Konten dari Pengguna

Melancong Lintas Abad ke Pasar Baru

Argya D Maheswara
Jurnalis sekaligus warga Jakarta yang percaya hidupnya abadi selama ia menulis.
10 Juli 2023 18:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Argya D Maheswara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pasar Baru. (Foto: Argya D. Maheswara)
zoom-in-whitePerbesar
Pasar Baru. (Foto: Argya D. Maheswara)
ADVERTISEMENT
Sore itu kala hujan turun rintik-rintik dengan romantis dan cuaca mendukung teh hangat untuk menemani, tiba-tiba ibu mengajak saya melancong ke suatu kawasan yang dia bilang merupakan tempat nostalgia. Kawasan tersebut merupakan sebuah pasar yang sudah berdiri sejak abad 19, saya kira banyak orang mengenalnya dengan Pasar Baru.
ADVERTISEMENT
Wajar saja ibu mengajak saya ke kawasan tersebut. Dia mengaku menghabiskan masa mudanya sebagai “Anak Pasar Baru” karena dia sempat mengenyam pendidikan sekolahnya di Sekolah Menengah Teknologi Kerumahtanggaan (SMTK) yang berada tepat di seberang Pasar Baru yang kini sudah menjadi SMK Negeri 27 Jakarta.
“Ibu itu dulu anak Pasar Baru, hari-hari Pasar Baru. Sekolahnya kan dulu di depan situ, kalo cari makan ya ke Pasar Baru sama temen-temen,” ungkap ibu saya.
Hujan rintik-rintik belum usai. Namun ibu saya sangat bersemangat, akhirnya saya berangkat berdua dengan sepeda motor laksana anak dan ibu yang sangat harmonis. Sesampainya di depan gerbang Pasar Baru, hal yang pertama kali saya lihat adalah sebuah gapura kokoh bertuliskan “Pasar Baru 1820” yang membuat saya baru tersadar usianya sudah hitungan abad.
ADVERTISEMENT
“Wah, dua abad ya usianya. Tapi kok masih kokoh, eksis dan banyak anak muda bahkan masih menggemari suasananya,” tutur saya dalam hati.
Setelah diamati, gapura Pasar Baru sendiri sangat unik karena berhasil memadukan gaya Eropa abad 19 dengan China klasik. Susunan batu yang tersusun mewah bernuansa Eropa ditambah atap bergaya China membuat siapa pun yang memasuki kawasan Pasar Baru seperti berwisata lintas abad ke masa Hindia-Belanda di abad 19.
Wajar saja jika ada penggabungan unsur arsitektur China dalam gapura sebagai Landmark Pasar Baru karena etnis Tionghoa sendiri sudah melakukan aktivitas perdagangannya di kawasan tersebut jauh sebelum Pasar Baru resmi berdiri.
Memasuki Pasar Baru lebih dalam, saya juga disambut jejeran toko alat musik, sepatu, kacamata sampai tekstil yang masih eksis berdiri hingga kini. Bahkan, Ibu saya sempat bernostalgia dengan beberapa toko yang pernah ia kunjunginya ketika ia kecil seperti toko sepatu Gabino dan optik Tjun Lie yang kini merupakan optik Seis Pasar Baru.
ADVERTISEMENT
“Ibu dulu kalo beli sepatu sama akung ya di sini, Gabino. Ini ada dari Ibu kecil, itu optik Seisnya juga ada dari Ibu kecil. Ini yang pertama, dulu namanya optik Tjun Lie,” kenang Ibu saya.
Selain toko sepatu Gabino dan optik Tjun Lie, ada keunikan lain di Pasar Baru yaitu jajaran toko tekstil di sana. Rata-rata toko tekstil di Pasar Baru merupakan milik dari pengusaha asli India.
Jika sebelumnya pada gapura Pasar Baru perpaduan hanya ada antara Eropa dengan Cina maka ketika saya menyelami lebih dalam, saya mendapati kawasan multikultural yang sudah eksis selama dua abad.
Pedagang Uang Kuno Keturunan India di Pasar Baru. (Foto: Argya D. Maheswara)
Bahkan ketika Ibu saya mengajak untuk mengelilingi lebih luas kawasan Pasar Baru, saya mendapati keberadaan Kuil Sikh yang merupakan tempat ibadah penganut Sikh keturunan India. Selain itu, ada juga Klenteng Sin Tek Bio yang sudah berdiri sejak 1698, jauh sebelum Pasar Baru berdiri.
ADVERTISEMENT
Motor saya pun berhenti di depan “Go-Lo”, ibu saya yang memintanya. Saya pun bingung itu tempat apa, ketika masuk rupanya toko serba ada dengan ragam barang diskon di dalamnya.
“Ke Go-Lo aja ya, ada yang mau Ibu cari di sana,” pinta ibu saya.
Memang, kali ini bukan kali pertama saya mengunjungi Pasar Baru. Saya sendiri terhitung sangat sering mengunjungi Pasar Baru guna kebutuhan fotografi khususnya servis kamera karena saya memiliki mekanik kamera kepercayaan di sana. Namun, saya baru pertama kali tau keberadaan Go-Lo.
Saya lebih sering berkunjung ke Pasar Baru untuk memotret. Bagi saya Pasar Baru menyimpan keotentikan yang tidak termakan zaman. Banyak hal-hal yang saya tidak dapat di zaman saya namun masih eksis di sana. Sangat menarik untuk mengabadikannya lewat sebuah foto.
ADVERTISEMENT
Sebelum menyudahi perjalanan saya di Pasar Baru bersama Ibu saya, ia sempat mengajak saya untuk makan bakmi di sebuah gang yang sampai zaman ini pun sangat dikenal. Bakmi Gang Kelinci namanya, saya seakan terbawa kembali ke masa kecil saya ketika Ibu sering mengajak saya kesini.
“Dulu pas kecil, Ibu kan sering ajak kamu jalan ke sini, makan di sini. Tapi udah lama kan gak makan di sini lagi,” tutup ibu sebelum bergegas pulang.