Konten dari Pengguna

Manusia, Kebebasan, Kesetiaan, dan Batasnya

Argya D Maheswara
Jurnalis sekaligus warga Jakarta yang percaya hidupnya abadi selama ia menulis.
6 Juli 2023 6:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Argya D Maheswara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cincin sebagai lambang ikatan. (Foto: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Cincin sebagai lambang ikatan. (Foto: Unsplash)
ADVERTISEMENT
Saya dibuat bingung ketika saya dihadapkan dengan berbagai peristiwa di sekitar yang membuat saya kehilangan percaya terhadap manusia. Memang betul, banyak yang sudah mewanti-wanti saya dari jauh hari agar tidak terlalu percaya kepada manusia. Namun belakangan ini saya baru merasakan tamparannya.
ADVERTISEMENT
Mulai dari melihat pasangan yang berpisah entah yang selama ini terlihat baik maupun buruk, pengkhianatan individu maupun kelompok terhadap loyalisnya sampai melihat ambisi manusia yang saya kira tujuannya kini adalah kebebasan tanpa batas.
Setelah saya pikir-pikir, memang kebebasan apa yang belum didapat manusia sejak lahir? Rasanya tidak ada. Sebab menurut saya, sejak lahir manusia sudah dilepas oleh Tuhan untuk bebas memutuskan segala sesuatu yang dampaknya pada diri manusia itu sendiri karena sejatinya hidup adalah pilihan kata para manusia bijak.
Setelah makin bingung dan hampir setengah pikiran saya hanya memikirkan “mengapa manusia ingin bebas?” sampai “apa konsep kesetiaan di dunia modern sudah tidak relevan?” saya bagi saja kebingungan ini kepada seorang sahabat saya, Monsieur Caesar. Saya memanggilnya “Monsieur” karena saya pertama kenal dia ketika kursus bahasa Prancis di Pusat Kebudayaan Prancis lima tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Monsieur Caesar dan saya sangat banyak diskusi tentang manusia, ruang, waktu, kuliner, komedi, sampai apapun itulah. Bahkan mungkin yang tidak pernah didiskusikan manusia normal pada umumnya. Dalam membagi kebingungan saya kepada Monsieur Caesar, saya ajak saja dia untuk menghabiskan malam di sekitar jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat.
Ilustrasi Pernikahan. Foto: Edwin Hadi Prasetyo/Shutterstock
Obrolan itu saya mulai dengan menanyakan kehidupan dia belakangan. Wajar saja karena saya sudah sekian purnama tidak melihat wajah kusamnya. Namun, belum sempat saya menanyakan kebingungan saya ke Monsieur Caesar, dia bertanya duluan.
“Belakangan gue bingung sama konsep setia. Apa sifat dasar manusia itu gak bisa menetap pada seseorang yang sama?”
Wah, santapan lezat bagi saya menyambut pertanyaan Monsieur Caesar karena kebingungan saya juga terkait pertanyaannya. Dari situ justru saya yang menjawab. Saya jawab dengan pertanyaan kembali.
ADVERTISEMENT
“Manusia emang dinamis. Tapi bukannya manusia dikasih akal buat tau batas dirinya? Toh, manusia tak akan bisa ngambil semua yang dia mau.”
Diskusi saya dan Monsieur Caesar diawali dengan kebingungan dari pertanyaan tadi. Saya berusaha teguh pada pendirian saya bahwa manusia diciptakan bebas, namun akal memberi limitasi dari segala hal yang sejatinya dapat dilakukan manusia.
Misal, jika saya katakan bahwa sejatinya semua laki-laki itu “ingin” bercinta dengan semua perempuan indah yang ia lihat, apakah seorang laki-laki “harus” bercinta dengan semuanya?
Saya dan Monsieur Caesar sepakat untuk membedakan “keinginan” dan “keharusan” dari contoh yang saya tawarkan. Hasilnya, jika saya implementasikan cara pandang bahwa keinginan dan keharusan adalah dua hal yang berbeda, mana yang dominan dalam masyarakat modern?
Ilustrasi Pernikahan. Foto: Shutter Stock
Saya melihat masyarakat modern cenderung menuruti “keinginan”, entah karena lingkungan saya yang itu-itu saja atau memang realita. Tapi, saya tidak tertutup dengan pendapat sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Namun, Monsieur Caesar sebagai teman diskusi saya malam itu juga bersepakat atas pandangan saya. Artinya, saya tidak sendiri dalam merasakan kebingungan ini.
Monsieur Caesar juga menanyakan soal konsep poligami dalam muslim. Hasilnya saya dan Monsieur Caesar menemukan bahwa sejatinya Tuhan bagi orang muslim tidak memerintahkan poligami jika tidak ada sesuatu yang mendesak. Artinya, manusia dalam konsep islam digambarkan sebagai makhluk Tuhan yang seharusnya setia.
Dalam Islam, memang ada ayat yang memperbolehkan laki-laki untuk menikahi lebih dari satu perempuan sebagaimana dalam surat An-Nisa ayat 3 dalam Al-Qur'an.
Namun, Tuhan juga memberi syarat.
Ilustrasi Pernikahan. Foto: Eddie Cheever/Shutterstock
Tidak hanya itu, tapi ada satu lagi kata Tuhan bagi muslim yang berkaitan dengan dua hal di atas yang saya rasa dapat menjadikan dasar bahwa manusia dikonsepkan untuk setia pada satu orang.
ADVERTISEMENT
Menurut Monsieur Caesar, konsep ini juga selaras dengan apa yang dikenalnya selama ia dibesarkan dalam keluarga Katolik, di mana manusia yang bersatu hanya dapat dipisahkan oleh maut.
Namun, karena kebingungan saya dan Monsieur Caesar berkenaan dengan manusia modern yang selalu ingin “bebas tanpa batas” dengan standar kepuasan yang sangat duniawi, saya bingung bagaimana orang yang tidak kenal agama dan konsep ketuhanan dapat setia? secara, dua limitasi yang sebelumnya merupakan “dogma” agama tertentu.
Lantas, saya bertanya-tanya. Tanpa agama, akankah manusia tau batasnya dan berlaku setia? Dengan enteng Monsieur Caesar mengakhiri kebingungan saya.