Konten dari Pengguna

Pemberdayaan Perempuan dalam BPD: Kelembagaan Desa Berperspektif Gender

Ardiansyah
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik
16 Oktober 2023 14:45 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: DEZALB/Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: DEZALB/Pixabay
ADVERTISEMENT
Bulan November tahun 2000, K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Indonesia saat itu mengesahkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Gender mainstreaming adalah intervensi yang dapat dilakukan untuk mempercepat terciptanya kesetaraan gender.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia menjadikan PUG sebagai strategi yang bertujuan mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.
Kesetaraan gender adalah situasi di mana seluruh individu dapat akses yang sama untuk pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan segala hal lainnya tanpa diskriminasi berdasarkan gender. Kesetaraan gender sendiri bukanlah kondisi yang serta-merta bersifat statis apabila telah dicapai, melainkan dinamis sehingga selalu diperlukan proses untuk menjaga kesetaraan tersebut.
Tindakan untuk menciptakan dan menjaga kesetaraan gender perlu dilakukan secara sistematis sehingga dapat mempengaruhi masyarakat secara menyeluruh, yaitu kebijakan publik dari penyelenggara negara.

Ketimpangan Gender

Ilustrasi: Eli Maulana/Unsplash
Berdasarkan Gender Inequality Index (GII) yang dirilis oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2000 Indonesia berada di angka 0,57 sedangkan rata-rata dunia saat itu 0,557. Semakin tingginya angka GII menunjukkan semakin tingginya kesenjangan gender di wilayah tersebut. Oleh karena itu pemerintah Indonesia melakukan Pengarusutamaan Gender PUG untuk menekan angka kesenjangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Inpres Nomor 9 Tahun 2000 lahir tidak lama setelah adanya deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) pada September tahun 2000 di New York. salah satu dari delapan sasaran MDGs adalah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
MDGs telah berakhir pada tahun 2015 dan dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang memiliki tujuh belas sasaran, salah satunya kesetaraan gender. Termaktubnya kesetaraan gender ke dalam MDGs dan SDGs menunjukkan betapa pentingnya hal tersebut dalam pembangunan, tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga di seluruh dunia.

Refleksi Pengarusutamaan Gender

Ilustrasi: Dainis Graveris/Unsplash
Instruksi Presiden tersebut ditujukan untuk seluruh jajaran dibawahnya untuk memedomani pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional. Seluruh elemen pemerintahan wajib Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan,dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Setelah dua dekade lebih pelaksanaan PUG, berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik yang berjudul Kajian Penghitungan Indeks Ketimpangan Gender 2022 dapat diketahui bahwa adanya penurunan kesenjangan berbasis gender di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari tren angka GII yang terus menurun hingga mulai tahun 2010 tidak pernah lagi di atas rata-rata dunia.
Meskipun demikian, GII Indonesia pada tahun 2021 sebesar 0,444 berada di urutan ke-4 tertinggi dari 10 negara ASEAN. Adapun negara ASEAN dengan kesenjangan berbasis gender terkecil adalah Singapura dengan GII di angka 0,040.
Selain GII yang dirilis oleh UNDP, sejak tahun 2017 Badan Pusat Statistik juga membuat Indeks Ketimpangan Gender (IKG) yang merujuk pada metodologi yang digunakan UNDP. BPS menggunakan indikator proporsi perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun yang pernah melahirkan hidup dalam dua tahun terakhir tidak di fasilitas
ADVERTISEMENT
Kesehatan sebagai faktor risiko kematian ibu melahirkan, sedangkan fertilitas remaja didekati dengan proporsi perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun yang melahirkan hidup pertama kali di usia kurang dari 20 tahun.
Pada dimensi pemberdayaan, indikator pendidikan yang digunakan oleh UNDP adalah persentase penduduk berusia 25 tahun ke atas yang berijazah terakhir minimal SMP, sementara BPS menggunakan batasan minimal SMA.
Berdasarkan publikasi BPS, pada tahun 2019 s/d. 2021 IKG nasional berada di angka 0,421, 0,4, dan 0,39 secara berturut-turut. Semakin mendekati angka 1 (satu) IKG menunjukkan semakin tingginya kesenjangan gender di wilayah tersebut. Angka IKG berbeda dari GII, akan tetapi memiliki kesamaan tren penurunan secara nasional.
Selain tingkat nasional, BPS juga mengukur IKG di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota yang menunjukkan kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan disparitas IKG antar kabupaten/kota. Pada tahun 2021 IKG yang dicapai oleh kabupaten Intan Jaya adalah 0,853. Angka tersebut bahkan lebih besar dari dua kali lipat IKG nasional. Sedangkan IKG terendah ada di Kabupaten Kediri dengan capaian 0,02.
ADVERTISEMENT
Gender mainstreaming masih tetap diperlukan untuk menekan angka kesenjangan berbasis gender di Indonesia, terlebih pada kabupaten/kota dengan IKG di atas rata-rata nasional. Adapun strategi untuk mempercepat pengarusutamaan gender tersebut dapat dimulai dari unit pemerintahan terkecil, yaitu desa.
Pengarusutamaan gender tidak hanya dilakukan pada unit-unit pemerintahan di tingkat pusat, melainkan juga di daerah tingkat provinsi, kabupaten/kota, bahkan desa karena kesenjangan berbasis gender juga berpotensi terjadi di desa, terlebih lagi bagi desa-desa yang memiliki keterbatasan fasilitas pendidikan, kesehatan, serta akses jalan yang terhubung dengan wilayah lainnya.

