news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Suporter, Sang Pemain Ke-12 Sepak Bola!

Ares Faujian
Guru Inovatif Nasional 2020 (KEMDIKBUD) & 2023 (Penerbit Erlangga) - Agen Pusat Penguatan Karakter (PUSPEKA) KEMDIKBUDRISTEK - Fasilitator Literasi Regional Sumatra BADAN BAHASA - Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sosiologi Kab. Belitung Timur
24 Maret 2025 15:21 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ares Faujian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Suporter sebagai "Sang Pemain Ke-12" Sepak Bola di Indonesia. Sumber: Ilustrasi ChatGPT.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Suporter sebagai "Sang Pemain Ke-12" Sepak Bola di Indonesia. Sumber: Ilustrasi ChatGPT.
ADVERTISEMENT
Di stadion yang penuh sesak, suporter bukan sekadar penonton—mereka adalah nyawa yang berdenyut dalam setiap serangan dan pertahanan tim kesayangannya. Sorakan mereka menggema seperti gelombang yang menerjang mental lawan dan menyuntikkan energi kepada para pemain. Tidak heran jika suporter sering disebut sebagai "pemain ke-12" yang memiliki kekuatan tak kasatmata dalam menentukan jalannya pertandingan.
ADVERTISEMENT
Kehadiran suporter di stadium dapat meningkatkan motivasi dan semangat pemain. Sorakan dan sokongan dari mereka memberikan dorongan emosi yang penting, membantu pemain untuk berusaha lebih keras dan mencapai kemenangan walaupun dalam keadaan sukar (Rahmat & Irfandi, 2023). Misalnya, “Madriditas” atau “Madridista” untuk sebutan suporter klub Real Madrid (Spanyol), hingga “Liverpudlian” untuk julukan penggemar fanatik klub Liverpool FC (Inggris) yang berasal dari kota Liverpool, sedangkan penggemar dari luar kota Liverpool disebut “Kopites”.
Di Indonesia, semangat suporter tidak hanya memotivasi atlet untuk berprestasi, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial dan kebanggaan nasional. Suporter ini menyanyikan lagu kebangsaan dan mengenakan atribut nasional, yang membantu memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia (Aulia, 2024). Termasuklah untuk para pemain diaspora pada tim ini.
ADVERTISEMENT
Kehadiran suporter di stadion tidak hanya penting untuk moral tim, tetapi juga untuk menciptakan kembali atmosfer khas pertandingan sepak bola (Sfintes, 2022). Suporter memberikan dorongan moral yang signifikan kepada tim tuan rumah, yang dikenal sebagai keuntungan bermain di kandang. Kehadiran suporter dapat meningkatkan performa pemain dan memengaruhi bias wasit, yang pada akhirnya memengaruhi hasil pertandingan (Bilalić et al., 2021).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan pertandingan yang diadakan tanpa penonton mengurangi motivasi pemain. Ihwal ini menunjukkan betapa pentingnya kehadiran suporter sebagai sumber semangat dan dukungan (Rahmat & Irfandi, 2023; Sfintes, 2022).
Suporter tidak hanya ada pada kalangan pria saja. Kehadiran suporter wanita di stadion juga semakin meningkat dan menunjukkan perubahan perilaku konsumen. Di klub seperti Persib Bandung, kelompok suporter wanita seperti Ladies Vikers telah terbentuk, menunjukkan bahwa sepak bola tidak lagi didominasi oleh pria (Fitriyani, et al., 2021). Tidak hanya itu, contoh lainnya kelompok “bidadari tribun” ini di Indonesia yaitu, Srikandi Pasoepati (suporter Persis Solo), Babes (suporter Manchester United), Internona (suporter Inter Milan), Milanisti Angel atau Angel Milanisti (suporter AC Milan), Jak Angels (suporter Persija Jakarta), dsb.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif sosiologis, suporter adalah bentuk nyata dari solidaritas kolektif sebagaimana dijelaskan oleh Émile Durkheim. Solidaritas kolektif menurut Émile Durkheim adalah rasa persatuan dan kebersamaan yang muncul dari kesamaan identitas, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang dianut bersama oleh anggota masyarakat (Shoham, 2024; Ridenour-Jones, 1994).
