Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ketika Sekolah Rakyat Menjadi Cermin Kegagalan Pemerataan Pendidikan
10 April 2025 11:10 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Ardiyani Sekarningrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah kembali membuka pendaftaran Sekolah Rakyat, sebuah program pendidikan alternatif yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan miskin ekstrem. Langkah ini disebut sebagai bentuk komitmen negara dalam memberikan hak pendidikan bagi seluruh anak bangsa, terutama mereka yang kerap terpinggirkan oleh sistem pendidikan formal. Namun di balik gagasan inklusif ini, muncul pertanyaan yang tak bisa dihindari: apakah Sekolah Rakyat benar-benar bentuk keadilan pendidikan, atau justru bukti nyata dari gagalnya sistem utama kita dalam menjangkau semua kalangan?

Sekolah Rakyat, dalam desainnya, menawarkan kurikulum yang lebih fleksibel, tidak terlalu birokratis, dan memberi ruang bagi pendekatan lokal. Program ini tampaknya menjadi solusi bagi anak-anak yang selama ini terkendala akses, baik karena masalah biaya, lokasi, maupun dokumen kependudukan. Namun, ketika negara merasa perlu membuat sekolah “khusus” bagi kelompok masyarakat tertentu, kita perlu bertanya lebih jauh: apakah kita sedang membangun jembatan menuju kesetaraan, atau malah menciptakan dinding pemisah yang baru?
ADVERTISEMENT
Solusi atau Pemisahan Sistematis?
Salah satu kekhawatiran terbesar dari hadirnya Sekolah Rakyat adalah potensi terciptanya segregasi pendidikan. Alih-alih memperbaiki sistem formal agar bisa merangkul semua, Sekolah Rakyat justru membuka jalur terpisah. Seolah-olah mengatakan bahwa anak-anak miskin tidak perlu berada dalam sistem pendidikan yang sama dengan anak-anak dari keluarga mampu. Padahal, keadilan bukan tentang menyediakan “opsi berbeda”, melainkan memastikan semua orang bisa mengakses opsi yang sama dengan kualitas yang setara.
Stigma pun tak bisa dihindari. Dalam praktik sosial, sekolah alternatif seperti ini sering kali dipandang sebagai “sekolah kelas dua”, tempat di mana anak-anak yang dianggap “tidak cukup layak” untuk masuk sekolah umum dikumpulkan. Jika lulusan Sekolah Rakyat kesulitan mendapat pengakuan yang sama dalam dunia kerja atau jenjang pendidikan selanjutnya, maka ini bukan lagi soal keterbukaan akses, melainkan perpanjangan dari ketidakadilan struktural.
ADVERTISEMENT
Masalah ini menjadi lebih kompleks jika kita mengingat bahwa pendidikan adalah salah satu pilar utama mobilitas sosial. Jika sistem pendidikan tidak inklusif dan justru menciptakan hierarki baru, maka peran pendidikan sebagai pengangkat derajat justru dilemahkan.
Saatnya Memperkuat Sistem Utama, Bukan Menciptakan Jalur Alternatif
Fakta bahwa Sekolah Rakyat dibutuhkan adalah bukti nyata bahwa sistem pendidikan formal masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Ketimpangan distribusi guru, minimnya fasilitas di daerah tertinggal, biaya sekolah yang tersembunyi, dan kerumitan administrasi masih menjadi penghalang besar bagi anak-anak miskin untuk mengakses pendidikan layak.
Alih-alih membuat sistem pendidikan baru yang hanya “cukup layak” untuk mereka yang miskin, seharusnya negara berfokus pada penguatan sistem utama. Pendidikan dasar dan menengah yang berkualitas, gratis, dan bisa diakses oleh siapa saja tanpa diskriminasi harus menjadi prioritas utama. Pemerintah juga perlu menghapus hambatan administratif yang menyulitkan anak-anak dari keluarga miskin untuk mendaftar di sekolah umum.
Sekolah Rakyat bisa tetap hadir, tetapi bukan sebagai pengganti sistem utama. Ia bisa menjadi solusi darurat, semacam “jaring pengaman” sementara, sembari negara memperbaiki fondasi pendidikan nasional. Namun jika Sekolah Rakyat mulai diposisikan sebagai solusi permanen, kita harus waspada: bisa jadi ini adalah bentuk baru dari pemisahan yang dilegalkan.
ADVERTISEMENT
Kita patut bertanya dengan jujur, mengapa keadilan pendidikan masih terasa jauh? Mengapa negara seolah memisahkan siapa yang layak mendapat pendidikan berkualitas dan siapa yang tidak? Sekolah Rakyat, jika tidak dikawal dengan hati-hati, bisa menjadi simbol dari kegagalan kita dalam membangun sistem pendidikan yang adil dan merata.