Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Refleksi Hardiknas 2025: Pendidikan Adil dan Merata, Mungkinkah?
2 Mei 2025 13:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Ardiyani Sekarningrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Di tengah upacara, seminar, dan poster-poster penuh semangat, kita juga diajak untuk merenung: Sudahkah pendidikan kita benar-benar adil dan merata? Ataukah tema “pendidikan untuk semua” masih sebatas harapan di atas kertas?
ADVERTISEMENT
Berdasarkan cerita dari kawan saya yang tinggal di luar daerah pulau Jawa khususnya daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Masih banyak sekolah di daerahnya yang hanya punya satu bangunan dengan tiga hingga empat ruang kelas. Sering kali, kelas harus digabung karena kekurangan guru. Buku-buku usang, kursi reyot, dan papan tulis yang nyaris tak terbaca menjadi bagian dari rutinitas belajar mereka. Namun guru-guru mereka tetap datang dengan semangat, seolah berkata: "Kalau bukan kami, siapa lagi?". Cerita itulah yang kemudian membuat saya terus bertanya: bagaimana mungkin anak-anak dari kota besar dan desa terpencil bisa memiliki kesempatan yang sama dalam pendidikan? Mari kita refleksikan bersama.
Ketimpangan yang Masih Terasa
Tak dapat dimungkiri, ketimpangan pendidikan di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Laporan dari berbagai lembaga nasional maupun internasional menunjukkan bahwa akses, kualitas guru, infrastruktur, bahkan kurikulum, seringkali sangat berbeda antara satu wilayah dengan yang lain.
Di kota-kota besar, siswa belajar dengan proyektor dan tablet. Di pelosok, masih ada yang harus berjalan puluhan kilometer untuk mencapai sekolah ditambah dengan infrastruktur yang belum memadai,
ADVERTISEMENT
Di sekolah swasta unggulan, bahasa asing adalah hal makanan sehari-hari. Di sekolah-sekolah daerah 3T, bahkan buku pelajaran pun kadang tak tersedia. Jika pendidikan diibaratkan sebagai tangga menuju masa depan, maka tangga itu bagi sebagian anak justru terlalu tinggi untuk digapai.
Peran Semua Pihak: Dari Keluarga hingga Negara
Melihat tema Hari Pendidikan Nasional tahun ini, "Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua", memberi isyarat yang jelas: keadilan dan pemerataan pendidikan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab kita semua.
Orang tua, guru, pegiat sosial, pelaku usaha, hingga tokoh masyarakat memiliki peran dalam menciptakan pendidikan yang inklusif dan bermutu. Bahkan siswa pun, dalam skala kecil, dapat membentuk budaya belajar yang sehat dan saling mendukung di lingkungan sekolah.
ADVERTISEMENT
Namun tentu saja, negara tetap memegang peran utama dalam memastikan pemerataan pendidikan. Pemerintah harus bertindak sebagai penyeimbang yang menjamin setiap anak, di manapun mereka berada, memiliki akses yang setara terhadap pendidikan berkualitas. Kebijakan pendidikan tidak boleh terfokus hanya pada wilayah yang sudah berkembang, melainkan juga harus menjangkau daerah-daerah tertinggal yang kerap terpinggirkan.
Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan di wilayah-wilayah terpencil perlu ditingkatkan, termasuk dengan mengalokasikan anggaran khusus untuk pelatihan guru agar mereka lebih siap mengajar di berbagai kondisi sosial dan geografis. Selain itu, penyediaan infrastruktur dasar seperti gedung sekolah yang layak, perpustakaan, serta akses internet harus menjadi prioritas nasional yang terintegrasi dalam rencana pembangunan jangka panjang, bukan hanya sebagai agenda tambahan.
ADVERTISEMENT
Mungkinkah pendidikan yang adil dan merata terwujud?
Jawabannya sangat mungkin, asalkan kita berhenti menjadikannya utopia dan mulai menjadikannya rencana konkret. Kita sudah melihat inisiatif positif pemerintah. Mulai dari adanya program afirmasi untuk daerah 3T, beasiswa untuk siswa kurang mampu, hingga gerakan literasi digital di sekolah. Namun semua itu harus dikawal dengan komitmen jangka panjang, memastikan semuanya tepat sasaran, dan diperlukan kolaborasi lintas sektor.
Di sisi lain, kita perlu terus membangun kesadaran publik: bahwa pendidikan bukan hanya tentang lulus ujian dengan nilai yang tinggi, tapi tentang membentuk manusia seutuhnya yang mampu berpikir kritis, berempati, dan mampu hidup bersama dalam keberagaman.
Penting menjadikan hari Pendidikan Nasional bukan sekadar seremoni tahunan. Momen ini penting untuk mengingatkan bahwa pendidikan adalah jantung dari keadilan sosial.
ADVERTISEMENT