Berburu Balung Buta di Patiayam (1857-1931)

Ardhiatama Purnama Aji
Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang (Unnes), Pegiat Komunitas Kalamkopi, Eks-Ketua History Study Club 2020/2021, dan Eks-Menteri LH BEM KM Unnes 2021.
Konten dari Pengguna
21 November 2022 17:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ardhiatama Purnama Aji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis berpose di Museum Situs Purbakala Patiayam, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus pada Senin (17/10) pagi. Foto: dokumen pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Penulis berpose di Museum Situs Purbakala Patiayam, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus pada Senin (17/10) pagi. Foto: dokumen pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh Ardhiatama Purnama Aji*
Ketika mengarungi belantara kepurbakalaan Indonesia, perhatian kita bisa jadi langsung tersita kepada Situs Sangiran, alih-alih mendengar Situs Patiayam. Mungkin itu bisa dimaklumi, lantaran Situs Sangiran yang kelewat masyhur. Pun membuncahkan lebih banyak fosil manusia purba yang disebut-sebut adalah nenek moyang manusia era kini.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, Patiayam bukanlah situs yang remeh-temeh dalam belantara kepurbakalaan negeri ini. Beraneka tinggalan era Plestosen macam fosil vertebrata dan tinggalan budaya tangible era Paleolitikum ditemukan di sana. Bahkan, Kepala Desa Terban Pak Supeno mengklaim, ada sekira 10 ribu fragmen fosil yang sudah tersimpan di Museum Situs Purbakala Patiayam.
Nah, berangkat dari kilasan-kilasan itu, saya merasa perlu untuk menulis tulisan mengenai Situs Patiayam dari pelbagai perspektif sebisa-bisanya. Sekalipun, kacamata sejarah menjadi yang dominan guna merajut sumber-sumber secara kronologis dan dengan semampu-mampunya, sebisa-bisanya pula.
Lanskap yang tampak dari Perbukitan Patiayam pada Minggu (23/10) pagi. Foto: dokumen pribadi.
Bekas Gunung Berapi: Latar Geo-arkeologis
Situs Patiayam memiliki lanskap geomorfologis berupa perbukitan dan lembah. Dari sisi geografis, gundukan bukit-bukit Patiayam terletak di sebelah tenggara Gunung Muria. Puncaknya, Bukit Patiayam memiliki ketinggian sekira 350 meter dari permukaan laut.
ADVERTISEMENT
Mayoritas area dari situs ini masuk dalam wilayah administratif Desa Terban, Klaling, dan Tanjungrejo Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus. Sisanya berada di wilayah administratif Kabupaten Pati, yakni Kecamatan Gembong, Margorejo, dan Tlogowungu.
Lewat menyadur Van Bemmelen, Siswanto dan kawan-kawan (dkk) menyebut Situs Patiayam terbentuk karena proses vulkano-tektonik dari Gunung Muria. Spesifiknya, pergerakan dan runtuhnya sejumlah bagian Gunung Muria dari area tinggi menuju arah tenggara. Hal itu memicu massa batuan yang runtuh tersebut melipat dan menjadi bukit-bukit. Pun setelahnya, dengan terpaan erosi dan denudasi membuat serangkaian bukit-bukit Patiayam saat ini seperti sekarang.
Namun Siswanto dkk tak menutup kemungkinan bahwa Patiayam mulanya adalah gunung berapi sendiri, yang terbentuk oleh aktivitas gunung berapi independen. Dan itu tak berkaitan dengan vulkanisme Gunung Muria, sebagaimana argumentasi Verbeek dan Fennema pada 1896 dan penyadurnya, Van Es pada 1931. Surat kabar Soerabaijasch Handelsblad juga mengafirmasi hal itu: Patiayam adalah gunung berapi lain, bukan bagian dari Gunung Muria.
ADVERTISEMENT
Mulyaningsih dkk pun menuturkan, area Gunung Patiayam merupakan gunung berapi purba (fosil gunung api) berwujud kubah. Pembentukan kubah itu mendapat pengaruh dari sedimentasi kegiatan vulkanik yang memusat di satu titik. Kegiatan vulkanik Patiayam terjadi selama sejumlah rentang waktu dari dua juta tahun lalu sampai 500 ribu tahun silam.
Satu sisi, kompleks gunung api ini mengalami pengendapan asal laut pasca-aktivitas vulkanik. Artinya, beberapa bagian area Patiayam pernah berada di bawah laut. Pun Mulyaningsih dkk menduga, gunung berapi ini mulanya berupa pulau yang tak menyatu dengan Jawa.
Dengan demikian, amat lumrah jika Situs Patiayam mempunyai enam formasi secara stratigrafis. Antara lain Formasi Jambe dari era Pliosen, Formasi Kancilan dari era Plistosen Awal, Formasi Slumprit dari era Plistosen Awal-Tengah, Formasi Kedungmojo, Formasi Sokobubuk dari era Plistosen Akhir, serta endapan teras dari era Holosen.
ADVERTISEMENT
Formasi Jambe merepresentasikan lingkungan laut dangkal. Tak pelak, fosil hewan laut macam foraminifera dan moluska laut terkandung di dalamnya. Lalu, Formasi Kancilan mewakili permulaan beralihnya lingkungan laut dangkal ke lingkungan darat. Sementara Formasi Slumprit memiliki bentang alam berupa endapan fluvium sungai dan delta. Di formasi itulah, fosil hominid dan vertebrata diperoleh.
Peta geologis yang memuat lokasi penemuan fosil vertebrata dan moluska di Perbukitan Patiayam. Sumber: The Age of Pithecanthropus (Van Es, 1931).
Perburuan Para Ilmuwan: Runtutan Historis
Perburuan fosil di perbukitan Patiayam dimulai sejak 1857. Saat itu, seorang pelukis cum cendekiawan Jawa, Raden Saleh dan sesosok geolog Jerman, Frans Wilhelm Junghuhn sukses menemukan fosil-fosil vertebrata di Patiayam dan Pegunungan Kendeng. Karena dibuat keheranan, penduduk setempat lantas menyebut fosil-fosil tersebut sebagai “balung buta”.
Perburuan berikutnya ditempuh oleh Eugene Dubois, seorang doktor-kontroversi teori evolusi dari Eijsden, Belanda. Harry Widianto, dalam Kompas edisi 25 Maret 2009, menuturkan bahwa Dubois dipicu oleh guncangan teori evolusi Darwin sejak abad ke-19. Ia kemudian memijakkan langkahnya di sebuah kepulauan tropis dari Dunia Lama: Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Penjelajahan Dubois ke Hindia Belanda bermula tiga dekade setelah penemuan Junghuhn-Raden Saleh, pada 29 Oktober 1887 dengan menaiki kapal The SS Prinses Amalia. Ia hendak membuktikan teori evolusi secara absah, berbekal pendapat-pendapat yang hipotetif nan fantastis.
Pada 1890-an, Dubois mengutus dua tentara KNIL bernama Anthonie de Winter dan Gerardus Kriele untuk menghimpun fosil serta menemukan sebarannya di Perbukitan Patiayam. Mereka berdua menjumpai kesukaran lantaran kaki-kaki perbukitan Patiayam diselimuti rimbunnya alang-alang.
Tak diduga-duga, mereka masih dihinggapi kesukaran lain karena penduduk setempat saling bersaing dan turut menghimpun fosil. Penduduk setempat hendak menjual fosil-fosil tersebut kepada pedagang Tionghoa. Saat itu, tabib-tabib Tionghoa mempergunakan ramuan bubuk dan cairan berbahan dasar fosil menjadi obat bernama Lung-ku (tulang naga).
ADVERTISEMENT
Begitulah, de Winter lantas memersuasi residen setempat untuk mengeluarkan larangan menggali dan menjual fosil di desa-desa sekitar Patiayam. Namun, penduduk tetap melakukannya secara bawah tanah. Malah, mereka melakukan hal lebih ekstrem: langsung mencuri fosil-fosil di situs-situs eskavasi.
Surat kabar yang berbasis di Belanda, Dagblad van Zuidholland pada Agustus 1891, mencatatkan bahwa eskavasi Patiayam di atas membuahkan beberapa fosil. Antara lain fosil monyet—yang kemungkinan besar bergenus Cercocebus, Hystrix (genus dari landak), dan Bibos cafivrons (kemungkinan besar seladang). Spesies terakhir disebut menjadi bukti baru terhubungnya Pulau Jawa dengan daratan Asia pada era Pleistosen.
Pada Mei 1893, surat kabar Java Bode mewartakan bahwa selain fosil genus Bibos (seladang), Bubalus (kerbau), Leptobos (sapi besar), Axis (rusa), Boselaphus (kerbau besar), Elephas (gajah), Stegodon (gajah purba), Rhinoceros (badak), Hipopotamus (kuda nil), Sus (babi atau celeng), dan Felis (kucing); fosil genus Semnopithecus (lutung) dan Cervulus (kijang) turut ditemukan di Patiayam dan Kendeng.
ADVERTISEMENT
Pada September 1929, surat kabar Soerabaijasch Handelsblad memberitakan bahwa temuan-temuan fosil di seantero Jawa terdengar juga oleh anggota parlemen Hindia Belanda, Volksraad. Sebagian besar anggota Volksraad disebut sangat tertarik dengan temuan fosil mamalia di Bumiayu, Gunung Patiayam, Gunung Kendeng, Gunung Pandan, dan Gunung Sewu.
Mereka juga menyatakan, karena terdapat sejumlah fosil yang terkena lahar pada masa silam, penelitian vulkanologi dan petrografi diperlukan sebagai penunjang. Sayang, hal itu urung dikerjakan karena pemerintah kolonial menempatkan para ilmuwan disiplin tersebut pada kajian yang lain.
Penggalian fosil terakhir di Patiayam terekam pada masa kolonial dan dilakukan pada sekitar 1931. Penelitian yang Van Es kerjakan tersebut membuahkan sembilan jenis fosil vertebrata.
Fosil-fosil yang tersimpan di Museum Situs Purbakala Patiayam pada Senin (17/10) pagi. Foto: dokumen pribadi.
Balung Buta dan Keong Buntet: Pertautan Kultural
ADVERTISEMENT
Seiring para ilmuwan menjamah perbukitan Patiayam, penduduk setempat boleh dibilang memiliki keterikatan lain dengan fosil-fosil yang ada di sana. Surat kabar De Nieuwe Vorstenlanden memuat bahwa orang Jawa yang tinggal di sekitaran Patiayam menyebut tulang-tulang gajah purba sebagai “baloeng boeta”. Penduduk setempat mengatakan, Patiayam dulunya adalah medan laga bagi para raksasa untuk bertarung satu sama lain.
Cerita mengenai pertarungan raksasa itu tentunya tak tiba-tiba jatuh dari langit. Tapi, cerita itu dikonstruksi sebagai sewujud budaya yang tak lepas dan kelahirannya dibidani oleh tradisi orang Jawa. Dengan mengutip Raffles dan Hazeu, De La Faille menuturkan, ada cerita rakyat di Patiayam tentang kisah Kangsa dalam sebuah pementasan wayang.
Pementasan itu mengisahkan bahwa para pengikut Kangsa—yang berubah menjadi buaya—akan menyerbu seantero negeri ketika Kresna, putra dari Basudewa, masih remaja. Nah, serbuan pengikut Kangsa itu direspons oleh Basudewa dan Ugrasena dengan membuat jebakan guna menangkap buaya-buaya tersebut. De La Faille menyebut, jebakan itu diyakini mereka buat di gunung berapi purba Patiayam.
ADVERTISEMENT
Masih seputar keyakinan penduduk Patiayam yang terbilang metafisik, ada keunikan lain yang tercatat dalam koran De Locomotief bulan eptember 1929. Di antara tulang-belulang gajah dan semua jenis hewan purba yang tertanam di tanah Patiayam, secara khusus, cangkang hewan laut memiliki daya tarik tersendiri.
Cangkang hewan laut—kemungkinan besar foraminifera dan mollusca—yang telah membatu dan terisi lava yang memadat adalah primadona. Menurut surat kabar De Locomotief bulan Agustus 1921, cangkang hewan laut itu diadikan jimat dengan nama “keong boentet”. Jimat itu penduduk setempat yakini bisa menghindarkan pemiliknya dariberaneka bencana. Tak pelak, para pencuri sangat ingin mengambilnya sebagai tolok ukur keberhasilan misi mereka.
Penandas
Dari uraian saya yang serba kurang di atas, paling tidak kita bisa meraba jahitan epistemik nan amat kaya yang terjalin di Patiayam. Apalagi, tulisan saya ini hanya berlingkup temporal selama Belanda menancapkan kekuasaannya di Jawa.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, dari tulisan singkat ini, kita tahu bahwa Patiayam tak hanya menjadi salah satu saksi yang merekam pergeseran lingkungan di muka bumi, tapi juga menjadi wadah atau museum non-artifisial dari keanekaragaman hayati yang pernah ada pada zaman pra-aksara.
Tak hanya sebagai ruang yang dieksplorasi, Patiayam juga menjelma ruang para ilmuwan berjerih payah untuk memupuskan pertanyaan-pertanyaan perihal masa silam dari masa silam, sebelum semuanya bisa ditulis, sebelum semuanya bisa diceritakan. Pun bagi penduduk sekitar Patiayam, fosil-fosil itu memiliki pertautan kultural yang relatif kuat, dan menjadikannya tak sekadar fosil, tapi sesuatu yang lebih besar.
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang (UNNES) cum anggota Kelompok Desa Terban UNNES Giat 3 2022.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 28 Agustus 1891
De Locomotief, 26 Agustus 1921
De Nieuwe Vorstenlanden, 24 Juli 1908
Java Bode, 6 Mei 1893
Kompas, 25 Maret 2009
Soerabaijasch Handelsblad, 19 Februari 1906; 14 September 1929
De La Faille, Petrus De Roo. 1934. Javaansche en Maleische Legenden in Raadselgewaad. s'Gravenhage.
Mulyaningsih et al. Juni 2008. “Vulkanisme Kompleks Gunung Patiayam di Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah”. Jurnal Geologi Indonesia 3 (2).
Siswanto et al. 2016. Melacak Jejak Kehidupan Purba di Patiayam. Yogyakarta: Kepel Press.
Van Es, Jean Louis Chretien. 1931. The Age of Pithecanthropus. Springer.