Konten dari Pengguna

Toraja, Tempat Waktu Berhenti

Ardi Wardana
Memories are timeless treasures
14 Januari 2025 21:32 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ardi Wardana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemakaman unik di Toraja. Foto: iik ganjar/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Pemakaman unik di Toraja. Foto: iik ganjar/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk pikuk kehidupan setelah menyelesaikan studi di salah satu kampus terbaik di Kota Makassar, saya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo, yang secara harfiah berarti 'Negeri yang bulat seperti bulan dan matahari'[1] atau lebih akrab disebut Tana Toraja dan Toraja Utara. Pada bulan November 2024, kami sepakat untuk melakukan backpacker.
ADVERTISEMENT
“Ayo eh kita jelajah Enrekang-Toraja,” ajak Iqbal.
Saya pun mengiyakan ajakan Iqbal dengan semangat dan antusias. “Gas kan, Bro!” balas saya pada pesan Iqbal di grup WhatsApp 'Warlok Filantropi,' komunitas yang kami bentuk sejak di bangku perkuliahan.
Riuh pun bergemuruh dalam percakapan di grup tersebut. Rencana backpacker ini sudah kami wacanakan sejak tahun 2022, saat itu kami masih aktif di himpunan.
Pada tanggal 29 Desember 2024, pukul 11.20 WITA, saya memulai perjalanan dari Kota Makassar bersama Aqsha. Setelah 3 jam perjalanan, kami tiba di Kupa, Kabupaten Barru, untuk beristirahat sambil menunggu Nurizal.
Setelah Nurizal bergabung, kami melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten Pinrang, tempat Iqbal sudah menanti sejak pagi. Keterlambatan kami, karena saya dan Aqsha ketiduran, membuat jadwal keberangkatan yang semula pukul 07.00 WITA tertunda.
ADVERTISEMENT
Setibanya di Pinrang, setelah 2 jam perjalanan, kami menyempatkan diri mencicipi Itik Palekko, kuliner khas daerah tersebut. Perjalanan dilanjutkan ke Burontong, kampung halaman Aqsha di Kabupaten Enrekang. Pemandangan Enrekang yang indah, terakhir saya saksikan pada tahun 2015 saat SMP, membuat saya takjub.
Kami singgah di sebuah warung kopi dengan panorama Gunung Nona. Meski malam hari, kami hanya disuguhi kerlip lampu-lampu kebun di kaki gunung. Hangatnya kopi mengiringi obrolan kami hingga lupa waktu, sebelum akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke rumah Aqsha untuk beristirahat.
Keesokan paginya, kami tiba di Tana Toraja, yang menyambut kami dengan segarnya udara pegunungan yang menenangkan hati. Toraja menghadirkan keindahan alam yang memukau: tebing-tebing batu menjulang, lembah hijau membentang, dan desa-desa kecil penuh cerita. Semua ini menawarkan kedamaian yang meluruhkan hiruk-pikuk kesibukan kota, membawa kebahagiaan tersendiri dalam perjalanan kami.
ADVERTISEMENT
Namun, hal yang membuat saya kagum selama backpacking ini, yang membuat waktu terasa melambat, bukan hanya keindahan alamnya, melainkan kehidupan masyarakatnya yang masih memegang erat tradisi dan nilai-nilai luhur. Ritus pemakaman 'Rambu Solo,' lumbung-lumbung Tongkonan yang berdiri kokoh, membuat kami berempat sepakat untuk mengunjungi beberapa situs dan objek yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat, di antaranya:
Tradisi Ma’pasilaga Tedong/Silaga Tedong
Suasana dalam arena Silaga Tedong (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Sesampainya kami di penginapan, yang merupakan Sekretariat Konsorsium Yayasan Keluarga Payo-Payo (YAKO PAYO-PAYO) Kabupaten Toraja Utara, kami disambut hangat oleh Kak Ifa, anggota dari LSM tersebut, dengan antusias mengajak kami untuk segera menyaksikan Ma’pasilaga Tedong.
“Simpan dulu barangnya, lalu kita ke acara Ma’pasilaga Tedong, sebentar lagi mau mulai,” ujarnya sambil tersenyum.
ADVERTISEMENT
Tanpa menunda waktu, kami berangkat menuju lokasi di Pangli. Riuh suara-sorak masyarakat terdengar jelas, mereka datang dari berbagai penjuru. Ma’pasilaga Tedong, tradisi adu kerbau khas Toraja, menjadi hiburan yang meleburkan duka dalam upacara Rambu Solo’, ritual pemakaman adat yang sarat akan makna.
Di tengah keramaian, waktu terasa berhenti. Toraja seakan memeluk setiap detik dengan caranya sendiri, menghidupkan tradisi yang menyatu dengan napas masyarakatnya. Setiap partai pertandingan Ma’pasilaga Tedong membawa kami kembali ke masa lalu yang kokoh bertahan di hari ini. Namun, seperti halnya aliran sungai yang tak pernah benar-benar diam, Ma’pasilaga Tedong pun mengalami pergeseran makna. Tradisi yang dahulu murni sebagai pelipur lara, kini menjadi arena perjudian.
Dari tempat kami berdiri, terdengar suara riuh seorang penonton, “Dolona Dolona, Kutallo Doi,”—ungkapan yang tampaknya mengajak bertaruh. Sebelum pertandingan dimulai, kami memang sempat melihat banyak orang berkumpul, sibuk menentukan taruhan mereka. Meski begitu, di antara perubahan-perubahan itu, Toraja tetaplah ruang di mana waktu seakan melambat, bahkan berhenti.
ADVERTISEMENT
Museum Ne’Gandeng
Museum Ne'Gandeng (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Setelah kami menonton delapan partai pertandingan Silaga Tedong, kami kemudian bergegas melanjutkan ke destinasi berikutnya, di Museum Ne’Gandeng, museum yang terletak di Lembang Palangi. Museum Ne' Gandeng menyimpan koleksi beragam, termasuk batu menhir, patung Ne' Gandeng, patung kerbau, dan gong belang.
Selain benda-benda bersejarah. Saat kami berkunjung ke Museum Ne’Gandeng, sedang berlangsung rangkaian upacara rambu solo’, yang saat itu Alm. dipindahkan dari Palada ke Alang, dengan diiringi nyanyian yang bagian dari tradisi lokal. Tak banyak yang kami bisa lakukan saat berada di Museum, karena bertepatan dengan acara keluarga almarhum sehingga kami memutuskan untuk pulang sembari mencari tempat makanan halal yang begitu sulit kami temukan saat berada di Toraja.
ADVERTISEMENT
Londa Ancient Graveyard
Setelah melaksanakan salat Subuh, kami bergegas menuju Lolai To’Tombi untuk menikmati sunrise. Sesaat setelah kami sarapan di salah satu warung makan, kami pun melanjutkan perjalanan ke Londa Ancient Graveyard.
Dengan biaya registrasi Rp 20 ribu, kami menyusuri anak tangga untuk sampai ke situs cagar budaya yang menjadi tempat pemakaman orang Toraja. Tampak peti-peti mati tergantung di celah-celah batu yang menonjol. Patung-patung kayu menyerupai manusia, lengkap dengan busana, berdiri berjejer rapi di tebing, menyerupai jendela atau balkon rumah. Patung-patung tersebut menjadi representasi dari orang-orang yang telah dimakamkan di sana. Tidak jauh dari makam gantung ini, terdapat sebuah gua pemakaman yang telah berusia ratusan tahun, tersembunyi di balik tebing.
Peti-Peti dan Patung yang Berjejeran di Pemakaman Londa (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Saat kami tiba di pintu masuk gua, kami ditawari lentera (Rp 50 ribu) dan jasa tour guide, tetapi kami memilih tidak masuk karena keterbatasan biaya.
ADVERTISEMENT
Saat sedang beristirahat, Octa, wisatawan dari Jakarta, menghampiri dan mengajak kami bergabung dengan rombongannya. Kami sambut dengan gembira, sehingga kami dapat masuk ke gua tanpa biaya tambahan. Di dalam gua, lentera menerangi perjalanan kami. Tour guide menjelaskan sejarahnya, termasuk pola penataan peti mati yang mencerminkan hubungan keluarga, serta pakaian dan rokok yang diletakkan sebagai penghormatan. Beberapa tulang di gua ini berusia hingga ratusan tahun. Suasana gelap gua menciptakan aura mistis. Sang guide mengingatkan,
“Jangan memindahkan atau membawa apa pun dari area makam sebagai bentuk penghormatan,”ujarnya dengan ekspresi serius.
Desa Adat Kete Kesu
Pemakaman Kete-Kesu (Sumber:Dokumentasi Pribadi)
Setibanya kami di lokasi ketiga dari lima destinasi dalam agenda kami hari itu, kami membayar biaya registrasi masuk sebesar Rp 20 ribu. Di sepanjang pintu masuk, berjejer penjual oleh-oleh khas Toraja yang menawarkan berbagai barang menarik, seperti kain tenun, ukiran kayu, kopi Toraja, dan aksesori unik lainnya yang mencerminkan kekayaan budaya daerah ini.
ADVERTISEMENT
Memasuki area inti, pemandangan rumah-rumah tradisional Tongkonan, yang berdiri kokoh dengan tanduk kerbau menjulang tinggi sebagai simbol status sosial, langsung menyambut kami. Di seberang Tongkonan, terdapat lumbung padi khas yang menjadi bagian penting dari arsitektur tradisional ini. Setelah mengambil beberapa gambar, Iqbal dan Aqsha mulai merasa mengantuk, sehingga mereka memutuskan untuk tidur sejenak di bawah rumah Tongkonan. Sementara itu, Nurizal sibuk dengan pekerjaannya sebagai freelance remote, dan saya asyik dengan gadget.
Tak ingin waktu terbuang, saya dan Nurizal memutuskan untuk menjelajahi lebih jauh kawasan inti Kete-Kesu. Kami menaiki anak tangga menuju bagian belakang desa, di mana terlihat deretan peti-peti yang tersusun di tebing. Sesampainya di ujung anak tangga, kami menemukan sebuah gua yang menyimpan patung menhir, peti, dan tengkorak. Desa ini memang terkenal dengan tradisi pemakaman adat Toraja, di mana jenazah diletakkan di tebing atau di dalam gua. Selain itu, terdapat pula makam modern yang berbentuk bangunan menyerupai rumah, dilengkapi foto anggota keluarga yang telah dimakamkan di dalamnya, menunjukkan perpaduan antara tradisi dan modernitas.
ADVERTISEMENT
Rante Kalimbuang Bori’
Menhir Kalimbuang Bori
Tiba di destinasi yang sangat ingin saya kunjungi, Rante Kalimbuang Bori’. Salah satu situs budaya Indonesia yang telah diakui sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO ini adalah lokasi yang menjadi tempat berdirinya batu-batu menhir.
Batu-batu menhir dari Era Megalitikum ini tertanam kokoh di tanah dalam posisi tegak. Jumlahnya mencapai 102, dengan berbagai ukuran, termasuk beberapa yang berukuran besar dan lebih tinggi dibandingkan tubuh manusia. Adapun biaya registrasi saat kami masuk dikenakan Rp 20 ribu.
Saat berada di area menhir, lantas saya bertanya, “Bagaimana orang dahulu bisa membuat ini? Apakah ini dipahat atau dibangun dengan bantuan eskavator?” tanyaku dalam hati sambil termenung melihat begitu megahnya menhir yang selama ini sangat ingin saya kunjungi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalam kawasan situs terdapat pula beberapa makam di dalam bebatuan yang telah tersusun rapi. Singkat cerita, setelah kami berkeliling dalam kawasan tersebut dan memotret, kami pun memutuskan untuk pulang ke penginapan.
Selama perjalanan saya bersama Iqbal, Nurizal, dan Aqsha, dari sembilan destinasi yang saya kunjungi, lima di antaranya yang ingin saya ceritakan bahwa Toraja dengan keanekaragaman dan kekayaan budayanya telah menjadi tempat waktu berhenti. Di tengah peradaban dunia dan perubahan yang terus bergerak dinamis, masyarakat Toraja tetap mempertahankan adat, tradisi, ritus, dan situsnya sebagai identitasnya, yang telah dikenal dunia dan menjadikannya sebagai warisan budaya.
[1] Marchelyn Pongsapan, Akuntabilitas pada Upacara Mangrara Banua (Tesis, Universitas Brawijaya, Kota Malang, 2021), http://repository.ub.ac.id/191248/2/MARCHELYN%20PONGSAPAN.pdf.
ADVERTISEMENT