Konten dari Pengguna

Prasasti Padrao: Peninggalan yang Menyaksikan Penjelajah Portugis di Indonesia

Ardine Dimas Patrikphilo
Seorang mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi di Telkom University yang sedang belajar menulis
14 November 2023 11:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ardine Dimas Patrikphilo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Museum Sri Baduga, Bandung, Dokpri
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Museum Sri Baduga, Bandung, Dokpri
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Prasasti, karya tulis yang membanggakan, menorehkan cerita megah di atas bahan kokoh dan tak ternilai. Temuan prasasti di situs arkeologi bukan sekadar menyudahi zaman prasejarah, tapi membuka lembaran baru dalam sejarah kuno Indonesia. Masyarakat yang dulu asing dengan tulisan, kini melangkah ke zaman di mana huruf menjadi teman setia. Ilmu yang menggali ke dalam prasasti disebut Epigrafi, membuka pintu rahasia kejadian masa lalu.
ADVERTISEMENT
Prasasti menjadi bintang terang di antara sumber sejarah kuno Indonesia, melampaui naskah dan berita asing. Keunikan prasasti tidak hanya terletak pada penanggalan, tetapi juga pada rahasia yang terungkap di setiap goresannya. Prasasti menjadi penunjuk jalan dalam eksplorasi penelitian masa lalu yang penuh keuntungan.
Di era modern, prasasti bukan hanya merujuk pada tulisan yang terukir di batu atau logam, tetapi juga menjadi warisan tradisi. Tradisi prasasti hadir dalam berbagai peristiwa, mulai dari peresmian hingga peringatan, penghormatan, dan perayaan.
Di kalangan arkeolog, prasasti dikenal sebagai inskripsi, sementara masyarakat awam sering menyebutnya sebagai batu bertulis atau batu bersurat.
Meskipun "prasasti" berasal dari bahasa Sanskrit yang berarti "pujian", tak semua prasasti memuji, terutama kepada raja. Prasasti umumnya memuat keputusan tentang status desa atau daerah yang diangkat menjadi sima atau daerah perdikan. Sima adalah tanah yang diberikan oleh raja atau penguasa sebagai penghargaan kepada masyarakat berjasa. Oleh karena itu, keberadaan tanah sima dilindungi dengan cermat oleh kerajaan.
ADVERTISEMENT
Prasasti Padrao
Padrao adalah semacam "monumen peringatan" yang menegaskan kesepakatan antara raja Sunda dan Henrique Lemé dalam dokumen tertanggal 21 Agustus 1522. Padrao mendirikan tempat yang dijanjikan akan dibangun tembok, ketika Henrique Lemé kembali ke Malaka, khususnya di daerah bernama Calapa (Sunda Kelapa).
Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/munas/padrao/
Prasasti Padrao ini juga sekaligus menjadi penanda pembangunan Sunda Kelapa sebagai salah satu zona ekonomi pada masa itu
Prasasti Padrao merupakan satu-satunya monumen yang membuktikan hubungan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Portugal pada awal abad ke 16. Prasasti tersebut ditemukan pada tahun 1918 di dekat persimpangan Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkih) dengan Groenestraat (sekarang Jalan Kali Besar Timur I) di Jakarta Barat. Prasasti Padrao diukir pada batu andesit hitam berbentuk persegi panjang agak membulat, tinggi 198 cm dan diameter 67,5 cm. Di atas Padrao terdapat bola langit campuran atau bingkai langit dengan garis khatulistiwa dan lima garis lintang sejajar.
