Konten dari Pengguna

Tenggelam dalam Suka-Duka Banjir Surakarta

Ardhiatama Purnama Aji
Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang (Unnes), Pegiat Komunitas Kalamkopi, Eks-Ketua History Study Club 2020/2021, dan Eks-Menteri LH BEM KM Unnes 2021.
29 Mei 2022 13:50 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ardhiatama Purnama Aji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Idulfitri tahun ini menjelma hari raya yang amat dielu-elukan banyak pihak. Setelah tak mudik dan bersua sanak saudara selama dua tahun, banyak perantau bisa kembali ke kampung halaman dan menebus rasa rindu bersamaan dengan kasus Covid-19 yang kian menurun. Namun, bagi warga Purwakarta, hal itu tak seindah yang didambakan. Di tengah keriuhan lebaran, mereka terpaksa berjibaku dengan banjir.
ADVERTISEMENT
Menurut portal INews.com, banjir merendam terusan Jalan Veteran dan Jalan Ipik Gandamanah Kota Purwakarta pada 2 Mei lalu. Imbasnya, banyak kendaraan mogok karena air masuk ke dalam mesin lewat knalpot. Maka, pengendara harus mendorong kendaraannya menuju tempat yang lebih kering. Karenanya, macet tidak terelakkan. Tak ayal, kegiatan warga yang hendak berlebaran pun amat terganggu.
Masa silam, warga Surakarta (yang akrab disebut Solo) turut merasakan hal serupa. Bedanya, di tengah keprihatinan atas banjir yang datang pada Februari 1886, para penguasa dan sejumlah warga merayakannya sebagai panggung pencitraan dan hiburan yang dinanti-nantikan. Ketika genangan banjir menyurut, orang-orang itu justru menyesalkannya.
Penyebab Banjir Solo
Kota Surakarta berada di dataran rendah antara pertemuan Sungai Bengawan Solo dan cabangnya, Kali Pepe. Karena letaknya itu, Solo menjelma kota yang rentan terhadap banjir. Sialnya, hal itu diperparah dengan pergeseran sektor transportasi dan alih fungsi lahan.
ADVERTISEMENT
Qomarun dan Budi Prayitno, dalam artikelnya, menuturkan bahwa transportasi dari dan menuju Solo yang mulanya melalui sungai, mulai bergeser ke darat. Hal itu berdampak pada pembukaan hutan untuk rel kereta api dan jalan raya. Tak pelak, longsor dan pendangkalan sungai tidak terhindarkan.
Sementara itu, perubahan lanskap spasial dari hutan menjadi tanaman produksi bermula sejak masa Gubernur Jenderal Raffles. Hal itu diutarakan oleh Dias Pradadimara. Ia menyebut sejumlah korporat Britania telah menyewa tanah di area Vorstenlanden (Solo-Jogja). Salah satunya, keluarga Dezentje yang disebut punya pengaruh kuat di Surakarta. Dan kemudian, membentuk firmanya sendiri bernama Maclaine & Co. pada 1822.
Penyewaan tanah oleh usahawan asing di Surakarta pun diafirmasi juga oleh Wasino dalam artikelnya. Di wilayah Mangkunegaran, tanah-tanah lungguh, yang secara yuridis dimiliki raja, sudah disewakan kepada pengusaha asing sejak paruh pertama abad ke-19.
ADVERTISEMENT
Menurut Bosman Batubara dan kawan-kawan dalam buku Maleh Dadi Segoro, tutupan hutan memiliki kemampuan untuk menahan air hujan dengan dedaunannya. Pun akar-akarnya dapat memperkuat tanah sebagai penyerap air. Dengan pembangunan yang menumbalkan hutan, hujan lebat dan kiriman air dari hulu sungai membuat banjir secara mudah terjadi. Tak heran, Kota Solo langganan banjir tahunan sejak 1861.
Orang-Orang Hanyut dan Rumah-Rumah Ambruk
Pada 2 Februari 1886, Bataviaasch Nieuwsblad memberitakan banjir besar merendam Kota Surakarta. Komunikasi dengan Solo pun harus terputus lantaran kantor telegraf tergenang air. Koran Het Vaterland edisi 15 Maret 1886 menulis, banjir itu menyapu dengan cepat pada pukul tiga pagi tanggal 1-2 Februari. Disebutkan, besar dan derasnya volume air membuat Kali Pepe tak sanggup menampung lagi. Per sepuluh menit, permukaan air naik empat hingga lima sentimeter. Kenaikan muka air itu berlanjut hingga pukul tujuh, sampai-sampai seluruh kota terendam dan menyisakan wilayah Mesen (kini masuk Kelurahan Purwodiningratan) Kecamatan Jebres sebagai tempat yang terhindar dari banjir.
