Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Desentralisasi Rasa Sentralisasi, Akankah Daerah Mandiri?
25 November 2024 15:05 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ardieansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Reformasi yang digulirkan oleh sebagian mahasiswa pada tahun 1998 untuk menumbangkan rezim Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, seharusnya membawa angin segar bagi iklim demokrasi di Indonesia. Tuntutan reformasi seperti pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta penerapan otonomi daerah telah diakomodir melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, serta Undang-Undang No. 23 Tahun 2014. Namun, harapan bahwa pembangunan di daerah akan semakin pesat justru terhambat oleh regulasi-regulasi dari pemerintah pusat. Jika tidak diakomodasi dengan baik, hal ini dapat berdampak pada besaran dana transfer ke daerah.
ADVERTISEMENT
Meskipun otonomi daerah sudah berjalan selama lebih dari 20 tahun, belum ada perubahan signifikan yang dirasakan di daerah. Ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pemerintah pusat masih sangat besar, yang menunjukkan bahwa daerah belum mandiri secara pengelolaan keuangan. Dari 38 provinsi yang ada di Indonesia, hanya DKI Jakarta yang memiliki persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD) di atas 70%, sedangkan provinsi lainnya masih di bawah 30%, dengan ketergantungan pada dana transfer pusat berkisar 30-70%. Ini menjadi kondisi yang sangat memprihatinkan, terutama jika kita melihat besarnya APBD setiap tahun serta kendala dalam penurunan dana transfer di daerah.
Dalam diskusi singkat dengan seorang pejabat eselon II di salah satu kota di Sumatera pada tahun 2024, beliau menyampaikan keluhan bahwa jika situasi ini terus berlanjut, lebih baik semua urusan dikembalikan ke pemerintah pusat. Menurutnya, daerah hanya menjadi "tukang stempel" bagi kebijakan pemerintah pusat. Kekhawatiran ini beralasan, karena kepala daerah seperti gubernur, bupati, atau wali kota yang dipilih oleh masyarakat setempat sering kali tersandera dan tidak bisa menjalankan program-programnya, terutama pembangunan fisik, akibat regulasi pusat dan keterbatasan dana daerah.
ADVERTISEMENT
Beberapa ketentuan yang ada, seperti kewajiban daerah membayar gaji pegawai sebesar lebih dari 30% dari total APBD setiap tahunnya, alokasi 20% untuk pendidikan sesuai dengan UUD 1945, 10% untuk kesehatan, serta 40% untuk infrastruktur, membuat daerah kebingungan dalam menjalankan janji politik kepala daerah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan diimplementasikan dalam APBD setiap tahun. Keadaan ini mencederai semangat reformasi di segala bidang, termasuk otonomi daerah, yang seharusnya membuat daerah semakin mandiri, tetapi kenyataannya justru masih sangat bergantung pada pemerintah pusat.
Akibatnya, cita-cita reformasi terasa jauh dari harapan. Semangat untuk membangun daerah dan mewujudkan pemerataan pembangunan semakin sulit tercapai, dan kesenjangan antar-daerah kembali muncul. Otonomi daerah, yang diharapkan mampu memindahkan fokus pembangunan dari pusat ke daerah, ternyata tidak memberikan dampak signifikan terhadap pembangunan di daerah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, politik transaksional yang berpusat di Jakarta juga menjadi penghambat. Untuk mendapatkan dukungan dari partai politik, calon kepala daerah dan anggota legislatif harus melakukan transaksi politik di Jakarta. Hal ini menyebabkan perputaran uang lebih banyak terjadi di ibu kota daripada di daerah. Bahkan, alat kampanye seperti baliho, spanduk, dan stiker dicetak di Jakarta, sehingga daerah tidak merasakan dampak ekonomi dari proses politik yang berlangsung.
Melihat kondisi ini, kapan daerah akan menjadi mandiri? Jika semua transaksi politik, keuangan, serta alokasi anggaran masih ditentukan oleh pusat, maka daerah akan terus tersandera dalam pengelolaan APBD setiap tahunnya. Bukannya daerah mampu mewujudkan janji-janji kepala daerah untuk membawa perubahan yang signifikan, justru mereka terpaksa menjalankan program-program yang telah digariskan oleh pemerintah pusat. Harapan untuk daerah menjadi mandiri tampaknya masih memerlukan waktu yang lama, dan kesabaran dari seluruh pihak. Para pengambil kebijakan di tingkat pusat, seperti DPR, Presiden, serta jajarannya, masih belum sepenuhnya berpihak kepada kepentingan daerah, meskipun saat ini sudah ada lebih dari 500 kabupaten/kota di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, kita tidak boleh putus harapan. Semoga kebijakan para pemimpin yang berpihak pada kepentingan daerah terus berkembang dan semakin memajukan daerah. Semakin maju daerah, maka Indonesia juga akan semakin maju, sesuai dengan sila ke-2 Pancasila, yang berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."