Konten dari Pengguna

TikTok dan Turunnya Kinerja Otak Manusia

Argya D Maheswara
Jurnalis sekaligus warga Jakarta yang percaya hidupnya abadi selama ia menulis.
7 Juli 2023 14:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Argya D Maheswara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
TikTok. (Foto: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
TikTok. (Foto: Unsplash)
ADVERTISEMENT
Cukup unik rasanya jika kita melihat perkembangan TikTok di Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara yang memilih untuk memblokir TikTok dari negara mereka. Sebut saja Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Inggris sampai negara tetangga Indonesia yaitu Australia dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Alasan negara tersebut beragam, namun pada awalnya kita akan mendapati alasan keamanan terhadap akses data pribadi penduduk negara terkait. Walau begitu, masih ada persoalan lain yang menyebabkan TikTok diblokir dari beberapa negara seperti dugaan penyebab kinerja otak manusia bahkan spionase.
Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya, TikTok justru mendapat tempat “istimewa” dalam masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei Data Indonesia yang menyebutkan bahwa Indonesia memiliki pengguna TikTok terbanyak kedua dengan 113 juta pengguna.
Fakta ini sangat disayangkan jika kita melihat TikTok sebagai sarana perusak moral, nalar, bahkan mental. Indonesia tampaknya sangat santai dengan persoalan tersebut dan seakan tidak memiliki kecemasan yang dicemaskan oleh masyarakat global.
Kenyataan ini juga menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia justru lebih cemas dengan persoalan yang sifatnya pseudo dibanding hal yang sudah jelas dampak buruk jangka panjangnya dan dicemaskan oleh banyak orang di dunia.
ADVERTISEMENT
Bagaimana TikTok Merusak Manusia?
Jika membahas bagaimana mekanisme TikTok dalam merusak manusia, kita dapat melihat penurunan proses kinerja otak manusia dari masa ke masa. Jika di era setelah Perang Dunia II sampai 1980-an kinerja otak manusia dipaksa untuk melakukan komputasi secara mandiri maka di era modern ini Tiktok merubah itu semua.
Bagaimana bisa? Hingga 1980-an otak manusia dipaksa bekerja manual untuk mendapatkan suatu informasi, manusia di era itu masih mengenal pentingnya ke perpustakaan dan mengunjungi tempat-tempat informatif lainnya. Pada era selanjutnya kita masuk masa internet dan komputer yang memudahkan manusia untuk mengakses informasi dan sumber kebahagiaan hanya dengan mengetik suatu kata kunci dari apa yang dicarinya.
TikTok di era modern ini merevolusi itu semua dengan sangat memudahkan manusia untuk mengakses informasi bahkan mengetahui apa yang disukai seseorang. Kita tidak perlu lagi mengetik kata kunci namun ada algoritma yang TikTok hadirkan untuk membaca siapa kita, apa yang kita sukai, apa yang membuat kita bahagia, berapa durasi kita dalam menikmati sebuah konten dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Algoritma TikTok inilah yang merusak kinerja otak manusia karena sangat “memudahkan” manusia mengakses sesuatu. Dari sini kita juga dapat berkaca bahwa tidak semua sesuatu yang memudahkan memiliki dampak yang baik.
Bahkan dalam sebuah jurnal riset lingkungan dan kesehatan publik berjudul Research on Adolescents Regarding the Indirect Effect of Depression, Anxiety and Stress between TikTok use Disorder and Memory Loss oleh Peng Sha dan Xiaoyu mengatakan bahwa TikTok secara intensif akan mengakibatkan penurunan kinerja otak dan secara khusus melemahkan kemampuan mengingat.
TikTok sebagai Candu
Jika kita pernah mendengar TikTok is The Next Opium yang dikatakan Dr. Irawan Nugroho dalam sebuah video di kanal Youtube miliknya yang membahas soal TikTok maka opium yang dimaksud adalah bagaimana masyarakat menjadikan TikTok sebagai candu.
ADVERTISEMENT
Seperti dalam pembahasan sebelumnya, kita dapat menyadari permulaan TikTok menjadi candu dari kecerdasan TikTok dalam membaca apa saja yang kita suka bahkan mengetahui apa saja yang dapat membuat kita bahagia. Setelah itu TikTok akan menghadirkan konten-konten yang sesuai dengan variabel tersebut dan memaksa penggunanya untuk terus menerus menggunakannya.
Dalam sebuah penelitian berjudul Kecanduan TikTok Bisa Picu Penurunan Kognitif Otak oleh dr. Fadhli Rizal Makarim disebutkan bahwa kecanduan TikTok dipengaruhi kuat oleh konsep For Your Page (FYP). Hal ini dapat membuat pengguna TikTok secara terus menerus mengkonsumsi secara intens hal-hal yang menarik minatnya. Dalam TikTok, video pendek yang disukai pengguna akan terus masuk ke halaman FYP dan membuat pengguna terus menonton.
ADVERTISEMENT
Hancurnya Realitas Manusia
Dengan sifat candu pada TikTok, media sosial yang satu ini juga menawarkan kita pada konsep dunia “maya” yang dapat menghadirkan kebahagiaan namun berbalik dari realitas. Jika pada dunia nyata konsep hidup manusia adalah berjuang untuk berhasil maka TikTok menawarkan keberhasilan tanpa perjuangan namun tidak pada dunia nyata.
Keberagaman konten TikTok sesuai dengan apa yang disukai penggunanya menghadirkan idealisme baru yang cukup menarik minat penggunanya namun pada realitanya itu akan sulit terealisasi di dunia nyata. Pada akhirnya banyak pengguna TikTok yang beresiko mengalami depresi atas kesenjangan antara dunia yang ditawarkan TikTok dengan realita.
Dr. Julie Albright, seorang spesialis budaya digital dan komunikasi dalam membedah pertanyaan “Mengapa banyak orang kecanduan aplikasi TikTok?” menyebutkan bahwa TikTok menampilkan konten yang menarik bagi dopamin dan membuat penggunanya kecanduan, akhirnya pengguna TikTok tidak memperhatikan dunia nyata.
ADVERTISEMENT