Konten dari Pengguna

Puasa dan Pendidikan Politik

Ari A Harahap
Ketua DPP IMM Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik 2024-2026, Ketua Umum DPD IMM DKI Jakarta 2022-2024, Mahasiswa Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25 Maret 2023 10:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ari A Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Unplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Unplash.com
ADVERTISEMENT
Salah satu ritual yang “dihadiahkan” Allah kepada umat Islam tiap tahunnya ialah ibadah puasa di bulan Ramadhan. Ritual ini menjadi satu hal yang sangat didamba-damba dan paling ditunggu oleh umat Islam. Di antara faktornya ialah karena melalui ibadah di bulan ini seseorang dapat meraup pahala sebanyak-banyaknya dan mendapat beberapa pendidikan di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu ungkapan yang masyhur untuk menyebut bulan Ramadhan ialah syah al-tarbiyah atau bulan pendidikan. Ungkapan itu cukup wajar. Sebab pada bulan Ramadhan seseorang akan mendapat banyak nilai-nilai pendidikan di dalamnya. Di antaranya seseorang akan dilatih untuk menahan diri dari segala hal yang pada bulan-bulan selain Ramadhan dapat dikonsumsi.
Melalui Ramadhan, seseorang akan dilatih untuk menahan. Entah itu makan, minum ataupun segala hal yang dapat membatalkan puasa. Ini selaras dengan arti kata dari puasa itu sendiri. Dalam bahasa Arab, puasa disebut shaum atau shiyam yang secara akar kata berasal dari kata shama-yashumu yang artinya menahan. Allah berfirman pada surah al-Baqarah ayat 183 sebagaimana berikut.
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan bagi orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang bertakwa.”
ADVERTISEMENT

Mencetak Insan Bertakwa

Pada gilirannya, lewat ayat ini, muara dari latihan berpuasa ialah meraih predikat takwa. Berpuasa selama sebulan lamanya diniatkan dan memiliki goals (tujuan) untuk mencetak insan-insan bertakwa.
Apa itu takwa? Nabi menjawab bahwa at-taqwaha huna (takwa itu di sini, sambil menunjuk hatinya). Jadi orang bertakwa itu ialah orang yang dalam melakukan segala perbuatan selalu meminta pertimbangan pada hatinya.
Sementara sahabat Nabi, Ubay bin Ka’ab memberikan arti lebih gamblang. Suatu hari Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab.
“Wahai Ubay, apa makna takwa itu?” tanya Umar.
“Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan di tengah jalan yang penuh onak duri?” Ubay balik bertanya,.
“Tentu saja pernah,” jawab Umar.
ADVERTISEMENT
“Apa yang engkau lakukan saat itu?” tanya Ubay.
“Tentu saja aku akan sangat berhati-hati,” jawab Umar.
“Itulah takwa,” tegas Ubay.
Jawaban Ubay bin Ka’ab itu menegaskan bahwa takwa ialah sikap kehati-hatian. Jadi selain selalu meminta pertimbangan pada hati, seseorang juga harus senantiasa berada pada sikap mawas diri. Sikap ini penting untuk dimiliki seorang muslim.
Khususnya di zaman yang antara kebenaran dan keburukan semakin tipis perbedaannya. Kadang kebenaran dianggap sebagai tindakan berlebih-lebihan, sementara keburukan dinilai sebagai tindakan heroik.
Saya mengingat betul bahwa M. Quraish Shihab, pakar tafsir yang dimiliki Indonesia, pernah menyebutkan kalau setiap ibadah mahdhah yang diperintahkan oleh Allah pasti memiliki nilai sosial.
Pada ritual salat misalnya. Al-Qur'an menyebut celakalah orang-orang yang salat. Kenapa dan kapan ia disebut celaka? Yakni ketika mereka lalai dan tidak memerhatikan nasib anak yatim. Demikian pula dengan zakat. Kehadiran zakat ialah untuk membantu dan meringankan beban kaum miskin dan tidak berkecukupan.
ADVERTISEMENT

Pendidikan Politik dalam Puasa

Lalu bagaimana dengan ibadah puasa? Apakah ia memiliki nilai sosial? Saya kira sangat banyak. Salah satu yang sering didengungkan ialah dengan puasa kita dapat merasakan beban yang dialami oleh saudara-saudara kita yang kurang mampu.
Puasa akan membentuk empati sosial seseorang. Sebab melalui puasa, ia akan merasakan bagaimana rasanya menahan lapar dan dahaga. Kemudian karena pernah merasakan betapa beratnya menahan lapar dan dahaga tersebut, ia akan semakin terdorong untuk membantu saudara-saudaranya yang susah dalam mencari makan.
Itu baru satu. Pelajaran lainnya, dan itu akan menjadi fokus kita pada tulisan ini, ialah pendidikan politik yang kita dapatkan selama berpuasa. Sebagaimana kita tahu bahwa pada tahun 2024 nanti kita akan menghadapi pesta demokrasi, yakni Pemilihan Umum.
ADVERTISEMENT
Di sini kita akan memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Persiapan menuju ke sana telah dilakukan dan ditunjukkan jauh-jauh hari. Bahkan per hari ini, kita melihat beberapa koalisi telah terbentuk. Bahkan telah ada yang mendeklarasikan diri sebagai calon presiden.
Pelajaran menahan diri dalam ibadah puasa hendaknya dibawa dalam segala konteks. Baik dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan lain-lain. Dalam konteks ekonomi misalnya. Kita harus menahan diri dari tindakan mengeksploitasi orang dan mengambil hak orang lain. Sementara dalam konteks politik, seseorang harus menahan diri dari segala ambisi duniawi yang berlebihan.
Kemampuan inilah yang langka dari politisi kita hari ini. Mereka kurang mampu dalam menahan diri dari segala hasrat duniawi. Mereka cenderung menjadikan jabatan sebagai sarana untuk memperkaya diri dan sanak famili.
ADVERTISEMENT
Makanya tak mengherankan jika kita melihat kondisi kebangsaan kita hari ini. Ada banyak politisi dan pejabat yang ditangkap karena terjerat kasus korupsi. Bahkan kita melihat, ada sebagian dari mereka yang tanpa rasa segan memamerkan harta yang secara asal-usul masih bisa dipertanyakan

Bulan Puasa Sebagai Kawah Candradimuka

Padahal puasa telah mengajarkan kita untuk menahan diri. Puasa mengajarkan kita untuk jangan makan dan minum sesuatu jika belum waktunya. Kendati lapar telah melilit perut dan haus telah mencekik leher. Begitupun seharusnya dengan cara kita berpolitik. Jika belum waktunya, jangan dulu untuk maju.
Jika memang belum saatnya, ada baiknya kita fokus dulu untuk memperbaiki diri. Karena seperti panorama yang akrab belakangan, banyak orang yang tanpa perhitungan langsung mencalonkan diri. Hal ini karena mereka tidak melihat dan menghitung kapasitas diri dan cenderung melihat jabatan sebagai sesuatu yang mesti direbut untuk mendapat kesenangan. Padahal sebagaimana pepatah Belanda: leiden is lidjen, memimpin adalah menderita.
ADVERTISEMENT
Demikianlah. Bulan Ramadhan seharusnya menjadi kawah candaradimuka. Tempat kita digodok, digembleng, dan ditatar untuk menjadi insan yang berkarakter. Jangan sampai kita termasuk dari yang disebutkan Nabi sebagai, “Berapa banyak dari orang yang berpuasa, mereka tidak mendapatkan apa-apa dari Ramadhan kecuali lapar dan dahaga.”