ADVERTISEMENT
Pada bagian atas bola langit terdapat lambang tiga helai daun (trilobe). Di bawah bola langit ini terdapat 4 prasasti. Baris pertama adalah salib Ordo Christus yang terkenal di Portugal sebagai penerus Ordo Kuil Yerusalem di wilayah Raja Portugal. Baris kedua berbentuk huruf DSPOR yang artinya D= Do, S=Senhario, POR= Portugal yang artinya Penguasa Portugal. Baris ketiga terdiri dari huruf ESFER/M, dibaca Esfera do Mundo yang artinya Harapan Dunia. Baris keempat membentuk salib
Sejarah Prasasti Padrao
Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Perjanjian_Sunda-Portugal
Di awal abad ke-16, Kesultanan Demak dan Kesultanan Banten menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di sepanjang pesisir Jawa, termasuk Banten dan Cirebon. Khawatir dengan penyerangan kapal Demak di pelabuhan Sunda Kelapa, raja Sunda, Sri Baduga (Prabu Siliwangi) membutuhkan bantuan untuk menjamin kelangsungan pelabuhan kerajaannya. Pilihan jatuh pada Portugal yang saat itu baru menguasai Melaka pada tahun 1511. Oleh karena itu, pada tahun 1512 dan 1521, Sri Baduga mengutus putra mahkota, Surawisesa, ke Malaka untuk meminta Portugal menandatangani perjanjian dagang, khususnya dengan lada dan memberinya izin untuk membangun tembok di Sunda Kelapa.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1522, Portugis siap membentuk aliansi dengan Sunda untuk mendapatkan akses terhadap perdagangan lada yang menguntungkan. Tahun ini bertepatan dengan selesainya penjelajahan Magellan di Bumi. Komandan Benteng Malaka saat itu adalah Jorge de Albuquerque. Pada tahun yang sama, ia mengirimkan ke Sunda Kalapa sebuah kapal, São Sebastião, di bawah komando Kapten Enrique Leme, disertai barang-barang berharga untuk diberikan kepada raja Sunda. Dua bagian tertulis menjelaskan akhir perjanjian secara rinci. Yang pertama adalah dokumen Portugis pertama yang ditulis pada tahun 1522 yang berisi teks perjanjian dan tanda tangan para saksi, yang kedua adalah catatan peristiwa João de Barros dalam bukunya Da Asia, yang diterbitkan tidak lama sebelum tahun 1777/78.
Raja Sunda dengan senang hati menyambut kedatangan Portugis. Saat itu, Prabu Surawisesa naik tahta menggantikan ayahnya dan Barros memanggilnya "Raja Samio". Raja Sunda mengadakan perjanjian persahabatan dengan Raja Portugal dan memutuskan untuk mendarat di muara Ci Liwung sebagai pelabuhan kapal Portugis. Lebih lanjut, Raja Sunda berjanji jika pembangunan gedung itu dimulai, ia akan memberikan seribu karung lada kepada Portugis. Perjanjian ini dibuat rangkap dua, satu untuk Raja Sunda dan satu lagi untuk Raja Portugal; Keduanya menandatanganinya pada 21 Agustus 1522.
ADVERTISEMENT
Dalam perjanjian tersebut saksi Kerajaan Sunda yaitu Padam Tumungo, Samgydepaty, e outre Benegar e easy o xabandar yang artinya "Yang Dipertuan Tumenggung, Sang Dipati, Bendahara dan Syahbandar" Sunda Kelapa. Ada delapan saksi di pihak Portugis, menurut sejarawan Porto João de Barros. Para saksi Kerajaan Sunda tidak menandatangani akta tersebut, mereka memerintahkannya dalam tradisi "keselamatan". Saat ini perjanjian yang sama disimpan di arsip Negara Republik Indonesia, sedangkan dokumen lainnya disimpan di Arsip Nasional di Torre do Tombo, Lisbon.
Pada hari penandatanganan perjanjian tersebut, banyak pemimpin Kerajaan Sunda bersama Enrique Leme dan anggotanya berangkat ke tanah yang akan menjadi tempat berlindung yang aman di muara Ci Liwung. Mereka membangun sebuah prasasti bernama padrão di kawasan yang kini menjadi sudut Jalan Cengkih dan Jalan Kali Besar Timur I, Jakarta Barat.
ADVERTISEMENT
Orang Portugis memiliki kebiasaan untuk mendirikan padrao ketika mereka menemukan wilayah baru dan Portugis tidak memenuhi janjinya untuk kembali ke Sunda Kalapa pada tahun berikutnya untuk membangun benteng karena krisis di Goa/India.
Perjanjian ini memicu penyerangan pasukan Kesultanan Demak terhadap Sunda Kelapa pada tahun 1527 dan mampu mengusir Portugis dari Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Hari ini kemudian menjadi hari berdirinya Jakarta.
Sumber: https://www.badriologi.com/2019/09/sejarah-portugis-menjajah-indonesia-hingga-terusir-dari-sunda-kelapa-10.html
Dengan kesaksian bisu dari Prasasti Padrao, kita merenung pada jejak-jejak sejarah yang terukir dalam bebatuan itu. Sebuah pintu menuju masa lalu yang kaya warna, tempat di mana hubungan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Portugal membentuk narasi yang tak terlupakan. Prasasti ini, dengan segala detil dan kemegahannya, tidak hanya menjadi bagian dari warisan Jakarta, melainkan juga panggilan untuk terus menggali dan menghormati kisah-kisah berharga yang melekat pada setiap ukiran dan garis inskripsi. Sebagai saksi abadi, Prasasti Padrao mengajak kita untuk menjaga dan merayakan warisan sejarah yang telah membentuk identitas kota ini, membuka jendela ke dalam keajaiban masa lalu yang tak lekang oleh waktu.
ADVERTISEMENT