Konten dari Pengguna

Rahasia Kepintaran: Apa yang Lebih Penting, Usaha atau Bakat Bawaan?

Ardhian Maulana Nawwaf
Mahasiswa Aktif Semester 1, prodi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Indonesia
30 Desember 2024 10:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ardhian Maulana Nawwaf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Sarah Nolter on Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Sarah Nolter on Unsplash.com
ADVERTISEMENT
Pertanyaan ini pertama kali muncul saat saya memasuki SMA. Saat itu, pandemi COVID-19 datang dan memaksa pembelajaran sekolah menjadi daring. Pada masa itu, nilai saya anjlok dan saya kehilangan rasa percaya diri. Saya sering memandangi nilai hasil UTS dan UAS dengan putus asa. Melihat teman-teman saya dengan nilai yang jauh lebih bagus membuat saya iri. Maka, saya mulai bertanya-tanya: Apa yang membuat seseorang bisa begitu pintar?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan ini tidak hanya datang dari rasa penasaran, tetapi juga dari rasa frustrasi. Selama bertahun-tahun menjadi siswa, “kepintaran” selalu dijadikan tolok ukur utama yang menentukan siapa yang berhasil dan siapa yang tertinggal. Kebanyakan orang percaya bahwa kecerdasan adalah bawaan lahir—bahwa orang pintar akan tetap pintar, sementara orang bodoh akan selalu tertinggal. Pemikiran ini kemudian menjadi sumber keputusasaan bagi sebagian besar orang, yang pada akhirnya menyerah untuk belajar.
Pada awalnya, saya pun memercayai pandangan tersebut. Saya yakin bahwa teman saya yang jauh lebih pintar memang terlahir cerdas, dan apa pun yang saya lakukan untuk menyusulnya akan sia-sia. Namun, seiring waktu, saya mulai menyadari betapa salahnya keyakinan itu.
Pada tahun terakhir SMA, saya memutuskan untuk mulai belajar dengan serius. Jujur, ini bukan keputusan yang menyenangkan. Bayangan nilai anjlok di rapor masih menghantui, dan materi-materi seperti fisika dan biologi terasa sangat sulit untuk dipelajari (hingga akhir, saya masih kesulitan mempelajarinya). Namun, pelan-pelan sesuatu terjadi.
ADVERTISEMENT
Saya mulai memahami beberapa konsep yang sebelumnya terasa mustahil. Momen “aha” mulai sering terjadi ketika saya memahami pelajaran. Teman-teman saya mulai meminta bantuan untuk menjelaskan materi yang sulit, dan mereka sering memuji penjelasan saya yang, menurut mereka, lebih mudah dipahami. “Kamu pintar,” kata mereka. Betapa pun senang saya dengan pujian tersebut, saya tahu dalam hati bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Saya hanya seseorang yang telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk berusaha memahami sesuatu, sering kali dari berbagai sudut pandang.
Apa yang teman-teman saya anggap sebagai “kepintaran” bukanlah hasil dari bakat ataupun genetika saya. Itu adalah hasil dari usaha saya untuk belajar. Ketika saya melihat lebih dekat, saya juga menyadari bahwa kebanyakan teman saya yang dianggap pintar memiliki hal yang serupa. Bahkan, mereka lebih teratur dalam mengatur waktu belajar, menyelesaikan tugas tepat waktu, dan mereview materi pelajaran. Kepintaran mereka bukan hasil dari sekadar usaha sesaat, tetapi kebiasaan yang dibangun perlahan-lahan.
ADVERTISEMENT
Ada banyak penelitian yang mendukung opini tersebut. Pada penelitian tahun 2005 oleh ​​Angela L. Duckworth dan Martin E.P. Seligman, misalnya, mereka menemukan bahwa siswa dengan kedisiplinan diri yang tinggi—diukur dari kemampuan menunda gratifikasi dan kebiasaan belajar—cenderung mendapatkan nilai yang lebih baik, lebih jarang absen, dan lebih sering diterima di sekolah unggulan dibandingkan siswa dengan IQ tinggi tetapi kurang disiplin. Faktanya, penelitian ini menunjukkan bahwa kedisiplinan diri menjelaskan lebih banyak perbedaan dalam pencapaian akademik dibandingkan IQ.
Tentu saja, IQ tetap penting sebagai fondasi awal. Namun, IQ hanya menentukan potensi dasar seseorang, sementara kemajuan sejati ditentukan oleh usaha dan konsistensi. Dengan kata lain, bakat alami hanyalah permulaan; keberhasilan ditentukan oleh tindakan sehari-hari yang membangun kebiasaan.
ADVERTISEMENT
Inilah yang membedakan saya dengan teman-teman yang saya anggap pintar, yang membuat mereka berhasil begitu mudah, sementara saya perlu berusaha keras untuk mencapainya. Perbedaannya bukan terletak pada kemampuan bawaan, tetapi pada kemajuan kecil yang mereka buat secara konsisten. Entah mereka sadari atau tidak, mereka membuat kemajuan ini setiap hari melalui kebiasaan mereka untuk belajar dan memperbaiki diri. Tidak masalah jika prosesnya sulit dan lambat; usaha yang mereka buat sedikit demi sedikit membuat prosesnya jauh lebih mudah daripada yang saya lakukan.
Hal yang sama dapat diterapkan oleh siapa saja. Tidak perlu fokus pada hasil akhir yang besar—cukup lakukan sedikit demi sedikit dan nikmati prosesnya. Kemajuan kecil secara konsisten adalah kunci. Seperti yang dijelaskan dalam Atomic Habits oleh James Clear,
ADVERTISEMENT
Dengan mempraktikkan kebiasaan kecil secara konsisten, hasil yang besar juga akan mengikuti.
Jadi, jika Anda bertanya kepada saya apa yang membuat seseorang pintar, saya tidak yakin bisa memberikan jawaban pasti. Namun, saya tahu satu hal: Kepintaran bukanlah soal seberapa cepat Anda memahami sesuatu, melainkan seberapa keras Anda mau berusaha untuk memahaminya. Kepintaran adalah tentang kegigihan, keberanian untuk mencoba meski gagal, dan penerimaan bahwa belajar bukanlah suatu garis akhir yang statis.
Ia adalah proses.