Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Enigma Bumi dan Venus
7 Januari 2025 16:15 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Arga Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bisikan toa mushala memekakkan telingaku. Aku terbangun dari mimpi fanaku. Bersalam sapa dengan ayah dan ibuku yang menyeringai padaku di balik pijaran cahaya lentera yang menyipitkan mataku. Pelan lenyap meninggalkan aku dan adikku bersama isak tangis di pelupuh mata. Mengapa aku bisa bermimpi seperti itu? Itu bukanlah sebuah ramalan atau firasat karena aku hanyalah anak laki-laki biasa bukanlah seorang cenayang. Lalu, bagaimana dengan orang tuaku? Benar. Kedua orang tuaku telah di jemput ajal mereka sekitar 3 tahun yang lalu, menyisakan aku dan adikku di gubuk tua ini.
ADVERTISEMENT
Aku adalah seorang anak yatim piatu bernama Venus yang hidup sebatang kara bersama saudara kecilku, Bumi. Kami berdua tinggal di salah satu desa di Kota Cilacap lebih tepatnya Desa Karangsari. Kesibukanku sehari-hari adalah bersekolah dan bekerja serta mengurus Bumi. Aku duduk di bangku kelas 3 di SMP Negeri 2 Maos dan Bumi sekarang ini menempuh pendidikan kelas 4 di SD Negeri Karangsari 05. Pasti terbesit dalam benak kalian, "Bagaimana kamu bisa membiayai sekolah kamu dan adikmu?". Seperti yang aku utarakan tadi bahwa aku bekerja. Aku bekerja mengangkat kandi beras dan padi di salah satu pabrik beras kecil dekat Mushala Nailul Anwar dekat rumahku. Awal kali aku bekerja di situ, aku sempat tidak diperbolehkan bekerja di tempat tersebut karena perawakan dan usiaku yang terbilang masih anak-anak. Namun, berkat keras kepalaku dan iba pemilik pabrik akhirnya aku diperbolehkan bekerja di pabrik kecil itu hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Tiap kali arloji usangku menunjukkan pukul 03.00 WIB, aku terbangun dari mimpiku. Menghadapi semua realita dunia. Mencuci baju dan piring, menyapu dan mengepel lantai gubuk kami, menyiapkan sarapan, dan merebus air di tungku untuk mandi adikku, Bumi, menjadi rutinitasku setiap pagi. Setelah semua pekerjaan rumah selesai, aku bergegas untuk mandi dan bersiap mengenakan seragam putih biruku. Tidak terasa waktu menunjukkan pukul 04. 45 WIB. Menandakan bahwa aku harus membangunkan adikku dan menyuruhnya untuk lekas mandi. Setelah Bumi selesai mandi, aku membantu ia untuk bersiap mengenakan seragam putih merahnya. Setelah itu, kami bergegas mengambil air wudhu dan menunaikan kewajiban kami sebagai seorang muslim, mengingat adzan telah berkumandang di segala penjuru desa. Sesudahnya, kami memakai sepatu usang kami dan berangkat ke sekolah karena waktu sudah menunjukkan pukul 05.35 WIB. Kami berjalan beriringan menyusuri jalan desa disambut pancaran sang surya sambil bersenda gurau. Sambil berjalan, sesekali Bumi menanyakan hal-hal sepele namun dapat membuatku meneteskan air mata.
ADVERTISEMENT
"Mas, kira-kira ayah dan ibu pagi-pagi seperti ini sedang melakukan apa ya Mas?", tanya adikku.
"Eeuumm... Barangkali ayah dan ibu sedang duduk di rumah kita di surga sambil menyeruput secangkir teh sembari mengawasi kita, Bumi", jelasku sambil tersenyum tipis.
"Kenapa Allah menjemput ayah dan ibu begitu cepat Mas? Dan kenapa Allah membiarkan kita hidup seperti ini? Apa Allah tidak sayang kepada kita ya, Mas?" tanya adikku lagi.
"Bumi, tidak baik kamu bicara seperti itu. Takdir orang itu tidak ada yang tahu. Sama halnya dengan kematian ayah ibu dan kondisi kita saat ini. Semua ini sudah dituliskan pada suratan takdir kita. Yang harus kita lakukan sekarang adalah berdoa kepada Allah meminta ampunan atas dosa-dosa yang diperbuat oleh orang tua kita dan untuk kehidupan kita kedepannya.", jawabku.
ADVERTISEMENT
"Baik Mas. Bumi berjanji akan rajin beribadah dan belajar dengan sungguh-sungguh Mas.", tanggap adikku.
