Konten dari Pengguna

Menggelorakan Moderasi, Membendung Komoditas Agama

Ari A Harahap
Ketua DPP IMM Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik 2024-2026, Ketua Umum DPD IMM DKI Jakarta 2022-2024, Mahasiswa Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14 Agustus 2022 15:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
85
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ari A Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pelantikan DPD IMM DKI Jakarta usung tema tentang moderasi beragama. Foto: Dokumentasi pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Pelantikan DPD IMM DKI Jakarta usung tema tentang moderasi beragama. Foto: Dokumentasi pribadi.
ADVERTISEMENT
Belakangan gagasan mengenai moderasi beragama ramai diperbincangkan. Seturut dengan menguatnya ekstremisme dan fundamentalisme dalam beragama. Apa yang dimaksud dengan moderasi beragama? Apakah ini berarti bahwa agama akan dimoderasi? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab guna menghindari misunderstanding (kesalahpahaman) dan misleading (kesesatan).
ADVERTISEMENT
Secara sederhana moderasi beragama adalah sikap, cara pandang atau perilaku beragama yang moderat, toleran, menghargai perbedaan, dan selalu mengedepankan kemaslahatan bersama. Jadi, yang sebenarnya ingin dimoderatkan melalui wacana ini bukanlah agama itu sendiri. Melainkan cara seseorang dalam beragama. Sebab, inti dasar agama adalah ajaran yang moderat dan penuh kasih. Agama mengajarkan kasih sayang, cinta, dan sikap yang toleran.
Maka, sebenarnya tujuan dari moderasi beragama ialah tidak lain kecuali ingin membantu dan menuntun seseorang untuk beragama sesuai dengan nilai moderasi yang terkandung dalam ajaran agamanya.

Islam Wasathiyah

Dalam agama Islam, konsep moderasi beragama sering dipadankan dengan istilah Islam wasthiyah atau wasathiyatul Islam. Islam wasthiyah memiliki dasar dan landasannya dalam Al-Quran. Di antara dalil yang sering digunakan oleh ulama atau cendekiawan muslim untuk menunjukkan keberadaan konsep Islam wasathiyah dalam Al-Quran ialah surat Al-Baqarah ayat 143:
ADVERTISEMENT
“Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang wasath agar kalian dapat menjadi saksi bagi semua manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi juga atas kalian.”
Ada beberapa penafsiran terhadap kata “wasath” dalam surah Al-Baqarah ayat 143 tersebut. Beberapa ulama menafsirkan kata wasath dalam ayat itu sebagai posisi tengah-tengah. Makanya tak heran bila dalam sepak bola kita mengenal istilah wasit. Keberadaan dan diadakannya wasit ialah untuk menengahi jalannya permainan. Wasit tidak boleh berpihak. Ia harus netral.
Sementara beberapa ulama tafsir yang lain, seperti Fakhruddin Ar-Razi, pengarang tafsir Mafatihul Ghaib, cenderung mengartikan kata wasath dalam Al-Baqarah tersebut sebagai sikap terbaik dan sikap yang adil. Pada level ini kata wasath sudah mengalami pergeseran makna. Dari yang awalnya memilih sikap tengahan, menuju mengambil sikap yang terbaik dan adil.
ADVERTISEMENT
Pada penafsiran kata wasath sebagai sikap yang adil, orang yang berpaham wasathiyah diibaratkan seorang hakim. Seorang hakim dituntut untuk bersikap tegas dan tidak boleh plin-plan. Ia harus berani mengambil sikap dan berani memutuskan mana yang salah dan mana yang benar. Ia tidak boleh berada pada posisi netral.
Dalam kasus Islam, kita dikenalkan dengan kata haq (kebenaran) dan bathil (kejahatan). Menurut Quraish Shihab, seorang muslim jika dihadapkan pada sesuatu yang haq dan bathil, ia tidak boleh netral atau berada di tengah-tengah. Ia harus menentukan dan memperjelas sikapnya. Dan sebagaimana ajaran dan tuntunan Islam, kita diminta dan dituntut untuk memperjuangkan dan membela yang haq.