ADVERTISEMENT
Surat kabar Soerabaijasch Handelsblad edisi 10 Februari 1886 menyebut ketika air menggenang, orang-orang bergegas memunguti harta-bendanya agar tidak dimangsa banjir. Ada pula yang menyelamatkan diri dengan menaiki rakit bermaterial batang pisang dan papan kayu karena kekurangan perahu. Yang lain memanjat dinding dan berlindung di atap rumahnya. Sementara itu, permukiman Gading (kini masuk Kelurahan Gajahan Kecamatan Pasar Kliwon) mengalami kehancuran yang terparah. Banyak rumah ambruk dan sejumlah anak terkubur di bawahnya. Pun banyak orang hanyut diterjang arus banjir.
Selama 41 jam, banyak warga Eropa harus mengungsi di Benteng Vastenburg dan hidup dari donasi para dermawan. Kesengsaraan tak berhenti di situ, kebutuhan dasar seperti air juga makin sulit diperoleh. Seseorang harus membayar setengah gulden (setara dengan Rp 84.000 sekarang) untuk satu pikul atau dua ember air minum. Selama beberapa hari, banyak orang menggantungkan kebutuhan air minum dari pertolongan kerabatnya di luar kota.
ADVERTISEMENT
Pencitraan Penguasa dan Pertunjukan Gamelan Apung
Rupa-rupanya, banjir tidak melulu meninggalkan kesan yang memerihkan bagi beberapa pihak di Kota Solo. Hal ini diungkap dalam koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 9 Februari 1909. Di situ, Sunan Pakubuwana X dan ayahnya, Sunan Pakubuwana IX disebut sangat menyukai banjir Solo. Para bangsawan akan memanfaatkannya untuk membangun citra dengan membagikan uang.
Terbukti, Soerabaijasch Handelsblad edisi 10 Februari 1886 mewartakan bahwa Sunan Pakubuwana IX, Pangeran Prabu, Raden Adipati, dan pejabat Bumiputra lainnya, secara pribadi, mendistribusikan uang dan sumber daya lain kepada korban banjiran.
Tak hanya bangsawan Jawa, Residen Spaan membentuk citranya pula lewat banjir. Residen Spaan kerap didapati berada di atas perahu, bertingkah layaknya orang Samaria yang pemurah dengan menjemputi orang-orang, menyalurkan bantuan, dan menikmati kesenangan banjir secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Pencitraan Residen Spaan yang lebih sistematis dikonfirmasi pula oleh Algemeen Handelsblad edisi 13 Maret 1886. Residen Spaan diceritakan telah memimpin sebuah panitia pengumpul dana untuk disalurkan sebagai bantuan amal pada warga Surakarta. Menurut Soerabaijasch Handelsblad edisi 11 Februari 1886, panitia tersebut berhasil mengirimkan bantuan untuk banjir sebesar 12 ribu gulden, senilai dengan 1,97 milyar rupiah saat ini.
Sementara itu, ada pula warga kelas bawah yang merayakan kedatangan banjir. Sepanjang hari, orang-orang itu membelah genangan banjir dengan perahu dan memainkan gamelan dengan suka-ria. Malam harinya, mereka beristirahat sembari mabuk-mabukan. Saat banjir surut, mereka meneteskan air mata lantaran hiburannya lenyap begitu saja.
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang.
ADVERTISEMENT
Sumber Bacaan:
Algemeen Handelsblad, 13 Maret 1886
Bataviaasch Nieuwsblad, 2 Februari 1886
Batubara, Bosman dkk. 2020. Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak. Bantul: Lintas Nalar.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 9 Februari 1909
Het Vaterland, 15 Maret 1886
Pradadimara, Dias. 2016. “Modal Britania di Indonesia Masa Kolonial”. Mozaik Humaniora Vol. 16 No. 2.
Qomarun dan Prayitno, Budi. Juli 2007. “Morfologi Kota Solo (Tahun 1500-2000)”. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 35 No. 1.
Soerabaijasch Handelsblad, 10 Februari 1886
Soerabaijasch Handelsblad, 11 Februari 1886
Wasino. Februari 2005. “Mangkunegara IV, Raja-Pengusaha, Pendiri Industri Gula Mangkunegaran (1861-1881)”. Humaniora Vol. 17 No. 1.