Contoh konkret terlihat dalam komunitas Milanisti Indonesia, yang bukan hanya mendukung AC Milan sebagai klub pujaannya, tetapi juga menjunjung tinggi nilai solidaritas dan kekeluargaan dalam komunitas mereka. Hal ini tercermin dari slogannya, “Lebih Dekat dari Saudara, Lebih Besar dari Keluarga” (Yasin, 2023). Mereka membentuk subkultur yang menghubungkan individu dari berbagai latar belakang dalam satu ikatan emosional yang kuat.
Dalam kasus Ultras, seperti suporter Persija Jakarta (Jakmania) atau Bobotoh Persib Bandung, mereka tidak sekadar menonton, tetapi berperan dalam membangun identitas dan tradisi klub melalui chant (nyanyian atau yel-yel), koreografi, dan aksi sosial. Kajian Arrondel et al. (2023) menyampaikan bahwa suporter yang bersemangat, atau "Ultras", dapat meningkatkan tingkat persaingan klub dan jumlah kemenangan, yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan dari hak siar TV. Dalam riset ini juga mendeskripsikan, beberapa model ekonomi menyarankan bahwa klub mungkin perlu mensubsidi kehadiran suporter untuk memaksimalkan efek pemain ke-12 ini.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak semua ekspresi dukungan berjalan harmonis. Konflik antarsuporter sering terjadi akibat fanatisme yang berlebihan, yang dalam teori konflik Karl Marx dapat dipahami sebagai bentuk perebutan dominasi simbolik di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Tingkat fanatisme yang tinggi ini dapat memicu rivalitas antara kelompok suporter. Contohnya, rivalitas antara Bonek (suporter Persebaya) dan Aremania (suporter Arema) di Indonesia, yang acap kali diwarnai dengan pesan kebencian dan persaingan yang sengit (Yusron, 2021).
Bentrokan antara pendukung Persebaya dan Arema FC ini sering kali dipicu oleh rivalitas historis yang melibatkan aspek ekonomi, politik, dan budaya kota masing-masing. Ini menunjukkan bahwa identitas suporter dapat menjadi pisau bermata dua: memperkuat solidaritas internal, tetapi juga memicu antagonisme eksternal. Fanatisme yang berlebihan ini dapat menyebabkan kerusuhan massa, seperti yang terjadi dengan suporter Persebaya. Kerusuhan ini pernah melibatkan tindakan kriminal seperti perusakan properti dan kekerasan, yang memerlukan penanganan hukum (Wahyudi, 2020).
ADVERTISEMENT
Di era digital, teori masyarakat jejaring dari Manuel Castells menjadi relevan dalam memahami perubahan peran suporter. Castells menekankan bahwa masyarakat jejaring menggantikan masyarakat industri sebagai bentuk organisasi sosial baru di era informasi. Ini ditandai dengan peran penting jaringan komunikasi elektronik dalam bisnis, kehidupan sehari-hari, layanan publik, interaksi sosial, dan politik (Castells, 2004). Termasuklah dalam dunia sepak bola ini.
Media sosial sebagai salah satu tempat masyarakat jejaring ini telah menciptakan ruang baru bagi mereka untuk berinteraksi, mengorganisir aksi kolektif, bahkan memengaruhi keputusan/ kebijakan klub atau tim nasional (timnas) sepak bola suatu negara. Contohnya, desain yang dirilis oleh Erspo (brand timnas sepak bola Indonesia) pada tahun 2024 dikritik negatif oleh netizen suporter Indonesia di media sosial. Alhasil, tak lama kemudian brand ini pun kembali merilis desain baru, yang melibatkan pilihan/ masukan melalui polling desain untuk desain di tahun 2025.
ADVERTISEMENT
Suporter bukan hanya pelengkap dalam pertandingan sepak bola, tetapi jiwa yang menghidupkan setiap detiknya. Seperti api yang tak pernah padam, gairah mereka terus membakar semangat di dalam dan luar lapangan. Mengelola rivalitas suporter agar tidak berujung pada kekerasan adalah tantangan yang harus dihadapi. Pendekatan komunikasi dan edukasi dapat membantu mengurangi ketegangan dan mempromosikan persaingan yang sehat (Yusron, 2021). Selama dukungan tetap berada dalam koridor sportivitas dan persaudaraan, suporter akan selalu menjadi pemain ke-12 yang tidak tergantikan.
Oleh: Ares Faujian
Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sosiologi Kab. Belitung Timur & America Field Service (AFS) Global Educator
Referensi
ADVERTISEMENT