Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Mengimbangi Islam Kanan di Kampus: Catatan 40 Hari Azyumardi Azra
27 Oktober 2022 21:16 WIB
Tulisan dari Ari A Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tepat pada tanggal 28 Oktober 2022, usia Azyumardi Azra meninggalkan kita semua resmi menginjak hari yang ke-40. Sebagai bangsa, tentu kita sangat merasa kehilangan seorang pemikir dan cendekiawan muslim yang punya komitmen tinggi pada keislaman dan kebangsaan. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai pemikir Islam yang moderat dan nyaring menyuarakan tentang pentingnya moderasi dalam beragama, termasuk di kalangan kampus.
ADVERTISEMENT
Untuk menyebut beberapa karya Azyumardi Azra soal moderasi di antaranya: Moderasi Islam di Indonesia (2020) dan Relevansi Islam Wasathiyah: Dari Melindungi Kampus Hingga Mengaktualisasi Kesalehan (2020). Karya pertama membahas tentang moderasi Islam di Indonesia secara umum, sedangkan pada karya kedua sedikit disinggung tentang bagaimana melindungi kampus dari gerakan-gerakan radikal.
Azra adalah sosok yang resah dengan paham keagamaan yang berkembang di kampus. Ia melihat bahwa kini kampus lebih banyak didominasi paham keislaman kanan. Paham yang menjadi pintu masuknya ekstremisme dan terorisme. Oleh karena itu melalui akun Twitter-nya, Azyumardi Azra pernah melempar wacana untuk mengaktivasi kembali gerakan organisasi mahasiswa Islam seperti IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) di kampus.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa alasan mengapa beliau menyebut nama ketiga organisasi tersebut. Pertama, organisasi-organisasi tersebut dikenal sebagai organisasi mahasiswa Islam yang moderat dan progresif dalam pemahamannya terhadap agama. IMM dengan identitasnya sebagai anak kandung Muhammadiyah, organisasi Islam modernis terbesar di Indonesia dan begitupula dengan PMII sebagai anak kandung Nahdhatul Ulama (NU). Adapun HMI sudah cukup dengan melihat alumni-alumninya seperti Nurcholish Madjid, Komaruddin Hidayat, dan Azyumardi sendiri yang menjadi “muazin” bagi keberagamaan yang inklusif. Kedua, baik IMM, HMI ataupun PMII adalah organisasi mahasiswa yang mempunyai komitmen kebangsaan yang tinggi. Walaupun GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dan organisasi-organisasi mahasiswa lain juga punya komitmen kebangsaan yang tinggi, hanya saja mereka tidak termasuk organisasi mahasiswa Islam. Karena itu tidak dimasukkan pada pengelompokkan ini.
ADVERTISEMENT
Pintu Masuk Gerakan Islam Kanan di Kampus
Hal yang tidak bisa dilewatkan dari fenomena masuknya Islam kanan di kampus ialah peran-peran dari ideologi Islam transnasional yang masuk di Indonesia. Organisasi Islam transnasional yang dimaksud di sini ialah organisasi seperti IM (Ikhwanul Muslimin), HT (Hizbut Tahrir) dan beberapa lainnya. Mereka mengekspor paham keagamaannya kepada negara-negara muslim, salah satunya Indonesia.
Berbeda dengan negara-negara muslim lain yang agak tertutup sehingga menyulitkan masuknya ideologi-ideologi luar, Indonesia sepertinya menjadi lahan subur bagi tumbuhnya organisasi-organisasi Islam transnasional. Khususnya setelah Orde Baru runtuh dan era Reformasi terbit. Keran kebebasan dibuka selebar-lebarnya. Paham-paham keislaman yang dulunya merasa ditekan oleh Soeharto sehingga takut untuk menunjukan identitasnya pada publik, kini mulai berani menampakkan wujudnya dan gerakannya. Bahkan di era sekarang mulai secara terang-terangan. Akan tetapi mulai sedikit hati-hati setelah organisasi Islam seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan Front Pembela Islam (FPI) ditetapkan sebagai organisasi terlarang karena dianggap memiliki ideologi yang akan mengancam negara dan persatuan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Organisasi-organisasi Islam transnasional yang tersebut di atas kemudian memiliki sayapnya di Indonesia. Ikhwanul Muslimin dianggap melebarkan sayapnya melalui berdirinya salah satu partai Islam di Indonesia. Mereka sama-sama merupakan gerakan Islam tarbiyah. Sedangkan Hizbut Tahrir yang didirikan Taqiyyudin an-Nabhani memperluas horison gerakannya di Indonesia dengan mendirikan Hizbut Tahrir cabang Indonesia atau disingkat HTI.
