news-card-video
25 Ramadhan 1446 HSelasa, 25 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Mudik Lebaran sebagai Ritual Sosial Masyarakat Muslim di Indonesia

Ares Faujian
Guru Inovatif Nasional 2020 (KEMDIKBUD) & 2023 (Penerbit Erlangga) - Agen Pusat Penguatan Karakter (PUSPEKA) KEMDIKBUDRISTEK - Fasilitator Literasi Regional Sumatra BADAN BAHASA - Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sosiologi Kab. Belitung Timur
23 Maret 2025 10:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ares Faujian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Mudik Lebaran pada Masyarakat Muslim di Indonesia. Sumber: Ilustrasi ChatGPT.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mudik Lebaran pada Masyarakat Muslim di Indonesia. Sumber: Ilustrasi ChatGPT.
ADVERTISEMENT
Mudik Lebaran bukan sekadar perjalanan pulang, ia adalah ritual sosial yang terjadi di sepanjang jalan raya, membelah batas geografis demi seutas kehangatan keluarga. Mudik adalah fenomena tahunan yang sangat dinantikan oleh masyarakat Muslim di Indonesia. Tradisi ini berfungsi sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial dan menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial, meskipun di era globalisasi (Iriany et al., 2019).
ADVERTISEMENT
Tradisi mudik menjadi fenomena sosial yang mencerminkan eratnya hubungan antara individu, keluarga, dan komunitas. Dalam kajian sosiologis, mudik dapat dipahami melalui berbagai perspektif, mulai dari teori solidaritas hingga teori mobilitas sosial.
Dalam perspektif sosiolog Emile Durkheim pada teori solidaritas, mudik adalah ekspresi solidaritas mekanik. Solidaritas mekanik dicirikan oleh kesamaan nilai dan norma di kalangan anggota masyarakat (Syah, 2023). Mudik bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga bentuk pemulihan hubungan sosial yang terjalin erat sejak masa kanak-kanak.
Dalam solidaritas mekanik, kesadaran kolektif memainkan peranan penting dalam mengikat masyarakat ini. Kesadaran ini adalah hasil nilai dan kepercayaan yang diikuti bersama, yang mengarahkan tingkah laku individu dalam masyarakat (Anderson, 2020; Ras et al., 2023).
ADVERTISEMENT
Di kampung halaman, individu merasa menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar, di mana norma, tradisi, dan nilai-nilai lama kembali mengisi ruang batin yang mungkin telah terkikis oleh hiruk-pikuk kota. Ini menjelaskan mengapa meskipun perjalanan mudik sering melelahkan dan penuh risiko, orang tetap rela menjalaninya.
Di sisi lain, teori mobilitas sosial dari Pierre Bourdieu selaku sosiolog Perancis, dapat menjelaskan bagaimana mudik menjadi ajang pertunjukan kapital simbolik. Bourdieu mengidentifikasi beberapa bentuk kapital yang memengaruhi posisi sosial individu, termasuk kapital ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Kapital ini berfungsi sebagai sumber daya yang dapat digunakan untuk memperoleh keuntungan dalam medan sosial (Amjad & Baghbaderani, 2023; Stamatiou, 2022).
Dalam kapital simbolik Bourdieu, mereka yang telah sukses di kota besar cenderung ingin menunjukkan keberhasilan saat pulang ke kampung halaman. Ini bisa berupa kendaraan mewah, pakaian baru, atau gaya hidup yang berbeda dari sebelumnya. Dalam konteks ini, mudik tidak sekadar ajang silaturahmi, tetapi juga arena individu mempertontonkan modal ekonomi dan kulturalnya. Namun, tidak sedikit yang justru merasa terasing karena kesenjangan sosial yang semakin melebar.
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi dan globalisasi juga memengaruhi makna mudik. Di era digital, kehadiran fisik mungkin tidak lagi mutlak karena komunikasi bisa terjalin melalui video call atau media sosial. Namun, bagi banyak orang, interaksi virtual tidak bisa menggantikan sentuhan hangat dan obrolan malam di beranda rumah. Oleh sebab itu, mudik tetap relevan sebagai bentuk eksistensi sosial yang memperkuat identitas individu dalam jaringan sosialnya.
Namun, mudik juga membawa berbagai dampak sosial, baik positif maupun negatif. Di sisi positif, mudik memperkuat jaringan sosial dan memperkokoh solidaritas antargenerasi. Kampung halaman yang semula sepi menjadi hidup kembali, ekonomi lokal menggeliat, dan hubungan keluarga kembali erat. Tradisi ini membantu dalam pengembangan ekonomi daerah dengan meningkatkan sirkulasi uang, yang dapat dianggap sebagai bentuk pemerataan ekonomi (Oktavio & Indrianto, 2019). Di sisi lain, mudik juga memunculkan tantangan, seperti kemacetan, kecelakaan, dan risiko kesehatan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks sosiologi urban, mudik juga menjadi cerminan ketimpangan pembangunan antara kota dan desa. Arus besar pekerja dari desa ke kota menunjukkan bahwa kesempatan ekonomi di daerah masih terbatas. Jika keseimbangan ini tidak diperbaiki, tradisi mudik akan terus menjadi siklus tahunan yang mencerminkan ketimpangan struktural dalam masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang lebih progresif untuk membangun desa agar orang tidak hanya pulang saat lebaran, tetapi juga memiliki alasan kuat untuk tetap tinggal.
Tradisi mudik di Indonesia memainkan peranan penting dalam memperkuat hubungan sosial dan emosional antara keluarga dan teman. Ini adalah momen di mana individu memenuhi kepentingan primordial dan emosional mereka, yang membantu memperkuat ikatan sosial di antara komunitas (Oktavio & Indrianto, 2019). Seperti aliran sungai yang selalu mencari muaranya, manusia pun selalu ingin kembali ke asal. Karena jarak boleh merentang, waktu boleh beranjak, tapi hati selalu tahu jalan untuk pulang.
ADVERTISEMENT
Oleh: Ares Faujian
Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sosiologi Kab. Belitung Timur & America Field Service (AFS) Global Educator
Referensi
ADVERTISEMENT