"Nah, seperti itu baru adiknya Mas.", ujarku sambil mengelus kepala adikku dan melanjutkan perjalanan ke sekolah adikku untuk mengantarnya dan selepas itu baru aku berjalan menuju almamaterku.
Sepulang sekolah, aku melangkah ke pabrik tempat aku biasa bekerja. Aku melakukan tugasku seperti biasanya. Mengangkat kandi beras ke atas mobil pick-up dari dalam gudang pabrik. Semua berjalan lancar, sampai suatu kemalangan menimpaku. Kakiku terkilir dan kandi yang aku panggul menimpa kakiku. Aku menjerit kesakitan. Saat itu juga orang-orang di sekitar langsung membawaku ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan tindakan medis lebih lanjut. Selesai pengobatan, aku diantar pulang oleh bos di pabrik tempat aku bekerja. Kemudian, ia perlahan berbicara padaku.
ADVERTISEMENT
"Venus, melihat kondisi kamu yang seperti ini, tidak memungkinkan bagi kamu untuk bisa bekerja di tempat saya. Maaf Venus, dengan sangat terpaksa saya harus memberhentikan kamu.", ujar Pak Jamal selaku bos di pabrik tersebut.
"T-tapi kenapa Pak? Saya masih sanggup bekerja Pak. Setelah dua sampai tiga hari pasti saya sudah baikan Pak. Tolong jangan pecat saya Pak.", jawabku sambil berlinangkan air mata.
"Dua sampai tiga hari katamu? Apa kamu tidak dengar perkataan perawat di puskesmas tadi? Dua bulan. Kamu itu bisa sembuh total setelah dua bulan. Apakah saya harus menunggu satu orang pekerja selama itu sedangkan diluar sana banyak orang yang mengantri untuk bekerja di tempat saya.", jelas Pak Jamal.
ADVERTISEMENT
"Saya dengar Pak. Tapi, bagaimana dengan kelangsungan hidup saya Pak? Bagaimana dengan adik saya. Bagaimana cara kami menyambung hidup kalau saya dipecat oleh Bapak seperti ini."
"Itu bukan urusan saya Venus. Itu urusan kamu. Sudahlah. Saya mau pergi, masih banyak pekerja yang harus saya lakukan."
Kemudian, Pak Jamal bergegas pergi meninggalkanku yang menangis diatas dipan bambu. Perasaanku saat itu campur aduk. Bagaimana caraku untuk menyambung hidupku dan adikku? Disaat aku menangis, terdengar ketukan pintu dan suara salam beriringan decitan bunyi pintu yang di buka. Iya. Itu adikku. Ia baru pulang dari rumah lapangan, bermain bersama teman-temannya. Aku pun langsung bergegas mengelap air mataku dan berlagak tidak terjadi apa-apa. Adikku yang melihat aku tidur di dipan dan melihat kakiku yang sudah diperban, ia langsung mengintrogasiku dengan berbagai pertanyaan yang ia lontarkan sembari matanya berlinangkan air mata. Aku menjelaskan dengan lembut apa yang terjadi dan mengatakan aku baik-baik saja. Akan tetapi, aku tidak berani mengatakan perihal aku dipecat dari pekerjaanku. Setelah mendengar penjelasanku, Bumi berangsur tenang dan bangkit memelukku.
ADVERTISEMENT
Tidak terasa dua hari lagi Bumi menginjak usia 10 tahun. Dan kakiku tidak lekas sembuh bahkan semakin memburuk tiap harinya. Seringkali aku menggeram kesakitan berharap rasa sakit ini cepat usai. Karena kondisi kakiku, aku terpaksa cuti sekolah. Aku kembali meneteskan air mataku. Aku menangis bukan karena rasa sakit pada kakiku. Melainkan karena aku bingung bagaimana ulang tahun adikku nanti. Sedangkan sudah jauh-jauh hari adikku meminta disaat hari ulang tahunnya ia dibelikan kue ulang tahun yang seperti teman-temannya serta membeli es krim dan memakannya bersama denganku sambil duduk di tepi sungai menatap sendunga langit sore. Aku sudah berjanji akan menuruti permintaan adikku itu. Namun, dengan kondisiku yang seperti ini sekarang, bagaimana bisa aku mengabulkan permintaan adikku.
ADVERTISEMENT
Besok adalah ulang tahun adikku. Aku berusaha mencari pekerjaan ditengah rasa sakit yang ku alami. Ruko demi ruko di pasar aku jajahi demi mendapat satu pekerjaan. Namun, hasilnya nihil. Sampai tengah hari bolong aku belum mendapatkan satu pekerjaan pun. Mereka yang aku mintai pekerjaan beralasan aku tidak bisa bekerja karena kondisi fisiku. Aku termenung di bawah pohon randu depan pasar. Memikirkan cara agar aku bisa mendapatkan apa yang adikku inginkan di hari ulang tahunnya besok. Ditengah kebingunganku, terbesit dalam benaku suatu jalan keluar. Aku teringat pesan ibuku sebelum meninggal dulu. Aku segera bergegas pulang terpincang-pincang menahan rasa sakit. Sesampainya di rumah, aku menggeledah isi lemari peninggalan ibuku yang telah lama tidak aku buka. Benar saja, di dalam lemari itu ada kotak merah berisi perhiasan. Tanpa pikir panjang aku segera menuju toko emas dan menjual perhiasan tersebut. Memang perhiasan tersebut tidak seberapa. Tapi setidaknya cukup untuk memenuhi janjiku kepada Bumi. Sepulang dari menukar perhiasan mendiang ibu kami, aku segera membeli kue yang Bumi inginkan dan tidak lupa membeli lilin angka yang menunjukkan usia Bumi besok. Setelah itu, aku bergegas pulang ke rumah.
ADVERTISEMENT
Tidak tetasa waktu menunjukkan pukul 23. 59 WIB. Aku bangun dari tidurku dengan bersandar pada tongkat sederhana yang aku buat untuk menyangga tubuhku dan berusaha mencari korek api untuk menyalakan lilin diatas kue ulang tahun Bumi. 5...4...3...2...1..."Selamat Ulang tahun, Bumi!", kata yang terucap dari bibirku saat waktu menunjukkan pukul 00.00 WIB. Namun, Bumi tidak lekas membuka selimutnya dan bangun. Kemudian aku mengucapkannya sekali lagi, kali ini lebih keras. Dan sama saja, Bumi tidak bergerak dari posisinya. Karena aku penasaran, akhirnya aku menggoyangkan tubuh adikku dan seraya membuka selimut yang melekat padanya. Alangkah terkejutnya aku saat selimut yang melekat pada tubuh adikku terbuka sempurna. Aku melihat wajah adikku yang sudah pucat dan membiru serta suhu badannya sangat dingin. Kala itu aku sangat takut dan panik. Aku berusaha membangunkan adikku, aku terus menggoyangkan tubuh adikku sembari memanggil namanya dan menyuruhnya bangun serta mengatakan bahwa aku membawakan apa yang ia inginkan. Aku terus berusaha sekuat tenaga. Namun, setelah aku tidak sengaja bersimpuh dan memeluk tubuh adikku, aku sudah tidak bisa mendengar detak jantungnya lagi. Aku menangis sejadi-jadinya sambil memeluk tubuh kaku adikku. Aku berteriak memanggil nama adikku di tengah heningnya malam. Aku tidak bisa menerima kenyataan yang berada di depanku. Sampai tak sadar, tiba-tiba aku jatuh pingsan.
ADVERTISEMENT
Keesokan paginya, mataku mulai terbuka karena sorot cahaya mentari menembus lubang atap rumahku. Aku terbangun diantara orang-orang berbaju hitam. Mereka semua sedih dan menangis. Aku melihat sekeliling isi rumahku. Pandangku tertuju pada kain hijau yang menyelimuti rangka besi berisikan tubuh kaku adikku yang terbungkus kain putih. Aku kembali menangis dan beranjak ingin lari menuju adikku. Brakkk.....!!! Aku terjatuh karena luka di kakiku yang belum sembuh. Sampai akhirnya aku melihat keranda yang di dalamnya ada tubuh kaku adikku di bawa pergi selangkah demi langkah menjauh dari diriku. Aku menangis, meneriakkan nama adiku seraya mengulurkan tangan tanda ingin meraih tangan adikku. Rombongan yang membawa jasad adikku mulai tidak terlihat oleh retina mataku. Aku mulai bertanya dalam benakku.
ADVERTISEMENT
"Bagaimana aku bisa hidup sendiri? Kenapa aku selalu di tinggalkan? Apakah setidak pantas itu untuk ku bahagia. Apakah aku tidak pantas mempunyai keluarga yang utuh.".
Dari belakangku, datang dekapan hangat dari tetangga dekat rumahku yang datang melayat. Dalam kehangatan itu aku tetap saja merasa dingin, hampa, dan sendiri. Memikirkan bagaimana hidupku yang sudah kehilangan arahnya.
Live Update
PSSI resmi mengumumkan Patrick Kluivert sebagai pelatih baru timnas Indonesia, Rabu (8/1). Pelatih asal Belanda ini akan menjalani kontrak selama dua tahun, mulai 2025 hingga 2027, dengan opsi perpanjangan kontrak. Kluivert hadir menggantikan STY.
Updated 8 Januari 2025, 17:53 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini