Ujung KTT G20: Kesepakatan Normatif dan Bebalnya Trump

10 Juli 2017 14:25 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
KTT G20 di Hamburg, Jerman. (Foto:  Laily Rachev - Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
KTT G20 di Hamburg, Jerman. (Foto: Laily Rachev - Biro Pers Setpres)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Hamburg, Jerman, berakhir antiklimaks. Pelaksanaannya yang diwarnai ingar bingar demonstrasi, kerusuhan-penjarahan, dan bumbu-bumbu menarik dalam pertemuan antarkepala negara, berujung datar.
ADVERTISEMENT
Dalam keputusan bersama yang mestinya jadi puncak acara itu, tak ada gebrakan yang dijanjikan mengenai penanganan isu perubahan iklim dan imigran. Sebab musababnya ialah “kebandelan” Amerika Serikat di bawah Donald Trump.
Sebanyak 19 pemimpin negara anggota G20 gagal meyakinkan Trump untuk membawa kembali AS pada Kesepakatan Paris.
Trump memang membuat berang negara-negara lain karena menarik AS dari Konvensi Perubahan Iklim Paris.
Donald Trump saat menghadiri KTT G20 di Hamburg (Foto: REUTERS/Markus Schreiber)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump saat menghadiri KTT G20 di Hamburg (Foto: REUTERS/Markus Schreiber)
Sebagai forum ekonomi, G20 tahun ini dihadapkan pada situasi ekonomi dunia yang cenderung stabil. Namun tak ada agenda revolusioner guna menyelamatkan perekonomian global. Jerman selaku tuan rumah mengarahkan forum ke isu-isu terhangat seperti perdagangan, pengungsian, dan tentu saja perubahan iklim.
Pertemuan dua hari, 7-8 Juli, itu lantas menelurkan sebuah komunike Deklarasi G20 berjudul Shaping an Interconnected World. Dalam komunike tersebut, terdapat beberapa kata kunci seperti penegasan kerja sama ekonomi dan keuangan, pengembangan teknologi, dan perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Penegasan kerja sama ekonomi keuangan adalah pernyataan “usang” yang amat biasa dan rutin, sebab ekonomi memang jiwa G20. Sementara kebijakan yang dihasilkan sama normatifnya seperti biasa --terus mematuhi mekanisme Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), memperkuat finansial global, dan menggunakan pendekatan investasi dalam memperkecil indeks pembangunan ekonomi antara negara maju dan berkembang.
Butir kebijakan “potensi teknologi untuk meningkatkan konektivitas ekonomi global” juga bukan hal baru. Meski, ada pula satu langkah maju terkait kerja sama keuangan di bidang perpajakan untuk memberlakukan Automatic Exchange of Information guna bertukar informasi tentang warga negara satu dengan lainnya dalam rangka transparansi.
Automatic Exchange of Information itu terkait upaya G20 memerangi praktik korupsi dan kriminalitas di dunia keuangan. Itu sebabnya isu teknologi menjadi basis penting dalam pertemuan G20 kali ini.
ADVERTISEMENT
G20 memiliki visi mewujudkan masyarakat yang saling terhubung satu sama lain pada 2025. Untuk itu, negara anggota berkomitmen membangun kapasitas teknologi komunikasi dan informasi, termasuk untuk urusan bisnis.
Teknologi menjadi andalan dalam rancangan pembangunan G20. Komunike merangkum beberapa inisiatif penggunaan teknologi di beberapa bidang seperti pangan, pemberdayaan perempuan, dan program menciptakan lapangan kerja.
Pemberdayaan perempuan akan dinaungi program Women Entrepreneurs Financing Initiative (We-Fi) sebagai bentuk kerja sama dengan Bank Dunia. Sementara di sektor kepemudaan, G20 meluncurkan Initiative for Rural Youth Employment untuk menciptakan 1,1 juta tenaga kerja baru pada 2022.
Ilustrasi Perubahan Iklim (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perubahan Iklim (Foto: Pixabay)
Negosiasi soal iklim tetap jadi tajuk utama KTT G20. Tentu, itu gara-gara ulah Trump. Ia menarik AS keluar dari Kesepakatan Paris yang berisi perjanjian untuk mengurangi emisi karbon dunia dari aktivitas industri demi mengerem perubahan iklim global yang mengancam bumi.
ADVERTISEMENT
Langkah Trump menarik AS mundur dari Kesepakatan Paris sudah dari beberapa bulan sebelumnya dikecam Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Prancis Emmanuel Macron. AS dianggap tak tahu diri karena dia termasuk salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia.
Macron sampai-sampai memelintir jargon kampanye Trump “Make America Great Again” menjadi “Make Our Planet Great Again”.
Soal iklim tercantum pula pada butir Komunike G20. Dalam komunike tertulis tentang roadmap energi global yang menyesuaikan dengan Kesepakatan Paris, yakni upaya negara-negara G20 (kecuali AS) untuk keluar dari penggunaan energi fosil yang terbarukan.
Komunike menyatakan, negara anggota G20 berkomitmen untuk menggunakan energi yang “terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan, dan menghasilkan emisi karbon rendah, untuk diterapkan dalam sistem pengelolaan energi secepat mungkin.”
ADVERTISEMENT
Butir perubahan iklim pada komunike tersebut lantas menghasilkan Hamburg Update on G20’s Action Plan on the 2030 Agenda for Sustainable Development sebagai bentuk komitmen kolektif negara anggota G20 (atau mungkin lebih tepatnya G19 minus AS).
Dalam poin Energi dan Iklim itu, negara anggota mengakui pentingnya aksi bersama dengan menawarkan energi alternatif dan pengurangan polusi udara. Namun untaian kata pada Komunike G20 tentang perubahan iklim tak sebaik kedengarannya. Perdebatan antara AS (yang dikucilkan) dan negara-negara lain tertuang jelas dalam komunike.
Pada sesi diskusi mengenai perubahan iklim, AS menarik diri. Maka pada komunike dicantumkan keterangan, “Kami mencatat keputusan AS untuk menarik diri dari Kesepakatan Paris.” Meski, AS akan “berusaha untuk bekerja sama dengan negara lain untuk membantu mendapatkan akses tenaga fosil yang lebih bersih dan efisien.”
ADVERTISEMENT
Ora ono AS yo ora patheken. Begitu mungkin kata orang Jawa. Maka sementara AS tetap bebal bersikukuh pada pendiriannya, negara-negara anggota G20 lain --mau tak mau-- bergerak tanpanya.
Komunike G20 tetap menegaskan, “Pemimpin negara anggota G20 meyakini Kesepakatan Paris sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar. Kami menegaskan kembali komitmen kami mengenai Konvensi Paris.”