap memiliki kontribusi selama proses perawatan jenazah.
ADVERTISEMENT
Adapun benda-benda yang biasanya diberikan ialah benda pecah belah yang terdiri atas satu talam yang berisikan dua piring dan juga dua cangkir lengkap dengan tatakannya. Di samping barang-barang rumah tangga tersebut, beberapa keluarga juga menyelipkan seperangkat pakaian baik yang baru maupun pakaian yang pernah dikenakan oleh orang yang meninggal.
Sortana sendiri pada hakikatnya berasal dari kata "kasur tanah". Benda-benda milik orang yang meninggal dan diberikan kepada orang tersebut dapat membawa manfaat bagi penerimanya. Kemanfaatan ini lantas bisa mendatangkan pahala bagi orang yang meninggal sehingga dapat istirahat di alam barzakh dengan tenang layaknya tidur di kasur, walaupun kasur tanah.
Kasur tanah sendiri merupakan sebuah bentuk akulturasi antara Islam dan juga adat istiadat Madura. Ajaran islam nampak dari nilai filosofis Sortana sendiri yang secara hakikat dilakukan dengan tujuan barang dimiliki orang yang telah meninggal tetap bisa dimanfaatkan oleh orang lain.
ADVERTISEMENT
Sedangkan nilai kultural dari Madura sendiri berada pada titik pemberian barang-barang sebagai kasur yang merupakan kebiasaan dari nenek moyang mereka. Akulturasi seperti ini yang menjadikan kearifan seperti Sortana menjadi hal yang unik serta terus dipertahankan oleh masyarakat. Keluhuran nilai dan juga pendidikan sosial menjadi alasan mengapa akulturasi tidak dapat hilang begitu saja di tengah masyarakat.

Nilai Filosofis

Manusia Memiliki Jalan yang Panjang dalam Kehidupan, sumber: foto pribadi
Tidak ada budaya yang tidak memiliki makna. Setiap perilaku dan juga kebiasaan pada hakikatnya memiliki nilai semiotik. Leluhur kita dalam menjalani kehidupan tidak serta merta sekadar melaluinya begitu saja, melainkan memperhatikan nilai filosofis yang bisa diajarkan kepada anak cucunya walaupun dalam lingkup yang mikro sekalipun.
Seperti halnya dalam tradisi Sortana ini, nilai filosofis yang terkandung di antara semua unsur telah termaktub di dalamnya. Sortana diberikan kepada orang yang telah merawat orang yang telah meninggal memberikan sebuah amanat bagi orang yang hidup bahwasanya, ketika sudah meninggal kita tidak bisa melakukan apapun sehingga sudah seyogyanya kita menjadi manusia harus berbuat baik kepada semua orang.
ADVERTISEMENT
Selain itu Sortana juga mengingatkan kita untuk memiliki rasa terima kasih kepada orang-orang yang telah memberikan bantuan kepada kita walaupun kita sudah berada di akhir hayat.
Unsur dalam Sortana yang tidak kalah memiliki nilai filosofis unik adalah tentang barang-barang yang diberikan kepada orang-orang. Barang-barang yang diberikan adalah satu tampan yang berisikan dua piring, dan dua cangkir, tak jarang beberapa juga menambahkan sobekan kain bludru.
Benda-benda seperti ini memiliki nilai filosofis yang mendalam bila diselami dan dikorelasikan dengan kehidupan. Piring dan cangkir yang merupakan piranti makan dapat dimaknai sebagai sebuah tabiat seorang yang telah meninggal yang sudah tidak membutuhkan makan lagi, begitupun kain bludru juga mewasiatkan bila pakaian juga tidak lagi dibutuhkan oleh orang yang telah meninggal.
ADVERTISEMENT
Nilai filosofis ini mengacu tentang bagaimana orang yang telah meninggal tidak membawa apapun selain amal perbuatannya. Merujuk pada makna tersebut, maka pemberian barang-barang orang yang meninggal kepada orang lain ini diharapkan menjadi ladang amal tersendiri bagi orang yang telah berpulang.
Selain itu, makna lain dalam perspektif sosial terdapat pada sisi alat-alat makan menjadi simbol yang mengajarkan kita sebagai makhluk sosial sudah selayaknya menyadari bahwa di sekitar kita masih banyak orang yang dalam masalah sandang, pangan bahkan papan masih menemui masalah dalam memenuhinya.
Oleh sebab itu, bila kita memiliki rezeki yang berlebih hendaklah mau melihat keadaan kanan dan kiri kita agar muncul rasa empati kepada orang lain, seiring ada rasa ingin membantu orang tersebut.
ADVERTISEMENT

Eksistensi Sortana

Kebutuhan Manusia adalah Makan, sumber: foto pribadi
Sortana ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat Madura, bukti bahwa nilai luhurnya masih terus dipertahankan hingga zaman modern seperti ini. Sortana ini dapat digolongkan sebagai kearifan lokal karena di dalamnya terdapat local genius atau hasil pemikiran-pemikiran masyarakat untuk mengatasi suatu problematika tertentu.
Orang yang telah meninggal tentu tak membawa barang apapun, semua harta benda miliknya ditinggal. Menghadapi fenomena ini, masyarakat di Pulau Madura memiliki inisiatif untuk memberikan barang peninggalan orang yang telah meninggal kepada orang lain agar tetap mendatangkan manfaat.
Hal ini juga bersentuhan langsung dengan kondisi orang Madura yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dengan asumsi mereka memiliki derajat hidup yang baik. Oleh sebab itulah tradisi memberikan barang-barang kepada orang lain ini menjadi sebuah kebiasaan yang wajib untuk dilakukan. Kebiasaan ini lantas mendarah daging hingga menjadi sebuah kearifan lokal yang turun temurun antar generasi.
ADVERTISEMENT
Kearifan lokal layaknya Sortana ini banyak memberikan manfaat, manfaat ini dapat dilihat dari sisi zahir dan batin. Secara zahir merupakan manfaat yang dapat diterima akal secara mentah-mentah. Di mana memberikan barang milik orang yang telah meninggal dapat dirasakan manfaatnya bagi penerima dan bagi pemberinya.
Selain dari sisi manfaat yang diperoleh, barang tersebut masih memiliki kegunaan walaupun berpindah kepemilikan. Berbekal argumentasi sedemikian, sudah selayaknya kearifan lokal seperti ini dilestarikan. Bukan tanpa alasan, kearifan lokal seperti ini mendapat mengajarkan nilai-nilai luhur dalam berinteraksi sosial bagi anak cucu kita nanti.
Kendati perkembangan zaman terus terjadi, tradisi-tradisi seperti ini memiliki sifat fleksibel yang artinya dapat mengikuti dan menyesuaikan perkembangan zaman. Sehingga dengan terus lestari, maka manfaat dari kearifan lokal ini juga dapat dirasakan oleh banyak orang di masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT