Konten dari Pengguna

Jalan Cak Nun dari Penyair yang Menurunkan Soeharto hingga Jalan Sunyi Maiyah

Argya D Maheswara
Jurnalis sekaligus warga Jakarta yang percaya hidupnya abadi selama ia menulis.
27 Mei 2022 17:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Argya D Maheswara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Emha Ainun Nadjib (Foto: Kumparan/Argya D. Maheswara)
zoom-in-whitePerbesar
Emha Ainun Nadjib (Foto: Kumparan/Argya D. Maheswara)
ADVERTISEMENT
Dalam dunia sastra, kebudayaan, spiritual bahkan sampai kancah politik nasional tentu kita tidak asing dengan nama besar Emha Ainun Nadjib. Emha sendiri akrab disapa dengan sapaan Cak Nun atau Mbah Nun terutama bagi para jamaah Maiyah yaitu sebuah forum yang digagasnya lebih dari dua puluh tahun belakangan.
ADVERTISEMENT

PSK, Umbu Landu Paranggi dan dunia kesusastraan

Nama Cak Nun sendiri mungkin pada awalnya erat kaitannya dengan dunia kesusastraan dimana ia adalah bagian dari sebuah perkumpulan penyair muda di Malioboro, Yogyakarta yaitu Persada Studi Klub (PSK). PSK sendiri merupakan sebuah klub yang berisi kumpulan penyair yang pada akhirnya melahirkan penyair-penyair besar seperti Linus Suryadi, Iman Budhi Santosa, Achmad Munif dan Cak Nun sendiri yang kala itu masih duduk di bangku SMA,
PSK sendiri diasuh oleh seorang penyair misterius bernama Umbu Landu Paranggi yang mana sampai akhir hayatnya Umbu memiliki kedekatan yang cukup serius dengan Cak Nun sebagai guru dan murid maupun sebagai dua sastrawan yang bersaudara, Bahkan Cak Nun sendiri hanya mengakui satu guru dalam hidupnya yaitu Umbu Landu Paranggi. Kedekatan ini juga sangat romantis, banyak hal unik di antara mereka berdua semisal Umbu yang selalu berpuasa di tanggal 27 yang mana di tanggal 27 tersebut Cak Nun lahir, tepatnya 27 Mei 1953.
ADVERTISEMENT
Kepandaiannya dalam menulis puisi dan sajak di PSK inilah yang kelak juga membawa Cak Nun mendalami dunia kepenulisan. Cak Nun sendiri juga sempat menjadi wartawan disamping jejaknya dalam kepenulisan fiksi berupa cerita, novel dan puisi. PSK inilah yang dapat dikatakan sebagai “kawah candradimuka” yang menempa Cak Nun setelah sebelumnya Cak Nun hidup di kerasnya kehidupan pesantren Gontor sebagai santri. Bisa dikatakan, ini merupakan fase penempaan kedua bagi Cak Nun sendiri.

Dari Santri yang Memberontak

Kehidupannya sebelum fase sastrawan bisa dikatakan sebagai kehidupan yang cukup keras juga karena Cak Nun berada di lingkungan pesantren yang ketat. Disamping itu, dari latar belakang keluarga, Cak Nun juga merupakan orang yang berada di keluarga yang religius bahkan sebagai keturunan seorang Kiai penting di Jawa yang merupakan teman dari pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari.
ADVERTISEMENT
Sebagai santri kala itu, Cak Nun sendiri merupakan santri yang idealis. Hal ini sangat tercermin hingga sekarang dimana Cak Nun dapat digambarkan sebagai sosok yang independen dan berdaulat atas dirinya sendiri. Cak Nun merupakan tipe manusia yang sangat merdeka maka dari itu Cak Nun juga memiliki cerita uniknya sendiri kala menjadi santri.
Fakta menariknya adalah Cak Nun merupakan santri yang dikeluarkan dari Gontor karena memberontak. Sejatinya pemberontakan ini bukanlah sebuah kesalahan Cak Nun muda kala itu. Cak Nun mengumpulkan masa untuk mengadakan sebuah demonstrasi atas suatu kejadian yang sejatinya merupakan ketidakadilan atas dirinya. Hal imi merupakan gambaran bagaimana Cak Nun gigih memperjuangkan fakta walau menentang sebuah hirarki.
Selain dari dunia pesantren, idealisme Cak Nun juga terasa ketika ia menjadi bagian aktif dari OSIS SMA Muhammadiyah I Yogyakarta. Setelah itu ia juga sempat melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Sayangnya Cak Nun tidak menamatkan perkuliahannya tersebut karena empat bulan setelah menjadi mahasiswa, Cak Nun mengalami musibah yaitu ayahnya yang meninggal karena sebuah kecelakaan. Dimana kejadian tersebut cukup memukul Cak Nun dan saudara-saudaranya hingga memaksa mereka mencari penghidupan sendiri.
ADVERTISEMENT

Seni Teater sampai Kiai Kanjeng

Selain di dunia kesusastraan, Cak Nun juga dikenal sebagai seniman yang aktif dalam ragam teatrikal. Hal ini bisa ditelisik jauh kedalam fase dimana Cak Nun menjadi penggagas penting dari sebuah klub musik-puisi Dinasti yang berawall dari festival Dipowinatan. Disinilah Cak Nun bertemu dengan banyak orang yang mempengaruhi dunia keseniannya hingga saat ini seperti Toto Raharjo sampai Nevi Budianto.
Pada awalnya klub musik-puisi ini menawarkan konsep baru dalam pembacaan sebuah puisi. Dimana dalam hal ini, puisi tidak diubah menjadi lagu melainkan dibacakan sebagaimana sebuah cerita dengan iringan gamelan yang menyebabkan gaya ini disebut musik-puisi karena puisi yang dibacakan disertai musik.
Seiring berjalannya waktu, klub musik-puis Dinasti juga meluas fokusnya khususnya di bidang teatrikal. Diana dalam hal ini sosok Nevi Budianto sangat berperan penting. Peran Cak Nun yang besar disini adalah dalam ide dan gagasan dari berbagai pentas teatrikal dari teater Dinasti. Jika pada masa klub musik-puisi Dinasti ada sebuah karya Cak Nun berjudul “Nyanyian Gelandangan” yang melegenda bagi klub musik-puisi Dinasti, maka di Teater Dinasti,banyak sekali naskah drama yang menarik dan cukup menggelitik, contohnya dalam “Tikungan Ibis”.
ADVERTISEMENT
Berjalannya proses teatrikal ini juga secara berkeliling. Di akhir cerita dari teater Dinasti, kita perlu mengetahui bahwa pada akhirnya beberapa toko di teater Dinasti menciptakan sebuah kelompok musik yang masuk ke berbagai genre dengan nada diatonis pada gamelan. Ini kembali lagi merupakan karya modifikasi gamelan oleh Nevi Budianto. Kelompok ini sendiri biasa dikenal dengan kelompok musik Pak Kanjeng, namun seiring berjalannya waktu kelompok ini berubah namanya menjadi Gamelan Kiai Kanjeng yang sampai hari ini sangat eksis menemani kegiatan Cak Nun saat maiyahan.
Dalam gejolak reformasi di tahun 1998 yang mengakibatkan turunnya presiden Soeharto dari rezim, mungkin ada seorang tokoh yang terlupakan dibalik prosesnya. Ya! Cak Nun merupakan tokoh penting dan berpengaruh dalam reformasi yang terjadi di tahun 1998. Sayangnya Cak Nun menarik diri dari media massa sehingga banyak orang tidak tau fakta-fakta penting dari reformasi 1998.
ADVERTISEMENT
Jika diulas dalam maka bisa dikatakan bahwa Cak Nun lah alasan Soeharto untuk mundur.
Mengapa? Kita dapat telaah kaitan Cak Nun dan turunnya Soeharto jika kita mengurutkan kronologi reformasi 1998. Jika reformasi hanya sekadar demonstrasi mahasiswa saat itu, mungkin itu tidak dapat mengetuk hati Soeharto untuk turun karena Soeharto pun sebenarnya punya kekuatan untuk mengatasi kerusuhan dan instabilitas saat itu.
Maka saat itu ada sebuah kelompok intelektual, agamawan dan golongan tua yang notabene adalah tokoh nasional yang merumuskan solusi dan jalan keluar dari sebuah proses panjang reformasi. Dimana saat itu Cak Nun adalah salah satunya bersama Gus Dur dan Nurcholis Madjid (Cak Nur). Saat itu mereka merumuskan berbagai macam metodologi yang akan dilaksanakan ketika Soeharto turun dari kursi kepresidenan.
ADVERTISEMENT
Solusi jalan keluar ini pada akhirnya menghasilkan sebuah surat yang pada 19 Mei 1998 dikirim kepada Soeharto. Surat ini sendiri dirumuskan oleh Cak Nun bersama Nurcholis Madjid (Cak Nur) yang merupakan bagian dari sepuluh tokoh nasional yang pada momen turunnya Soeharto diundang ke Istana.
Pada saat itu rumusan Cak Nun disetujui oleh Soeharto yang menyebabkan Soeharto legowo untuk turun. Hal ini dimulai ketika Soeharto menelpon Cak Nun melalui istrinya, Novia Kolopaking pada 20 Mei 1998 dan memberi pesan “Kalau begitu saya mundur cak”. Jadi secara tidak langsung, prosesi turunnya Soeharto sudah terjadi pada malam 20 Mei 1998.
Konsep reformasi yang dirumuskan Cak Nun sendiri merupakan konsep reformasi total yang disetujui Soeharto. Dimana dalam konsep ini hal yang harus dilakukan setelah Soeharto mundur adalah pembubaran MPR dan DPR beserta Wakil Presiden yang tidak langsung naik menggantikan jabatan Presiden. Fungsi dan perannya digantikan oleh komite reformasi yang terdiri dari 40-50 orang dimana mereka mengesahkan MPRS dan DPRS guna pemilihan Presiden secepat-cepatnya dalam enam bulan sampai satu tahun.
ADVERTISEMENT
Soeharto sangat menyetujui konsep ini, jadi tak heran rasanya jika ia kecewa kala ia turun lalu Habibie naik menggantikannya sebagai Presiden. Karena, konsep reformasi yang Soeharto pahami tidak demikian. Itu sebabnya dalam 55 kali percobaan Habibie menemui Soeharto pasca reformasi, Soeharto selalu menolaknya bahkan hingga akhir hayatnya.
Kekecewaan juga terasa di dalam benak Cak Nun, ia merasa reformasi yang ia perjuangkan tidak total, Hal ini membuat Cak Nun mengambil sebuah keputusan besar yang terasa hingga saat ini yaitu mundur dari media nasional sehari setelah Soeharto turun yaitu pada 22 Mei 1998.
Saat itu Cak Nun lebih memilih berkeliling Jakarta bersama grup “Mini Kiai Kanjeng” dengan bersholawat dan berdiskusi bersama masyarakat guna menurunkan tensi ketegangan yang ada. Jika ditelisik lebih jauh hal-hal seperti ini juga yang mendorong Cak Nun ke Jakarta guna menyelesaikan huru-hara yang terjadi menjelang reformasi.
ADVERTISEMENT
Di Jombang, beberapa hari sebelum reformasi, tepatnya di forum Padhangmbulan, Cak Nun beserta Ibunya serta jamaah Padhangmbulan saat itu mengadakan rentetan doa bersama bahkan merumuskan metodologi-metodologi guna menyelesaikan permasalahan besar di Jakarta. Bisa dikatakan bahwa inilah embrio dari forum Maiyah yang berlangsung sampai hari ini.
Dengan mundurnya Cak Nun dari media nasional, bisa dikatakan Cak Nun menapaki “Jalan Sunyi”. Hal ini membuatnya fokus kepada kehidupan masyarakat akar rumput dan menjadi titik awal dari sebuah konsep Maiyah. Maiyah sendiri berasal dari sebuah kata dalam bahasa arab yaitu Ma’iyatullah yang artinya orang-orang yang berkumpul bersama Allah.
Hal yang dilakukan Cak Nun di Jakarta juga menjadi embrio dari sebuah komunitas Maiyah yang besar di Jakarta yaitu Kenduri Cinta. Gelombang semacam ini juga tidak hanya dirasakan di Jakarta melainkan banyak bibit-bibit Maiyah yang tumbuh di berbagai kota di seluruh penjuru Indonesia khususnya pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Di Surabaya ada Bangbang Wetan, Semarang memiliki Gambang Syafaat, Yogyakarta sebagai basis Maiyah memiliki Mocopat Syafaat dan masih banyak lainnya. Hal ini berlangsung hingga hari ini dan sangat menarik banyak orang.

