Fenomena Intoleransi di Indonesia dan Kaitannya dengan Khalayak

Ardian Dimas Prayoga
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Konten dari Pengguna
30 Desember 2020 5:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ardian Dimas Prayoga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang berasal dari berbagai daerah.
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang berasal dari berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sekali budaya. Saat ini, Indonesia memiliki sebanyak 34 provinsi dengan jumlah penduduk sekitar 268 juta penduduk. Dengan begitu Indonesia memiliki banyak sekali budaya yang berbeda di setiap daerahnya. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” erat sekali kaitannya dengan Indonesia. Semboyan yang memiliki arti “Berbeda-beda tetapi Tetap Satu” tersebut mengisyaratkan bahwa meskipun budaya di Indonesia sangat beragam tetapi kita semua tetap sama yaitu sama-sama warna negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” memanglah ada, namun dalam praktik kehidupan bermasyarakat semboyan tersebut terkadang hanya sebatas kata-kata biasa yang tidak memiliki makna. Saat orang di sekitarnya ada yang “berbeda” masyarakat seringkali mengganggap hal itu adalah hal yang aneh dan memperlakukan mereka dengan berbeda. Masyarakat cenderung akan melakukan tindakan diskriminasi terhadap kaum minoritas yang ada di sekitarnya.
Kaum minoritas sendiri menurut KBBI merupakan golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat dan karena itu didiskriminasikan oleh golongan lain tersebut. Persoalan mengenai kaum minoritas sendiri terkadang menjadi sebuah perdebatan yang serius. Di Indonesia sendiri masyarakat terkadang beranggapan bahwa kaum minoritas tidak dapat memiliki hak yang sama dengan kaum mayoritas karena mereka menganggap bahwa kaum mayoritaslah yang lebih banyak dalam memberikan kontribusi dibandingkan dengan kaum minoritas.
ADVERTISEMENT
Kasus mengenai diskriminasi minoritas di Indonesia terbilang cukup banyak, namun hanya beberapa kasus saja yang mendapatkan sorotan dari publik dan juga media. Kasus diskriminasi minoritas di Indonesia yang sering terjadi adalah dalam hal agama. Contoh kasus diskriminasi dalam hal agama yang terjadi pada tahun ini adalah pelarangan ibadah umat Kristen yang terjadi di Desa Ngastemi, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto pada 21 September kemarin. Tidak hanya itu, pembangunan tempat ibadah seperti gereja juga terkadang mendapatkan penolakan seperti yang terjadi di Karimun pada 6 Februari silam.
Kasus-kasus di atas seharusnya bisa saja tidak terjadi jika masyarakat Indonesia dapat saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain. Indonesia sendiri memiliki undang-undang yang mengatur mengenai intoleransi, seperti UUD Negara Republik Indonesia 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, hingga UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Meskipun begitu, adanya undang-undang tersebut sepertinya belum terlalu efektif untuk mengurangi angka intoleransi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus tersebut juga membuktikan bahwa terdapat interaksi manusia di dalamnya. Interaksi yang terjadi di dalam masyarakat dapat berupa individu dengan individu, individu dengan kelompok, ataupun antar kelompok yang pasti terdapat masyarakat di dalamnya. Masyarakat itu sendiri juga tidak dapat terlepas dari yang namanya khalayak, baik itu khalayak pasif maupun khalayak aktif.
Pengertian khalayak pasif sendiri merupakan khalayak yang tidak berdaya di hadapan media. Khalayak pasif hanya menerima informasi yang disebarkan tanpa mengomentarinya. Contohnya saja ketika seseorang mendapatkan informasi mengenai pelarangan ibadah umat Kristen yang terjadi di Mojokerto melalui Tiktok, jika ia adalah khalayak pasif ia akan menerima informasi tersebut mentah-mentah dan langsung mempercayainya. Hal ini sesuai dengan teori dalam khalayak pasif yaitu teori jarum suntik yang menganggap bahwa komunikasi massa memiliki pengaruh langsung dan sangat menentukan terhadap audience. Komunikasi massa tersebut digambarkan seperti jarum suntik yang menyuntikkan informasi kepada audience yang pasif. Dalam hal ini, khalayak hanya dianggap sebagai golongan yang pasif sehingga dapat dengan mudah untuk dipengaruhi.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan khalayak aktif yang memiliki pengertian dimana dalam proses komunikasi penyampaian pesan dikirim kemudian diterima. Pesan yang disampaikan tersebut akan dimaknai secara berbeda-beda yang didasarkan oleh beberapa faktor seperti kepentingan atau latar belakang dan pengalaman. Khalayak aktif tidak akan menerima informasi secara mentah-mentah, mereka memiliki cara tersendiri dalam memaknai informasi yang disampaikan oleh media. Khalayak aktif sendiri tidak mudah untuk dipengaruhi oleh apapun. Sesuai dengan namanya, khalayak aktif akan lebih aktif dalam memilih informasi mana yang menurut mereka benar dan informasi mana yang harus mereka percayai. Audience dalam khalayak aktif bisa memilih media atau informasi mana yang akan mereka pilih, mana yang mereka baca, dan mana yang akan mereka percayai. Contohnya ketika seseorang mendapatkan informasi tentang penolakan pembangunan gereja di Karimun, jika menurutnya informasi tersebut tidak seharusnya ia baca atau ia terima maka khalayak aktif akan menggubris atau bahkan tidak peduli terhadap informasi tersebut. Kembali lagi, khalayak aktif dapat memilih informasi mana yang akan mereka terima, jika menurutnya informasi tersebut bersangkutan mengenai minoritas ia bisa saja berkomentar atau memilih tidak peduli tetapi bisa saja mereka berkomentar untuk mendukung kelompok minoritas tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebagai masyarakat modern tentu sudah seharusnya kita masuk ke dalam masyarakat aktif dimana kita dapat memilah suatu informasi. Khalayak aktif juga tentunya sadar betul akan keberadaan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang sudah ada sejak dulu. Saling menghormati dalam kehidupan bermasyarakat sudah seharusnya kita terapkan tanpa saling menyenggol satu sama lain.