Badan Permusyawaratan Desa

Ilustrasi: Mufid Majnun/Unsplash
Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa paradigma pembangunan di desa telah berubah dari “membangun desa” menjadi “desa membangun”. Desa menjadi unit pemerintahan terkecil yang memiliki kewenangannya sendiri untuk membangun wilayahnya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah desa memiliki kewenangan membuat perencanaan pembangunan di wilayahnya, dengan juga didukung oleh Dana Desa yang dikucurkan dari APBN. Besarnya kewenangan dan anggaran tersebut menjadikan Kepala Desa memiliki power yang besar di Desa diimbangi dengan hadirnya lembaga Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
BPD merupakan lembaga yang terdiri dari perwakilan masyarakat yang terpilih melalui mekanisme pemilihan maupun musyawarah di tingkat dusun atau yang disebut dengan nama lainnya. BPD menjalankan tiga fungsi, yaitu membahas dan menyepakati rancangan Peraturan Desa dengan Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa, dan melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Keanggotaan BPD di setiap desa terdiri dari lima, tujuh, atau sembilan orang dari keterwakilan wilayah dan keterwakilan perempuan. Keterwakilan perempuan yang dimaksud adalah satu orang anggota BPD dipilih di luar keterwakilan wilayah.
ADVERTISEMENT
Apabila mekanisme pemilihan anggota BPD dilakukan melalui pemilihan langsung maka masyarakat memilih sebanyak 2 kali, yaitu satu untuk perwakilan wilayahnya dan satu lagi untuk perwakilan perempuan. Adapun komposisi keterwakilan perempuan adalah satu orang anggota BPD.
Adanya keterwakilan perempuan sendiri tidak serta-merta menjadikan perempuan tidak boleh menjadi anggota BPD dari unsur keterwakilan wilayah, melainkan sebuah langkah awal untuk memastikan adanya perempuan dalam lembaga BPD.
Kehadiran BPD menjadi penyeimbang dari kekuasaan yang dimiliki kepala desa sebagai sistem yang preventif untuk menghindarkan penyalahgunaan kekuasaan di tingkat desa. BPD memiliki beberapa tugas, yaitu:
Ilustrasi: InfonesiaNatureID/Pixabay
Musyawarah desa adalah forum tertinggi yang ada di desa dan BPD menjadi lembaga yang bertanggung jawab atas terselenggaranya forum tersebut. Setiap perencanaan pembangunan yang ada di desa wajib diawali dengan musyawarah desa.
ADVERTISEMENT
Musyawarah desa diselenggarakan dengan mengundang pemerintah desa dan unsur masyarakat desa antara lain tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, perwakilan kelompok nelayan, perwakilan kelompok perajin, perwakilan kelompok perempuan, hingga perwakilan kelompok pemerhati dan perlindungan anak.
Juga perwakilan kelompok masyarakat tidak mapan dan unsur masyarakat lainnya sesuai dengan sosial budaya masyarakat setempat untuk memastikan perencanaan pembangunan dibuat secara partisipatif dan inklusif sehingga bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya diskriminasi berbasis agama, ras, gender, dan lainnya.
Perlu dipahami bersama bahwa kehidupan sosial masyarakat desa tidak selalu homogen. Ketimpangan sosial akibat latar belakang ekonomi serta persebaran kepemilikan lahan dan alat-alat produksi terjadi di desa.
Marginalisasi terhadap kelompok masyarakat tertentu juga dapat terjadi di desa, baik itu berbasis ekonomi, agama, gender, maupun disabilitas. Oleh karena itu, BPD sebagai lembaga yang menjadi kepanjangan tangan masyarakat desa sudah semestinya berpandangan inklusif dan tidak bias gender.
ADVERTISEMENT
Kusumawiranti (2021) menjelaskan Inklusi sosial dalam pembangunan desa merupakan nilai yang mengarahkan masyarakat kepada dua bentuk pergerakan, yaitu pergerakan masyarakat sebagai subjek pembangunan secara regulatif berdasar undang-undang dan pergerakan masyarakat sebagai subjek yang mengikis marginalisasinya.

