Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Agustus dan Narasi Kemerdekaan yang Selalu Berulang
9 Agustus 2023 21:44 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari M arfah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang perayaan hari ulang tahun Republik Indonesia, berbagai macam kegiatan digelar semua bermuara pada keinginan untuk meramaikan kemerdekaan Indonesia itu. Ada yang melaksanakan dialog kebangsaan, ada yang menggelar sarasehan hingga pada perlombaan yang melibatkan masyarakat di tingkat RT.
ADVERTISEMENT
Saya pun bisa menebak Anda pun pernah terlihat dalam perayaan 17-an. Entah sebagai peserta atau panitia hajatan atau mungkin sekadar penggembira. Tapi saya kemudian buru-buru menjelaskan, saya tidak lah ingin membahas lomba-lomba yang dilaksanakan di tiap-tiap gang. Apalagi perlombaan panjat pinang.
Yang mengganggu pikiran saya kemudian adalah narasi-narasi kemerdekaan yang selalu berulang. Selalu dilontarkan menjelang peringatan 17 Agustus. Dan, ini terjadi di hampir semua kegiatan-kegiatan resmi baik sifatnya diskusi ilmiah atau dialog-dialog yang bisa disimak di radio-radio.
Tahun lalu, saya ingat betul, ketua organisasi di mana saya berhimpun diundang di salah satu radio. Temanya tak jauh-jauh soal pemuda dan kemerdekaan. Ia diundang kapasitasnya sebagai ketua organisasi kepemudaan yang cukup dikenal. Tentu saja sebagai kader sejati mestilah menyimak apa yang kemudian akan diarahkan oleh sang ketua.
ADVERTISEMENT
"Kawan-kawan kita harus bangga karena negara kita merdeka atas perjuangannya sendiri. Dengan darah dan air mata. Sementara Malaysia merdeka karena pemberian Inggris."
Saya kecewa. Sangat kecewa dengan paparan ketua saya itu. Rasanya tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Sebab sebelum diskusi digelar saya sudah mempersiapkan diri dengan baik, bakalan menyimak dengan saksama. Pasti diskusi isinya daging semua.
Begitu ia menyampaikan hal-hal yang sudah diketahui oleh umum, saya lemas. Entah apa pentingnya lagi si pemateri menyampaikan hal-hal yang sebenarnya tak perlu diulang itu. Toh, masih banyak hal-hal yang mesti digali dan dipaparkan.
Parahnya lagi ketua organisasi saya itu dengan sangat bangga membagikan informasi kalau ia didaulat menjadi narasumber. Tak cukup sampai di situ, ia bahkan menggunggah di Facebook. Pasti ia sangat bangga. Seharusnya juga dibarengi dengan pemaparan yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
***
Seorang kenalan mengirimkan flyer melalui aplikasi pengirim pesan instan. Isinya ajakan untuk mengikuti diskusi online. Selain dapat uang pengganti paket data, yang tak kalah menarik adalah si pemateri adalah ketua partai di mana saya tinggal. Bonusnya lagi ketua partai itu adalah salah satu idola saya di medan perpolitikan tingkat lokal.
Jadilah kemudian undangan itu merupakan bonus yang sangat mahal. Saya catat betul tanggal dan jam pelaksanaannya agar bisa mengikuti diskusi online tersebut. Tak sampai di situ flyer diskusi online tersebut saya share ke beberapa grup WhatsApp.
Nahas saat pelaksanaan, saya lagi-lagi dibuat kecewa. Gara-garanya materi yang disampaikan para narasumber dan (termasuk ketua partai itu) adalah hal-hal umum belaka. Hal yang sudah jamak diketahui masyarakat. Ya soal kemerdekaan itu. Ya soal kisah heroik para pejuang.
ADVERTISEMENT
Tampaknya memang narasi kemerdekaan Indonesia selalu berulang. Hal yang disampaikan juga itu-itu saja. Kalau sejatinya hal itu sudah kita ketahui, kenapa mesti repot-repot panitia mengadakan diskusi. Tujuan dari sebuah diskusi kan memaparkan hal-hal baru yang belum banyak diketahui masyarakat.
Terkhusus soal kemerdekaan dan pemuda, tentu ada banyak sebenarnya yang kemudian bisa disampaikan kepada masyarakat. Bukan hanya melulu soal pemberian kemerdekaan itu.
Tulisan ini juga kemudian bisa menjadi pegangan bagi para calon narasumber dalam acara diskusi-diskusi akan digelar. Saya sangat paham akan ada banyak diskusi yang dilaksanakan oleh berbagai ormas dan pemerintah yang muaranya tentu saja pada perayaan 17 Agustus.
Nah, momen diskusi itu nantinya jangan kemudian membuat calon peserta diskusi kecewa gara-gara narasi kemerdekaan yang selalu diulang. Salah satu cara paling efektif adalah mengaitkan kondisi kemerdekaan dengan problematika hari ini. Bisa juga mengaitkan kemerdekaan dengan menyambut tahun politik. Apa itu bisa? Bisa asal pemateri banyak membaca dan tak mau terjebak dalam hal umum-umum saja.
ADVERTISEMENT