Maiyah sebagai Ruang Multidimensi

Forum Kenduri Cinta sebagai wadah Maiyah dii Jakarta. (Foto: Kumparan/Argya D. Maheswara)
Jika dipahami lebih dalam, mungkin kita dapat mendeskripsikan Maiyah sebagai sebuah forum yang lengkap. Hal ini membuat Maiyah banyak menarik antusias dari generasi muda hari ini. Walau Maiyah sering disebut sebagai pengajian namun sejatinya Maiyah bisa juga disebut sebagai forum seni, forum intelektual dan banyak hal lainnya.
Komparasi antara maiyah dengan forum-forum intelektual dan spiritual lainnya adalah kelengkapan. Mengapa kelengkapan? Karena maiyah menawarkan multidimensional yang lengkap. Di maiyah kita diajak menyelam ke berbagai dimensi bahkan yang sangat mainstream sekaligus.
ADVERTISEMENT
Ketika duduk di suatu forum maiyah, orang pada awalnya akan mengira bahwa ia sedang berada di dimensi spiritual. Namun seiring berjalannya waktu ia akan sadar "Masa seperti ini pengajian? Tapi ya juga mengaji".
Kalau musik-musik berbagai genre dan puisi dikumandangkan, beberapa orang di awal juga akan mengira mereka ada di dimensi kegembiraan. Namun dengan waktu yang berjalan, ia akan sadar juga bahwa "Loh masa acara seni seperti ini? Tapi ya banyak hiburannya".
Apalagi kalau Cak Nun dan beberapa marja' maiyah atau siapapun orang maiyah di forum sedang mengemukakan pendapat dan berdiskusi dengan bahasan yang cukup tinggi, pasti beberapa orang di awal langsung merasa bahwa dia ada di dimensi intelektual. Namun, berlalunya diskusi dan ragam pembahasan akan membawanya pada sebuah pertanyaan "Ini seperti forum intelektual, tapi kok bebas?".
ADVERTISEMENT
Maka itulah yang dihadirkan maiyah, multidimensional yang lengkap menjadi salah satu daya tarik untuk maiyah. Maiyah juga tidak menggembar-gemborkan ragam forum dan gagasannya untuk ragam urusan, namun ragam orang-lah yang datang berbondong-bondong dengan berbagai urusan guna dicari solusinya di maiyah bersama-sama.
Siapa yang bisa mengumpulkan belasan bahkan puluhan ribu orang dari berbagai latar belakang untuk duduk delapan jam dengan tenang mencerna berbagai bahasan yang dijadikan bahan untuk belajar bersama. Hanya Tuhan.