Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Saat Jawa Digerogoti Walang Kayu
13 April 2022 22:01 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ardhiatama Purnama Aji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ada jenis kuliner tak lazim yang cukup tersohor di Jawa, yakni belalang goreng. Makanan “ekstrem” tersebut berbahan dasar belalang kayu, atau dalam bahasa Jawa, walang kayu. Di Gunung Kidul, serangga bernama latin Valanga nigricornis itu menjelma kudapan khas yang digemari warga setempat.
ADVERTISEMENT
Menurut warta portal Solopos.com, permintaan belalang goreng dapat menyentuh 5 kilogram tiap harinya. Pada hari-hari biasa, usahawan belalang goreng bisa menjual 5-6 stoples. Saat liburan, 19 stoples bisa terjual habis dalam satu jam saja. Saking fenomenalnya, sang usahawan harus mengulak belalang dari luar Gunung Kidul, seperti Kulonprogo, Cilacap, dan Kebumen.
Namun, sekitar awal abad ke-20, belalang kayu menjadi momok yang menakutkan bagi petani di seantero Jawa. Serangga kecil itu meninju para petani dengan telak. Daun-daun tanaman produktif seperti kelapa, mangga, dadap, karet, kluwih, dan jati tak bisa lari dari kerakusan belalang kayu.
Kemunculan Sengkarut Belalang
Sejauh ini, wabah belalang di Jawa pertama kali tercatat pada 1898. Pada 21 Januari tahun yang sama, Soerabaijasch Handelsblad mengabarkan bahwa belalang kayu berhasil melibas dedaunan pohon kelapa di beberapa desa Kecamatan Juwangi Kabupaten Boyolali. Menurut Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie edisi 16 Februari 1898, fenomena tersebut sudah terjadi sekitar 10 tahun lamanya.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi di Boyolali, kawanan belalang kayu menyerang Desa Grenjeng Kecamatan Kemusu. De Locomotief edisi 19 Oktober 1898 menyebut, serangga-serangga itu hinggap dan menghabisi daun-daun pada 1.400 tanaman tembakau. Daun-daun jati juga tak luput dari amukannya.
Tahun yang sama, wabah belalang menghajar Kabupaten Banyumas, tepatnya di Kecamatan Jambu, yang kini beralih rupa jadi Kecamatan Wangon. Dalam De Locomotief bertanggal 14 Februari 1898, belalang disebutkan muncul di sejumlah hutan jati dan menyerang lima desa sekelilingnya. Tak hanya pada pohon jati, dedaunan pohon bendo, mangga, kelapa, kluwih, dan dadap lenyap dimakan belalang. Tanaman jagung juga tak berhasil selamat, meskipun padi masih terbebas dari gangguan belalang.
Menurut Sumatra Bode edisi 7 Desember 1916, tempat tinggal permanen belalang kayu memang berada di kompleks hutan jati dan perkebunan karet. Para belalang tersebut menggali tanah dan menyimpan telurnya beberapa sentimeter di dalam tanah area tersebut. Setelah menetas dan memiliki sayap, mereka menyebar ke area sekelilingnya.
ADVERTISEMENT
Tanaman-Tanaman yang Telanjang
Sekira sembilan tahun berselang, walang kayu kembali menyerang. Disitir dari Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 22 Januari 1907, penduduk Kecamatan Mantup Kabupaten Lamongan sangat menderita karena amukan walang kayu. Mereka mengembat seluruh tanaman sampai benar-benar telanjang tanpa daun.
Wabah akhirnya mencapai puncak antara 1915-1917. Bataviaasch Handelsblad edisi 17 Maret 1915, mewartakan kawanan belalang membuncah di sekitar Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga. Pepohonan kelapa dan tanaman-tanaman jagung ditemukan telanjang. Sekalipun musim saat itu cocok untuk menanam jagung, para petani harus gigit jari. Mereka terpaksa menunggu hingga komplotan belalang itu enyah. Di sekitarnya, yakni Kecamatan Kedungjati, yang kini masuk Kabupaten Grobogan, sebagaimana berita De Sumatra Post pada 22 Maret 1922, kerusakan besar juga dialami oleh pepohonan jati dan tanaman opium.
ADVERTISEMENT
Pada 7 April 1915, Bataviaasch Nieuwsblad melaporkan bahwa wabah belalang mendera berbagai desa di Kabupaten Majalengka. Berbeda dari sebelumnya, mereka justru menyerang tanaman kacang. Surat kabar tersebut juga memberitakan bahwa wabah belalang terdeteksi di Indramayu pada 14 April 1915. Menurut Sumatra Bode edisi 7 Desember 1916, belalang mencocor tanaman kedelai dan menjadikan keadaan kian parah di Majalengka pada 1916.
Koran pada edisi yang sama menuturkan, tanaman kopi tidak luput dari kerakusan belalang di Karesidenan Kedu. Buah atau biji kopi muda yang baru matang, yang teksturnya masih amat lunak, habis tak bersisa. Biji-biji kopi tersebut berakhir di organ pencernaan milik para belalang.
Tempat yang kini menjadikan belalang goreng sebagai kuliner primadona, tepatnya Desa Paliyan Kabupaten Gunung Kidul, wabah belalang mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Dalam De Preanger Bode edisi 28 April 1915, daun pada tanaman tembakau dan pohon kelapa yang ditanam penduduk setempat habis sampai tidak tampak satu helaipun. Pada 24 Desember 1915, Bataviaasch Nieuwsblad memberitakan bahwa kerumunan belalang menyebar ke beberapa desa di Kabupaten Gunung Kidul dan Bantul.
ADVERTISEMENT
Menurut Bataviaasch Nieuwsblad edisi 9 Maret 1916, wabah belalang juga menerjang Desa Banjaran Kabupaten Jepara hingga kondisi penduduk setempat tersungkur. Tak hanya hutan jati, pohon-pohon di pekarangan rumah warga sekitarnya turut disikat tuntas. Di sekeliling Komunitas Kristen Kedung Penjalin (kini wilayah Desa Karanggondang) yang makmur, pohon kelapa dan pisang raja diembat sampai gundul.
Sate Belalang dan Pameran Hama
Penduduk Jawa waktu itu mulai beradaptasi guna memperoleh keuntungan di tengah bencana akibat belalang. De Preanger Bode edisi 20 April 1915 mewartakan, mereka memanggang belalang jadi sate. Lantas, sate belalang yang rasanya enak itu disandingkan dengan nasi. Mereka berdalih, “karena kamu memakan nasi (sumber pendapatan)-ku, aku memakanmu!”
Disadur dari Bataviaasch Nieuwsblad, Dr. B. Roepke, selaku ahli entomologi sekaligus Direktur Stasiun Uji Coba Jawa Tengah, diundang dalam pertemuan tentang pengendalian hama belalang di Kantor Karesidenan Semarang pada 17 Maret 1915. Menurut De Sumatra Post edisi 22 Maret 1915, pertemuan itu menghasilkan instruksi pejabat kepada petani untuk mebunuh belalang sebanyak-banyaknya di sekitar Kedungjati dan Salatiga. Namun begitulah, peran serta pemerintah Hindia Belanda dinilai masih minim untuk menggagalkan bahaya pasca-infestasi belalang waktu itu.
ADVERTISEMENT
Tujuh bulan berselang, para pejabat mengadakan pameran di Stasiun Uji Coba Jawa Tengah. Pada 19 Oktober 1915, De Preanger Bode melaporkan pameran itu mempertontonkan sejumlah koleksi tubuh hama yang berhasil ditangkap, seperti ular, tikus, dan utamanya, belalang. Bebarengan dengan itu, pejabat mengimbau bahwa wabah belalang akan terjadi kembali.
Dua bulan berikutnya, pejabat menambahkan tenaga orang baru. Dilansir dari Bataviaasch Nieuwsblad pada 24 Desember 1915, G.J. Vink ditunjuk sebagai penasihat pertanian dalam rangka pengendalian wabah belalang di Ungaran, sekarang ibukota Kabupaten Semarang. Tak lama, Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 2 Mei 1916 mengabarkan ahli agronomi tersebut, G.J. Vink naik jawatan jadi Direktur Pertanian, Perindustrian, dan Perdagangan untuk memerangi wabah yang sama. Tak sendiri, ia pun dibantu ahli agronomi lain bernama H. Loos.
ADVERTISEMENT
Penunjukkan tersebut cukup membuahkan hasil. Menurut Sumatra Bode bertanggal 7 Desember 1916, pemerintah daerah Semarang memaksimalkan tenaga penduduk untuk memusnahkan belalang dalam skala besar. Dengan ketekunan, penduduk berhasil menemukan tumpukan telur belalang di area hutan jati dan membasmi telur-telur tersebut. Sekalipun pekerjaan itu melelahkan, namun wabah menurun secara signifikan.
Tak cuma manusia, musuh alami belalang turut berperan penting. Disebutkan, jamur (Metarrhizium anisopliae) yang menebarkan penyakit jamur serta tawon parasit (Scelio spec.) mampu membunuh belalang dalam jumlah yang besar.
Wabah itu akhirnya berangsur-angsur mereda pada 1917. Dilansir dari De Locomotief edisi 6 Agustus 1917, gerombolan belalang kayu hanya meninggalkan kerusakan kecil di beberapa perkebunan karet di Jawa Tengah dan Karesidenan Besuki.
ADVERTISEMENT
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang.