Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
9 Ramadhan 1446 HMinggu, 09 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
MITI dan Keajaiban Ekonomi Jepang
8 Maret 2025 13:17 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ardiansyah Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Analisis Industrial Policy Jepang dari
Perspektif Neo-Merkantilisme

Latar Belakang
ADVERTISEMENT
Setelah menyerahnya Jepang dalam teater perang dunia ke-2, jepang membangun kembali
negaranya dengan terstruktur, untuk menjamin bahwa masyarakatnya bisa mendapat kemakmuran yang bertahan lama. Transformasi yang sangat kontras antara pasca perang
dengan era industri, menjadikannya disebut-sebut sebagai “Keajaiban Ekonomi Jepang”.
Setelah memasuki fase Industrial sekitaran 2 dekade pasca perang dunia ke-2, Kementrian
Perdagangan Internasional & Industrial atau MITI (Ministry of International Trade and
Industrial) memfokuskan perdagangan dan investasi besar-besaran kepada negara-negara lain
untuk menjalin kerjasama yang komprehensif.
Kebijakan Industrial (Industrial Policy) MITI memainkan peran yang sangat penting dalam
merumuskan, menjaga dan menjalankan Industrial Policy yang berfungsi untuk
mengembangkan sektor industri tertentu dengan proteksi, subsidi, dan regulasi strategis.
Lewat kebijakan MITI inilah yang membuat Jepang terkenal akan teknologi dan industri
otomotif yang mendunia hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Salah satu kunci keberhasilan dari MITI ini sendiri adalah kolaborasi yang kuat antara
pemerintah dengan sektor bisnis, seperti kelompok konglomerat Jepang “Keiretsu” (Seperti
Toyota, Mitsubishi dan Nissan).
Pendekatan yang digunakan oleh Jepang dalam kebijakan industrinya memiliki kesamaan
dengan konsep Neo-Merkantilisme. Berbeda dengan ekonomi pasar bebas yang menekankan
peran mekanisme pasar, Neo-Merkantilisme menekankan peran negara dalam melindungi dan
memperkuat ekonomi domestik. Dalam konteks Jepang, MITI menerapkan proteksionisme,
pembatasan investasi asing, serta strategi ekspor berbasis industri, yang merupakan
karakteristik utama dari Neo-Merkantilisme.
Namun, meskipun strategi ini membawa kesuksesan besar, kebijakan Industrial Policy
Jepang juga menghadapi tantangan besar. Proteksionisme dan intervensi negara yang kuat
memicu ketegangan perdagangan dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, yang menganggap kebijakan Jepang sebagai bentuk persaingan tidak adil. Selain itu, model
ekonomi berbasis intervensi oleh negara Jepang juga mengalami kesulitan dalam menghadapi
perubahan ekonomi global, terutama setelah meletusnya Bubble Economy pada akhir 1980-an
yang menyebabkan stagnasi panjang di Jepang.
ADVERTISEMENT
Landasan Teori
Neo-Merkantilisme adalah pendekatan dalam ekonomi politik yang menekankan peran aktif
negara dalam perekonomian guna memperkuat industri domestik dan mencapai keunggulan
kompetitif di pasar global. Berbeda dengan Merkantilisme klasik, yang berkembang pada
abad ke-16 hingga ke-18 dan berfokus pada akumulasi emas serta pembatasan impor,
Neo-Merkantilisme lebih modern dan menyesuaikan diri dengan ekonomi global saat ini
(Rawlinson, 2019).
Menurut teori ini, negara menggunakan berbagai intervensi ekonomi untuk melindungi
kepentingan nasional, termasuk proteksionisme, kebijakan industri strategis, subsidi, serta
pengendalian arus modal dan investasi asing.
Dikutip dari Hufbauer (2023), karakteristik dari teori Neo-Merkantilisme ini sendiri terbagi
dalam beberapa hal, yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Perlindungan terhadap Industri Domestik
Negara melindungi sektor-sektor industri strategis melalui tarif, kuota impor, dan hambatan
non-tarif untuk membatasi persaingan dari luar negeri.
2. Intervensi Negara dalam Perekonomian
Pemerintah memainkan peran aktif dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi dan
mengarahkan pertumbuhan industri tertentu.
3. Strategi Ekspor Berbasis Industri
Negara mendorong pertumbuhan ekonomi dengan fokus pada peningkatan ekspor.
4. Hubungan Erat antara Negara dan Korporasi
Neo-Merkantilisme menekankan koordinasi antara pemerintah dan sektor bisnis untuk
memperkuat daya saing nasional.
5. Pengendalian Mata Uang dan Kebijakan Moneter
Neo-Merkantilisme sering kali menggunakan kebijakan moneter dan nilai tukar yang
dikendalikan untuk menjaga daya saing.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan dari konsep dan juga karakteristik teori Neo-Merkantilisme ini sendiri, bisa kita
dapati bahwa Jepang, melalui MITI, menerapkan strategi ini dengan membatasi masuknya
investasi asing serta memberikan insentif kepada perusahaan domestik untuk membendung
pengaruh pihak luar pada industri dalam negeri Jepang yang mana di sini MITI juga
bertindak sebagai perencana ekonomi yang menetapkan prioritas industri, memberikan
insentif pajak, serta mengatur investasi dan ekspor. Lewat MITI juga, Jepang menerapkan
strategi "Export-Oriented Industrialization" (EOI), dimana industri seperti otomotif dan
elektronik difokuskan untuk menembus pasar internasional (Lopez & Muscato, 2023).
