Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Like Father Like Son
23 Februari 2019 13:35 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
Tulisan dari Arfiendi Jahja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak, saya tidak akan bercerita tentang kemiripan sifat, fisik, atau sikap, saya akan bercerita kemiripan perjalanan hidup saya dan si bocah.
ADVERTISEMENT
Saya adalah anak dari seorang abdi negara yang secara berkala ditugaskan di kota yang berbeda di Indonesia. Sebagai anak terkecil di keluarga, Ayah memutuskan untuk mengajak saya mengikutinya hidup berpindah-pindah kota di tempat penugasannya. Selama itu, saya telah bertempat tinggal di 6 kota yaitu Soa Sio, Ternate, Maluku Utara; Medan; Kuala Kapuas; Denpasar; Banjarmasin,dan tentunya Jakarta. Saya tidak lagi berpindah-pindah setelah mulai duduk di Sekolah Menengah Atas, karena Ayah memutuskan (waktu itu) Ibukota adalah tempat terbaik untuk bisa menempuh pendidikan formal.
Hidup berpindah-pindah menjadi hal yang biasa kami lakukan. Bagi anak kecil seperti saya, bertemu teman-teman baru adalah hal yang paling saya sukai. Namun tampaknya kehidupan di Medan dan Kuala Kapuas adalah yang paling berkesan dan membawa dampak besar dalam kehidupan saya. Kenapa? Mungkin karena di Medan, entah bagaimana, Ayah bisa mendapatkan rumah sewaan yang walaupun merupakan bangunan tua, namun memiliki halaman yang luas dan asri. Ada pohon Mangga, Jambu, Rambutan, Tebu, Delima dan Nangka, wah pokoknya lengkap. Pulang ke rumah selalu menjadi hal yang paling saya tunggu setelah bel sekolah dipukul berkali-kali oleh si bapak penjaga sekolah. Tiba di rumah, saya langsung berganti baju dan bermain di taman rumah, di antara pohon-pohon rindang itu hingga sore tiba sembari menunggu Ayah pulang. Jarak antara pintu pagar dengan bangunan rumah menurut saya agak jauh, ya tentunya dari sudut pandang seorang anak kecil kayaknya sih jarak segitu jauh. Begitu terdengar suara klakson mobil, Saya dengan semangat membukakan pintu pagar untuk Ayah.
ADVERTISEMENT
Kota medan menjadi awal mula saya menjadi pecinta kucing sampai sekarang, semua bermula dari kucing pemilik rumah yang entah mengapa enggan ikut pindah tuannya ke rumah baru, si kucing kemudian beranak pinak sampai akhirnya kucing kami ada 20-an ekor. Kota Medan jugalah yang mengenalkan saya dengan Durian. Durian Medan memang lezat, bahkan sampai sekarang makan durian adalah salah satu kegiatan yang tampaknya menjadi wajib dilakukan para pengunjung yang tengah berada di kota Medan.
Setelah Medan, Ayah dipindahkan ke Kuala Kapuas, sebuah kota di Kalimantan Tengah yang pada waktu itu sudah berumur 184 tahun. Agak kaget sebenarnya pindah ke sana, tidak ada bayangan saya tentang bagaimana alam di Kalimantan itu. Kejutan pertama adalah perjalanan menuju ke kota itu, yang menjadi kesempatan pertama kalinya saya naik speed boat, wah seru! Eh tapi tunggu dulu, ternyata setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit, sungainya jadi luas banget, agak takut juga. Kalau sekarang, Kuala Kapuas sudah tersambung dengan jalur Trans Kalimantan, jadi sudah jarang orang yang berkunjung ke sana menggunakan speed boat.
Semuanya serba berbeda, kami tinggal di rumah yang sedikit lebih tinggi dari tanah dan di depannya ada saluran air yang lebarnya lebih dari 3 meter namun hanya terisi dengan air yang berwarna coklat tanah pada sore hari. Jika sedang tidak ada airnya, saya bisa melihat banyak ikan-ikan kecil yang bisa berjalan di lumpur, ikan jenis ini belum pernah saya lihat sebelumnya. Telepon di rumah itu berwarna hitam dan pakai 6 buah baterai ukuran besar sebagai sumber dayanya. Aneh sekali, kenapa tidak ada angka yang bisa di tekan atau diputar seperti telepon di rumah kami di Medan? Ternyata jika hendak dipakai, putarlah tuas di bagian samping dan bicaralah kepada operator dengan menyebutkan 3 angka tujuan. Telepon ini hanya untuk jaringan lokal, kalau mau telepon ke abang saya yang sekolah di kota lain, Ayah harus pergi ke kantor telkom. Di bagian belakang rumah itu, tersedia beberapa buah drum besar yang dipakai menampung air sebagai cadangan jika musim kemarau tiba. Namun kadangkala jika cadangan itu habis, kami membeli lusinan botol air mineral untuk minum, dan menunggu air bersih yang harus diambil dari sumber air di tengah hutan dan dibawa ke Kapuas dengan mobil pemadam kebakaran. Aneh? Tentu saja, tapi harap maklum pada waktu itu belum dikenal air mineral dalam galon dan jumlah truk tangki air hanya sedikit.
ADVERTISEMENT
Di Kapuas, saya pertama kali merasakan berenang di sungai yang lebarnya lebih dari 50 meter dan dasarnya tidak terlihat sama sekali, namun tidak ada rasa takut bahkan yang ada malah saya berulang kali meloncat ke sungai dengan berbagai gaya. Sensasi yang dirasakan membuat adrenalin mengalir deras di sekujur tubuh, wah luar biasa pokoknya. Kenapa berenang di sungai? Karena waktu itu tidak ada kolam renang untuk umum.
Lalu, apa dong kemiripan perjalanan hidup saya dengan si bocah?
Semua itu dimulai kurang lebih 18 tahun setelah cerita di atas. Setelah sebelumnya bekerja di 2 kantor lainnya, saya diterima bekerja menjadi abdi negara di Kementerian Luar Negeri. Singkat cerita tiba waktunya bagi saya ditempatkan di salah satu Perwakilan RI di luar negeri. Kok pakai kata “Luar Negeri”? Sekedar berbagi, Perwakilan RI juga ada untuk ASEAN, dan kantornya di Jakarta tepatnya di bilangan Blok M, jadi lokasi kantornya tidak di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Saya ditugaskan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Addis Ababa, Ethiopia. Sebuah negara yang berada di bagian Timur benua Afrika. Jauh dari angan-angan bahwa saya akan menjadi seorang Diplomat yang akan hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya. Waktu kecil di Kalimantan dulu, yang kepikiran mungkin jadi tentara, karena serombongan tentara sering melintas di depan rumah sambil bernyanyi dan membawa senapan mereka, tampak gagah dan keren.
Nah kembali ke si bocah yang waktu itu berumur 3 tahun, tentu saja dia ikut pindah bersama orang tuanya. Si bocah kami masukkan ke salah satu sekolah swasta berbahasa Inggris di Addis Ababa yang kebetulan tidak jauh dari rumah, sebenarnya kami ingin memasukkan dia ke sekolah lainnya yang lebih besar namun waktu itu kelasnya sudah penuh, jadi agar dia terbiasa dengan lingkungan baru, kami putuskan agar dia sekolah dulu di situ sembari menunggu ketersediaan bangku di sekolah yang lebih besar tadi. Kenapa tidak dimasukkan ke sekolah Internasional? Maaf nak, Ayah sih maunya begitu, tapi apa daya biayanya sangat mahal.
ADVERTISEMENT
Seperti apa Ethiopia khususnya Addis Ababa? Sebelum berangkat memang saya sudah bertanya kepada pendahulu saya dan tentunya membaca berbagai informasi yang tersedia di internet, namun tetap saja ada berbagai kejutan. Saya akan bercerita tentang negara ini dalam tulisan saya berikutnya. Sekarang saya fokus dulu pada cerita kehidupan sehari-hari si bocah.
Di tempat tinggal barunya, si bocah mengalami hal-hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, misalnya makanan-makanan baru. Di Addis Ababa dia jadi doyan ngemil keju lembaran, ya tidak apa-apa sih, karena di sana keju seperti itu cukup banyak tersedia di supermarket walaupun merek favoritnya tidak selalu ada. Dia juga merasakan bagaimana seringnya mati lampu dan waktu itu sih pernah sampai mati lampu selama 3 hari non stop. Dia juga merasakan susahnya air bersih, dan beberapa kali menemani bapaknya mengambil air bersih bergentong-gentong dari KBRI (gedung KBRI berdiri tahun 1966 dan waktu itu boleh memiliki sumur air tanah)
ADVERTISEMENT
Kalau di Jakarta tidur “ditemani” AC, di Addis Ababa ya tidurnya “ditemani” pemanas karena kota ini sepanjang tahun suhunya dingin mengingat lokasinya di pegunungan yang tingginya sekira 2500 M di atas permukaan laut, dan kalau musim hujan sering hujan es yang dengan intensitas lebat. Si bocah girang sekali karena dia pikir itu salju.
Karena jumlah bioskop yang memutar film asing hanya ada 1 serta sangat terbatasnya taman bermain dan tempat permainan video, akhir pekan lebih banyak dihabiskan dengan pergi ke supermarket dan makan di restoran, tapi ya namanya anak kecil, kegiatan sederhana seperti itu saja sudah membuat dia tampak riang, apalagi jika siang harinya kami berenang di satu-satunya kolam renang untuk anak yang layak di sana, melihat dia meloncat penuh semangat ke kolam anak-anak dengan air hangat, saya jadi teringat semangat saya meloncat ke sungai di Kuala Kapuas.
ADVERTISEMENT
Setelah 3 tahun 2 bulan tinggal di sana, saya kembali bertugas di Jakarta sembari menunggu tugas berikutnya dan si bocah akan kembali merasakan hidup berpindah-pindah. Tanpa dia sadari dia mulai melangkah dalam garis kehidupan yang mirip bapaknya selagi kecil dengan cita rasa mancanegara. Semoga kota berikutnya lebih nyaman buat dia. Kebahagiaanmu segalanya bagiku.