Antara Tengahan dan Adil

Jadi, jika mengikuti uraian di atas, Islam wasathiyah dapat diartikan sebagai dua sikap dalam beragama. Pertama, bersikap tengahan dalam artian tidak berlebihan. Kedua, mengambil sikap yang terbaik dan adil. Lalu, manakah di antara dua sikap itu yang benar? Semuanya benar. Penggunaannya mempertimbangkan kondisi atau keadaan yang dihadapi.
ADVERTISEMENT
Jika dihadapkan pada aneka kebenaran, tentu sikap yang kita ambil ialah sikap tengahan. Dalam arti tidak membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain. Atau dalam bahasa lain, sikap yang paling memungkinkan untuk kita ambil ialah memaklumi semuanya sembari mencari mana di antara kebenaran-kebenaran itu yang berada di tengah-tengah.
Akan tetapi berbeda halnya jika dihadapkan pada yang haq dan bathil. Sikap yang mesti kita pilih ialah sikap adil. Kita harus menentukan pilihan dan sikap. Harus memutuskan mana yang benar dan mana yang salah. Dan tentu kita harus cenderung pada yang haq. Jadi, baik bersikap tengahan atau bersikap adil, masing-masing bisa digunakan dengan melihat kondisi atau keadaan yang dihadapi.

Membendung Komoditas Agama

Pada tahun-tahun belakang, kita menyadari arti penting dari moderasi beragama. Sebab selain untuk meng-counter paham ekstrem dalam beragama, juga berfungsi untuk membendung komoditas agama. Belakangan, agama sering menjadi jualan, khususnya di tahun-tahun politik.
ADVERTISEMENT
Pada Pligub (Pemilihan Gubernur) DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 kemarin kita sangat melihat bagaimana agama menjadi komoditas. Sentimen sengaja dimunculkan dan dimainkan untuk kepentingan kekuasaan. Agama menjadi tameng seorang bakal calon untuk memuluskan jalannya mendapatkan kekuasaan.
Padahal, sebagaimana dapat kita lihat dari rekam jejaknya, tokoh-tokoh politik yang memainkan isu agama tersebut sebenarnya tidak terlalu memiliki riwayat yang dekat dengan agama.
Selain itu dampak buruk dari menjadikan agama sebagai komoditas ialah terciptanya polarisasi yang tajam di antara masyarakat. Masyarakat Indonesia yang masih sentimentil, mudah emosi dan rendah literasinya, masih mudah diadu domba dengan isu-isu agama.
Dalam pilgub DKI Jakarta tahun 2017 misalnya. Polarisasi sangat menguat. Masyarakat terbagi antara pendukung Anies dan Ahok. Masyarakat Anies dicitrakan sebagai pejuang Islam dan pendukung Ahok dicitrakan sebagai anti Islam. Padahal ini jelas klasifikasi atau pengelompokan yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu moderasi beragama penting untuk hadir dan mengemuka. Sebab dengan moderasi beragama komunitas beragama akan dididik dan diberi pemahaman bahwa politik merupakan perkara duniawi dan sarat dengan kepentingan kekuasaan.
Politik jangan sampai dianggap sebagai sesuatu yang bersifat agama dan harus diperjuangkan mati-matian. Umat Islam harusnya sudah move on dan tidak boleh larut dalam euforia 212. Apalagi jika dengan euforia itu masyarakat makin terbelah dan bertengkar antara satu dengan yang lain.

Menghadapi Tahun-tahun Politik

Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) DKI Jakarta sebagian bagian yang tak terpisahkan dari wilayah DKI Jakarta perlu mengambil peran. Sebab daerah ini amat sangat rentan dengan isu atau sentimen mengenai agama.
Terutama jika berkaca pada beberapa tahun kemarin. DKI Jakarta menjadi daerah dengan “suhu terpanas” dalam hal isu mengenai agama. Isu mengenai agama cukup nyaring suaranya pada daerah ini. Oleh karena itu DPD IMM DKI Jakarta akan melakukan berbagai macam upaya preventif, di antaranya dengan memasifkan dan memasyarakatkan narasi moderasi beragama.
ADVERTISEMENT
Isu agama ini kemungkinan akan dipakai kembali. Sebab harus diakui bahwa jualan mengenai agama masih sangat laris di tanah air. Oleh karena itu narasi-narasi moderasi beragama harus terus digelorakan. Masyarakat, terutama masyarakat agama, harus diberi pengertian bahwa perbedaan pilihan politik adalah hal yang biasa dan lumrah. Masyarakat tidak perlu tegang dan serius. Apalagi perbedaan politik itu sampai dianggap menyebabkan seseorang terjungkal dan keluar dari agamanya.