Konten dari Pengguna

Stop Bilang 'Caleg Adalah Putra/Putri Terbaik Bangsa'

M arfah
Wakil sekretaris Ansor Batam Pernah kuliah di Universitas Ibnu Sina Batam
21 Agustus 2023 17:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M arfah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Baliho kampanye caleg PSI di Jalan Tentara Pelajar, Semarang. Foto: Afiati Tsalitsati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Baliho kampanye caleg PSI di Jalan Tentara Pelajar, Semarang. Foto: Afiati Tsalitsati/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilahan umum (pemilu) 2024 memang masih sekitar enam bulan lagi. Namun, bagi mereka yang ambil bagian menjadi bakal calon anggota legislatif sudah sejak beberapa bulan belakangan gencar melakukan sosialisasi.
ADVERTISEMENT
Ya sosialisasi, bahasa yang disamarkan. Mereka (para caleg itu) masih malu-malu bilang apa yang dilakukannya itu adalah kampanye karena memang secara aturan belum boleh berkampanye.
Jangankan untuk berkampanye, hanya sekadar menganggap dirinya caleg saja sebenarnya belum boleh. Karena belum ada penetapan dari penyelenggara pemilu. Jangan-jangan yang mengaku dirinya sebagai caleg gagal lolos. Kan, bisa runyam urusan.
Sudah kampanye, (eh maksud saya sudah melakukan sosialisasi)—sesuai PKPU nomor 33 tahun 2018 yang boleh melakukan sosialisasi itu adalah partai politik—di hampir semua platform media sosial bahkan hingga digantung di pohon-pohon malah terdiskualifikasi.
Apalagi kemudian, saya mengamati, mencermati para caleg itu seakan berlomba untuk mengenali dirinya ke masyarakat. Tentu saja kita maklumi, sebab untuk terpilih menjadi anggota dewan tidaklah mudah. Selain dikenal juga harus punya berbagai macam jurus dan trik.
ADVERTISEMENT
Nah, salah satu jurus yang sering dipakai dan kerap diulang dan diproduksi dalam setiap ajang lima tahunan adalah menganggap sang caleg adalah "putra/putri terbaik" di daerah pemilihan itu. Narasi ini sering kali saya temui. Mengganggu sekali.
Dua pernyataan yang saya temui beberapa hari lalu hingga Facebook. Sebenarnya itu bukan yang pertama. Sejak akhir tahun 2022 sudah banyak orang kemudian menyatakan kesanggupannya untuk menjadi caleg. Bukan hanya sebatas sanggup tapi mendandani dirinya dengan berbagai atribut kesederhanaan. Yang pada ujungnya mereka akan dianggap sebagai putra terbaik.
Saya tentu saja terganggu dengan narasi putra terbaik itu. Maksud saya bukan kok melarang orang untuk bertarung di ajang pemilu. Bukan. Itu adalah hak sebagai warga negara. Maksud saya begini. Jangan kemudian seolah-olah mereka yang ikutan nyaleg itu lalu kita sematkan sebagai putra terbaik di dapilnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Di dalam bahasa Indonesia, prefiks (ter-) punya beberapa makna. Salah satunya adalah makna paling. Misalnya (ter-)pandai artinya orang paling pandai. (Ter-)ganteng artinya orang paling ganteng.
Lalu, bagaimana dengan (ter-baik)? Ya artinya orang yang paling baik. Nah, di situ masalahnya.
Apa mau dibilang orang yang nyaleg itu adalah orang paling baik. Ya, tunggu dulu. Naif benar. Hanya karena status sebagai caleg lalu labeling dengan mudah dan murah kita sematkan. Saya tentu saja tidak setuju.
Bagaimana dengan orang-orang yang berkecimpung di dunia selain politik. Para guru pelosok-pelosok misalnya yang sudah mengabdikan dan mengajari anak-anak sekolah puluhan tahun.
Atau para kiai-kiai kampung yang sabar dan tekun mengajari bocah-bocah di langgar atau musala. Bukankah mereka itu lebih pantas dan layak kita anggap manusia-manusia terbaik? Bagaimana menurutmu?
ADVERTISEMENT
Kita juga sama-sama tahu bahwa untuk menjadi seorang bakal calon anggota legislatif tidak diperlukan syarat yang ribet. Juga tidak mesti memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Apalagi integritas. Menjadi bacaleg itu tidak melalui seleksi ketat dalam masyarakat.
Nah, saya mungkin agak setuju kalau seumpamanya seleksi menjadi bacaleg itu diperketat. Maksudnya, jangan ujug-ujug siapa pun boleh mendaftar.
Jadi, misalnya di tingkat paling bawah, di RT dipilih satu orang yang memang dianggap mumpuni, punya kapasitas dan kemampuan di atas rata-rata. Lalu masing-masing perwakilan RT diadu di tingkat yang lebih tinggi. Dijaring hingga mengerucut menjadi satu orang. Begitu seterusnya hingga tingkat kecamatan.
Kalau demikian proses seleksinya, saya yakin dan akan percaya minimal kita punya bakal calon itu menjadi terbaik. Tapi, kalau rekrutmen masih seperti ini, ya belum. Apalagi kemudian kadang kala kuota untuk bacaleg perempuan terlalu dipaksakan hanya untuk pemenuhan syarat saja.
ADVERTISEMENT
Yang kemudian juga sering saya pertanyakan sampai kapan pelabelan putra terbaik bangsa itu disematkan? Katakanlah begini, sang calon itu kemudian berhasil menjadi anggota legislatif. Ia terpilih. Namun dalam perjalanannya kemudian, si tokoh kita itu terjerat kasus korupsi? Nah, pertanyaannya kok katanya putra terbaik malah korupsi. Terbaik loh.
Tentu saja untuk kasus korupsi itu tidak berandai-andai. Sudah beberapa banyak memang anggota dewan yang kemudian terbukti menyalahkan wewenang. Menerima suap. Menonton video yang tak semestinya, hingga main judi di tengah sidang yang katanya maha penting itu.
Atau pengandaian lainnya, misalnya sang bacaleg itu gagal "menembus" Senayan. Lalu, dia kembali ke masyarakat. Apa kemudian dengan gugurnya dia menjadi anggota legislatif, maka gugur juga pelabelan "putra atau putri terbaik bangsa" itu?
ADVERTISEMENT
Kalau demikian, kan naif juga kita dalam berbangsa ini. Atau bagaimana? Pelabelan itu melekat sepenuhnya meski ia kemudian terbukti pernah korupsi.
Paling sederhana memang, sudahlah jangan labeli para caleg itu dengan kalimat "putra/putri terbaik".