Tidak berhenti di situ. Merasa perlu memasuki dan menginvasi ideologinya di ranah perguruan tinggi, mereka membentuk organisasi-organisasi sayap mahasiswa yang mempunyai kesamaan ideologi. Di antara organisasi mahasiswa Islam yang disinyalir memiliki keterkaitan dan berafiliasi secara tidak langsung ialah LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Organisasi ini sering dinilai merujuk ideologi dan gerakannya pada organisasi Islam tarbiyah (Ikhwanul Muslimin dan salah satu partai Islam Indonesia). Kemudian ada GEMA (Gerakan Mahasiswa) Pembebasan. Organisasi ini merupakan perpanjangan tangan dari HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) di kampus. Mereka aktif menyebarkan majalah buatan HTI. Majalah tersebut biasanya berisi kritik terhadap negara yang “tidak becus” dalam mengurus negara dan kemudian disusul dengan propaganda menawarkan khilafah sebagai sistem terbaik dalam menyelesaikan segala persoalan negara.
ADVERTISEMENT
Mengimbangi Organisasi Islam Kanan
Salah satu kritik yang saya kira bisa di-amin-kan dari Azyumardi Azra adalah ketika ia menyebut organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) belum melakukan apa-apa dalam membendung gerakan Islam kanan di kampus. Hal itu menurut saya karena ketiga organisasi itu hanya sibuk dan asyik dalam hiruk-pikuk politik internal dan eksternal kampus. Organisasi mahasiswa Islam tersebut belum melihat organisasi mahasiswa Islam kanan sebagai bahaya yang harus diimbangi dan dibendung.
Pernah ada sayup-sayup terdengar keinginan suatu organisasi mahasiswa Islam untuk membendung gerakan Islam kanan di kampus. Hanya saja cara-cara yang akan digunakan sangat tidak demokratis dan cenderung otoriter. Mereka mengusulkan kepada pejabat-pejabat kampus untuk mengusir organisasi tersebut atau membubarkannya. Padahal sejatinya kita tidak perlu memakai cara-cara seperti ini dalam membendung gerakan Islam kanan di kampus. Kita masih bisa menempuh jalan yang elegan dan berwibawa. Di antaranya ialah dengan menghadirkan wacana keislaman tandingan melalui diskusi-diskusi yang digelar di pojok-pojok kampus.
ADVERTISEMENT
Cara seperti ini akan lebih baik dan elegan. Sebab, jika kita menggunakan cara-cara yang otoriter sebagaimana disebutkan di atas, khawatirnya malah akan mengundang simpati mahasiswa terhadap organisasi mahasiswa Islam kanan. Karena mereka melihat organisasi itu dipersekusi sedemikian rupa.
Ini adalah PR kita bersama. Kita punya PR untuk menghadirkan diskusi-diskusi keislaman alternatif dan berkemajuan yang menarik untuk mengimbangi kajian Islam kanan. Kata “menarik” harus menjadi kata kunci dan perhatian kita. Karena sejauh ini kita masih kalah dengan organisasi Islam kanan dalam menghadirkan diskusi-diskusi keislaman. Organisasi mahasiswa Islam seperti IMM, HMI dan PMII harus mengembalikan identitasnya sebagai penggelar diskusi-diskusi keislaman yang menarik dan kekinian. Sebab hanya dengan itu kita bisa mengimbangi “dakwah” Islam kanan di kampus.
ADVERTISEMENT
Kami di IMM, khususnya IMM DKI Jakarta, telah memulainya. Pada beberapa Minggu lalu kami baru melaunching program YASINAN atau Hayya Sinau Bulanan. Hayya berasal dari bahasa Arab yang berarti “mari”, sinau berasal dari bahasa Jawa yang berarti belajar. Jadi, melalui program ini kami mengagendakan program belajar bersama. Selain itu program ini terbilang unik. Karena kami menggunakan kata “yasinan” yang sesungguhnya asing dari tradisi Muhammadiyah. Pada program ini kami menggelar kajian-kajian yang bertujuan untuk memainstreamkan paham Islam wasathiyyah kepada mahasiswa, khususnya kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DKI Jakarta.