Di Jepang sendiri, hubungan antara pemerintah dengan pebisnis dapat lihat dalam Keiretsu (Kelompok Konglomerat Jepang) di
mana MITI bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar untuk memperkuat daya saing
industri Jepang di pasar global (seperti Toyota, Mitsubishi, Nissan)
ADVERTISEMENT
MALAPETAKA
Pada periode 1980-an, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi pesat yang didorong oleh
ekspor, inovasi teknologi, dan industrialisasi. Keberhasilan ini menjadikan Jepang sebagai
salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Namun, di balik keberhasilan
tersebut, terdapat kebijakan moneter yang longgar dari Bank of Japan yang menurunkan suku
bunga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Suku bunga rendah ini membuat perusahaan
dan individu lebih mudah memperoleh pinjaman, yang pada akhirnya mendorong
peningkatan investasi di berbagai sektor (Yoshino & Hesary, 2015).
Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Bank of Japan ini lama-kelamaan berdampak buruk
bagi negara Jepang itu sendiri yang akhirnya terjadilah Overinvestment. Kebijakan ini
menyebabkan aliran kredit melambat, sehingga banyak investor tidak mampu membayar
pinjaman mereka. Akibatnya, harga properti dan saham mulai anjlok secara drastis. Bubble
Economic pun pecah, menyebabkan banyak perusahaan dan bank mengalami kebangkrutan Krisis ini menandai awal dari periode The Lost Decade (1991–2001), dimana Jepang
mengalami stagnasi ekonomi, deflasi, dan tingginya jumlah kredit macet. (Crawford, 1998).
ADVERTISEMENT
PEMULIHAN
Tragedi Bubble Economic hingga The Lost Decade yang terjadi pada Jepang menjadikan
contoh betapa krusial nya kebijakan Moneter dan Fiskal yang dikeluarkan oleh negara. Jika
kebijakan yang dikeluarkan tanpa pertimbangan yang matang dari berbagai pihak, krisis
dapat saja terjadi baik terjadi dalam kurun waktu yang cepat atau lambat.
Pasca terjadinya tragedi-tragedi tersebut, seluruh unsur pemerintah dan tingkatannya
melakukan Reformasi dalam kebijakan dan pengambilan langkah perbaikan baik secara fiskal
maupun moneter. Banyak bank Jepang mengalami kredit macet akibat dari jatuhnya harga
properti dan saham. Pemerintah Jepang juga melakukan Bailout (penyelamatan finansial)
terhadap bank-bank besar dan menasionalisasi beberapa bank yang hampir bangkrut.
Pemerintah juga mengalokasikan 60 triliun yen untuk memperbaiki sistem perbankan dan
memberikan suntikan modal kepada bank yang bermasalah atau hampir bangkrut, kebijakan
ini sering disebut sebagai “Fukuda Financial Stabilization Plan” atau lebih sering disebut
sebagai “Fukuda Doctrine”. Kebijakan lainya dalam perbaikan moneter dan fiskal dari
Jepang adalah dengan dibentuknya Financial Supervisory Agency (FSA) untuk memperketat
regulasi perbankan dan mencegah fluktuasi yang berlebihan di masa depan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Kebangkitan ekonomi Jepang didorong oleh peran MITI dalam menerapkan Industrial Policy
berbasis Neo-Merkantilisme, yang menekankan proteksi industri strategis dan dorongan
ekspor. Kebijakan ini berhasil mempercepat pertumbuhan, tetapi juga menyebabkan Over
investment dan Bubble Economic pada 1980-an. Pecahnya gelembung ekonomi di awal
1990-an memicu krisis perbankan dan stagnasi ekonomi yang berlangsung lama. Berbagai
langkah dilakukan untuk mengatasi krisis, pemerintah Jepang melakukan berbagai langkah
pemulihan seperti Bailout Bank, Quantitative Easing, stimulus fiskal, dan reformasi ekonomi.
Namun, pemulihan berjalan lambat karena ketergantungan pada kebijakan proteksionis dan
lambatnya reformasi struktural. Pengalaman Jepang menunjukkan bahwa intervensi negara
yang efektif harus diimbangi dengan fleksibilitas pasar, regulasi keuangan yang kuat, dan
reformasi ekonomi yang cepat agar pertumbuhan tetap berkelanjutan yang mana menjadi bukti bahwa suatu pemerintahan atau negara tidak dapat secara mentah mengaplikasikan
suatu konsep seperti Neo Merkantilisme ini yang menjadi bukti bahwa setiap negara baik
dengan konsep ideologi dan pasar nya masing-masing, tetaplah harus Pragmatis dalam
menanggapi hal apapun.
ADVERTISEMENT