Isu Gender dalam BPD

Ilustrasi: Mufid Majnun/Unsplash
Keterwakilan perempuan dalam BPD menjadi mutlak diperlukan, terlebih untuk mendapatkan perspektif langsung dari perempuan terhadap permasalahan yang ada di desa. Perempuan perlu wakil dari kelompoknya untuk menjadikan pembangunan desa responsif terhadap kebutuhan mereka.
Salah satunya yaitu untuk menekan tingkat risiko kematian ibu melahirkan dan perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun yang melahirkan hidup pertama kali di usia kurang dari 20 tahun. BPD bersama dengan Kepala Desa dan jajarannya terlibat langsung dalam perencanaan pembangunan desa.
ADVERTISEMENT
Secara de Yure, dokumen perencanaan pembangunan di desa ada dua, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) untuk perencanaan selama 6 tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) untuk perencanaan selama 1 tahun.
RPJM Desa menjabarkan perencanaan pembangunan yang menjabarkan visi dan misi kepala desa. Sementara RKP Desa merupakan rencana pembangunan yang menjabarkan RPJM Desa. Selain itu, perencanaan pembangunan di desa juga harus selaras dengan perencanaan pembangunan kabupaten/kota.
Setiap dokumen perencanaan di desa harus disahkan dengan peraturan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh kepala desa dan BPD. Oleh karena itu, kepala desa tidak dapat secara serta-merta membuatnya sendiri tanpa persetujuan BPD yang menjadi kepanjangan tangan dari aspirasi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Strategisnya tugas dan fungsi BPD sebagaimana disebutkan di atas menjadikan BPD sebagai lembaga yang harus diperhatikan juga komposisinya. Tanpa adanya perempuan dalam keanggotaan BPD akan menimbulkan kecenderungan perencanaan pembangunan Desa yang bias gender.
Perempuan perlu memiliki wakilnya yang dapat menjadi penghubung aspirasi perempuan karena perempuan berhak untuk mendapatkan manfaat yang sama dari pembangunan di desa. Pembangunan desa semestinya menjadi lebih inklusif dan kaya perspektif karena tidak hanya diisi oleh salah satu gender saja.
Walaupun menetapkan keterwakilan perempuan dalam BPD adalah langkah yang paling rasional untuk meningkatkan peran serta perempuan, masih perlu langkah lebih lanjut untuk percepatan PUG dalam perencanaan pembangunan di desa.
Satu anggota perempuan tentu secara kuantitatif masih tetap jauh lebih kecil dari laki-laki, yaitu 1 banding 4, 1 banding 6, atau 1 banding 8 sesuai dengan jumlah anggota BPD. Perempuan memang dapat menjadi anggota BPD dari unsur keterwakilan wilayah, akan tetapi hal tersebut masih jarang terjadi.
ADVERTISEMENT
Sampai dengan satu dekade peraturan yang mewajibkan adanya keterwakilan perempuan dalam BPD pada kenyataannya masih ada daerah yang belum melaksanakannya. Permasalahan anggota BPD dari unsur perempuan masih berkutat, belum sampai kepada kualitas partisipasinya.

Revitalisasi Pengarusutamaan Gender

Ilustrasi: Mufid Majnun/Unsplash
Peningkatan jumlah partisipasi perempuan secara kuantitas dan kualitas niscaya perlu dilakukan, salah satunya melalui program peningkatan kapasitas anggota BPD yang perempuan. Oleh karena itu, PUG dalam penyelenggaraan pemerintahan desa melalui lembaga BPD perlu mendapat perhatian yang lebih lagi dalam implementasinya.
Perlu penelitian lebih lanjut penyebab masih adanya desa yang tidak memiliki unsur keterwakilan perempuan dalam BPD. Pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai instansi yang memiliki fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap BPD juga bertanggungjawab untuk peningkatan partisipasi perempuan dalam BPD.
ADVERTISEMENT
Selain itu, diperlukan langkah lanjutan untuk meningkatkan peran serta perempuan dalam BPD. Peraturan mengenai kewajiban adanya unsur perempuan dalam BPD perlu dikaji ulang dari yang sebelumnya hanya 1 anggota saja dapat diubah menjadi lebih dari itu.
Pengaturan jumlah keterwakilan perempuan dalam BPD dapat diperbaharui antara lain apabila jumlah anggota BPD 5 orang maka keterwakilan perempuan sebanyak 1 orang, tetapi ketika anggota BPD berjumlah 7 atau 9 orang maka keterwakilan perempuan sebanyak 2 atau 3 orang.
Pengaturan jumlah minimal keterwakilan perempuan juga dapat dibuat dalam bentuk persentase, sebagai contoh seperti yang sudah dilakukan di desa dalam pembentukan tim penyusunan RPJM Desa. Berdasarkan Permendesa PDTT No. 21 Tahun 2020 yang mengatur komposisi perempuan dalam tim penyusun RPJM Desa minimal 30 persen.
ADVERTISEMENT
Komitmen pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sebagai pengawas sekaligus pembina BPD harus menunjukkan keseriusannya dalam menjalankan kewajibannya.
Pemerintah pusat dapat mendorong melalui ketersediaan petunjuk teknis yang dapat menjadi pedoman pemerintah daerah dalam penyelenggaraan BPD, khususnya terkait pemilihan dan pembinaan anggota BPD dari unsur keterwakilan perempuan.
Pemerintah daerah juga berkewajiban melakukan pembinaan melalui kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas anggota BPD yang berperspektif gender. Penentuan kuota peserta kegiatan peningkatan kapasitas juga diatur agar ada batas minimal peserta perempuan.
Peningkatan peran serta perempuan dalam BPD baik secara kuantitas maupun kualitas mutlak diperlukan untuk pembangunan yang inklusif dan tidak bias gender.