Keadilan dan Empati Bagi Albino

11 Mei 2017 12:39 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Perpetua Sinkoro, penyintas albinisme Tanzania (Foto: Dok. OCHCR)
zoom-in-whitePerbesar
Perpetua Sinkoro, penyintas albinisme Tanzania (Foto: Dok. OCHCR)
Perpetua Sinkoro harus dua kali kerja lebih keras ketika waktu itu ia masih mengenyam pendidikan dasar. Sinkoro, gadis 'albino' atau penyandang albinisme asal Tanzania, mengaku kesulitan dalam melihat materi yang diajarkan gurunya. Selain itu, dia memiliki kulit putih pucat dan berbeda dibanding warna kulit teman-teman lainnya.
ADVERTISEMENT
Di samping kesulitan bersekolah, Sinkoro menghadapi bayang-bayang mencekam akan hidup sebagai albinisme di Tanzania. Dia dan 1400 penyandang albinisme lainnya sewaktu-waktu bisa dibunuh dan diperkosa hanya karena mitos-mitos yang tersemat di orang-orang albino yang jamak ditemui di Tanzania.
Namun kerja kerasnya membawa ke jalan hidup yang lebih beruntung. Dia berhasil menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Hukum University Dar-es Salaam, kampus terbaik di negaranya.
Lulus tahun 2015, dia memutuskan bergabung dalam gerbong orang-orang yang melakukan advokasi terhadap isu diskriminasi albino. Pilihannya tidak salah mengingat dia adalah orang yang beruntung jika mengingat kondisi memprihatinkan saudara-saudaranya yang sesama penyandang albinisme. Tercatat ada 500 aksi kekerasan, 186 kasus pembunuhan, dan catatan kriminal lain seperti pemerkosaan, mutilasi, orang hilang yang menargetkan penyandang albinisme sejak tahun 2000.
ADVERTISEMENT
Penyandang albinisme dari Afrika (Foto: Dok. Under the Same Sun)
zoom-in-whitePerbesar
Penyandang albinisme dari Afrika (Foto: Dok. Under the Same Sun)
Penindasan masih menjadi pemandangan umum di dunia modern yang konon lebih beradab. Salah satu bentuknya adalah warna kulit yang dijadikan tolok ukur untuk merendahkan manusia lainnya.
Nestapa semacam ini terjadi terhadap orang-orang albinisme - kondisi lahiriyah manusia yang tidak memiliki pigmen melanin. Hidup orang albino adalah hidup tanpa identitas rasial yang dimiliki semua orang: kulit putih, kulit hitam, atau kulit berwarna.
Kondisi yang amat jarang terjadi ini justru berbalik membuat hidup mereka tidak normal. Dunia masih gagal memahami albinisme, baik secara sosial maupun secara medis. Gagal paham ini berujung penindasan yang tidak berujung.
Di benua Afrika, albinisme mengalami penderitaan berlapis. Mereka harus dihadapkan problem kultural dan struktural. Albino hidup dalam keadaan sakit yang renta dan membutuhkan penanganan khusus dalam hidupnya agar mereka berdaya. Kurangnya fasilitas tertentu yang mereka butuhkan untuk bersekolah, melanjutkan penghidupan, hingga fasilitas pengobatan.
ADVERTISEMENT
Belum lagi faktor kultural yang menyiksa secara fisik. Penyandag albinisme menjadi objek ritual yang membuat nyawanya terkesan murah. Setiap anak yang lahir albino akan dibunuh karena dianggap penyihir. Pada tahun 2016, seorang balita albino dibunuh di Kamerun yang kemudian membawa temuan kasus serupa lainnya di negara tersebut.
Perempuan albinisme diperkosa karena klaim yang mampu menyembuhkan penyakit hingga membuat mereka menjadi kaya. Hal ini rata terjadi di negara Afrika Utara dan Afrika Timur.
Selain hak hidup yang berada di ujung kuku, hak dasar mereka sebagai manusia yang diperlakukan setara sering mendapat pengabaian. Menurut catatan LSM penyandang albinisme Under the Same Sun, hak atas pendidikan yang layak, lapangan pekerjaan, dan akses kesehatan tidak bisa ditawar lagi.
ADVERTISEMENT
Kisah Sinkoro adalah potret bahwa langkah pemenuhan akses terhadap albinisme begitu krusial. Ketiadaan pigmen tidak hanya terjadi di kulit, namun juga di antara kornea dan retina. Hal tersebut menyebabkan pandangan mereka kabur. Kegiatan membaca dan menulis akan terhalang oleh pandangan kabur yang mereka alami karena tidak mampu menangkap pantulan cahaya dengan normal.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang albinisme yang tidak memiliki pigmen sebagai pelindung alami kulit akan mudah terbakar di paparan sinar matahari. Dengan cuaca panas ekstrem yang tak terelakkan, albinisme hidup dalam ancaman kanker kulit. Hampir seluruh orang albinisme mengalami masalah kulit bahkan sebelum menginjak usia 30 tahun.
Orang albino berbaur dengan orang Afrika lainnya. (Foto: Standing Voice/Facebook)
zoom-in-whitePerbesar
Orang albino berbaur dengan orang Afrika lainnya. (Foto: Standing Voice/Facebook)
LSM pendamping albinisme di Benua Afrika mendorong penyedian fasilitas kesehatan inklusif. Kemiskinan yang dihadapi warga Afrika diganti dengan penyediaan obat-obatan gratis terutama sunblock SPF 30.
ADVERTISEMENT
Albinisme bukan orang lemah yang butuh dikasihani. Mereka mampu berdaya dengan kerja keras dan keringat mereka. Hanya perlu empati untuk menyediakan lingkungan kerja yang ramah bagi albino.
Sebagaimana albinisme sebisa mungkin melakukan aktivitas tertutup dari sinar matahari, mereka perlu diberdayakan dengan lapangan pekerjaan dalam ruangan. Pelatihan skill komputer, menulis, dan pekerjaan dalam ruangan lainnya amat diperlukan. Tentu dengan alat bantu untuk bisa mengurangi dampak gangguan pandangan akibat ocular albinism.
Meski kebanyakan masalah terjadi di Afrika, albinisme adalah fenomena jamak di setiap negara. Tidak kurang dari 20 ribu albinisme terjadi di Eropa dan Afrika. Upaya pemenuhan hak albino telah diatur dalam resolusi Sidang Umum PBB tahun 2013. Alih-alih menyalahkan, kita perlu memberi empati terhadap albinisme agar mampu untuk berdaya meski berbeda.
ADVERTISEMENT