Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hidup Bahagia Bukan Soal Menang dan Kalah
29 Desember 2021 19:49 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Argya D Maheswara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Soal menang dan kalah memang suatu tatanan yang paling rendah dalam kehidupan, kalau kita bisa melihat sekeliling kita, karakter masyarakat kita hari ini berada dalam tatanan itu. Tatanan itu sudah masuk ke dalam semua sisi kehidupan, bahkan menjadi syarat hidup bahagia. Dalam berpendidikan pun kita ada dalam tatanan menang dan kalah. Berbagai cocok tanam rasa ambisi yang ditanamkan entah dahulu kala oleh siapa, itu sangat berpengaruh pada peradaban yang terjadi di hari ini.
ADVERTISEMENT
Sejak kecil, banyak anak sudah dibunuh karakternya, dihabisi mentalnya, dimanipulasi sedemikian rupa cara pandangnya. Di mana itu semua membuat anak-anak pada hari ini tidak memiliki kepercayaan pada dirinya sendiri. Maka dari itu tidak heran jika hari ini kita saling sikut-menyikut dalam memperebutkan segala sesuatu yang alasannya adalah realitas materialisme. Apalagi soal hidup bahagia, rasanya sangat sulit untuk menggapai hal tersebut dengan tatanan yang sekarang ada.
ADVERTISEMENT
Sedihnya lagi, untuk bekerja saja kita dituntut untuk menjatuhkan orang lain yang tidak kompeten, padahal kompetensi seseorang tidak semuanya diakui dalam tatanan peradaban ini. Kita sudah telanjur dikelompokan ke dalam botol yang isinya adalah urusan fakultatif dan itu hanyalah untuk memenuhi kebutuhan industri. Dalam urusan menang kalah yang sejak awal sangat mengkhawatirkan ini melahirkan tatanan baru yaitu asas kompetisi, di mana segala hal di dalam tatanan kehidupan akan merujuk pada suatu perlombaan.
Mari kita bayangkan, kalau dalam urusan pendidikan saja kita sudah dididik untuk menjatuhkan dan bersaing, bagaimana kelanjutan dari peradaban? Akankah kita ke depan menjadi lebih mementingkan kemakmuran daripada keadilan? Jawabannya nanti akan terjawab sendiri oleh waktu. Hanya waktulah yang mampu menampar peradaban manusia akan hal ini.
ADVERTISEMENT
Andaikata suatu saat nanti pola pikir soal menang dan kalah ini sudah menjadi budaya yang melekat, maka ini akan merembet terhadap budaya kita yang ke depan akan lebih menonjolkan soal kaya dan miskin. Ketimpangan sosial akan makin nyata. Para pemenang akan berduduk santai dan bersenang ria dalam konsesi kehidupan, tetapi mereka yang kalah entah dikalahkan atau sengaja kalah akan tetap berada di bawah, diinjak-injak dan dirampas.
Hal yang sekarang harus ditekankan adalah tentang bagaimana kita membangun peradaban yang menyongsong menang dan kalah. Namun objeknya adalah pribadi masing-masing, bahwasanya yang pertama harus dikalahkan adalah ego dari kita masing-masing. Itu semua kita lakukan agar ambisi kita tidak menjadi pisau yang sangat tajam bagi orang lain.
ADVERTISEMENT
Terminologi lainnya untuk urusan menang dan kalah adalah sebisa mungkin kita menjadi pribadi tanpa musuh, tanpa keirian, tanpa kedengkian dan segala yang memicu kecemburuan sosial. Soal menang dan kalah dari budaya saling menjatuhkan ini bukan sebatas kita yang menyerang duluan, atau menunggu diserang baru kita membalas supaya menang. Melainkan bagaimana kita membangun diri kita agar tidak ada satu pun yang mau menyerang kita, tidak ada satu pun yang ingin mengalahkan kita, itulah kesaktian yang tinggi. Ketika upaya itu berhasil maka kamu sudah terbebas dari urusan menang dan kalah yang bukan dari diri kamu. Dari situ lah walaupun kamu menang, kamu tidak mengalahkan siapa pun.