Konten dari Pengguna

Mahasiswa Musuh Ketenangan Warga

Ari Reski Sashari
Founder SosialNalar, Magister Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pengamat Sosial yang Peka pada Suara Rakyat
16 Agustus 2024 10:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ari Reski Sashari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi:  Kontrakan Mahasiswa di Balik Dinding Tipis Keresahan Warga Tak Terhindarkan (foto: dok.pribadi Ari Reski Sashari)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Kontrakan Mahasiswa di Balik Dinding Tipis Keresahan Warga Tak Terhindarkan (foto: dok.pribadi Ari Reski Sashari)
ADVERTISEMENT
Yogyakarta, dikenal sebagai Kota Pendidikan, juga merupakan ladang tantangan bagi mahasiswa. Demi mengejar cita-cita, mereka rela meninggalkan kampung halaman, namun kenyataan hidup yang pahit kerap menghadang.
ADVERTISEMENT
Uang saku yang terbatas, ditambah biaya kos yang tinggi, memaksa banyak mahasiswa untuk memilih ngontrak daripada ngekos. Pilihan ini memang lebih hemat, terutama jika tinggal bersama teman.
Di daerah Sleman, acap kali ditemukan kontrakan yang diisi oleh lima hingga tujuh mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan. Semakin banyak penghuni, semakin murah biaya kontrakannya per tahun.
Namun, situasi ini menimbulkan masalah bagi warga sekitar, termasuk saya. Suara bising di malam hari, seperti nyanyian yang diiringi gitar hingga menjelang subuh, sangat mengganggu. Dinding tipis yang memisahkan rumah membuat suara terdengar jelas.
Wiwik (35), seorang tetangga, mengeluhkan hal serupa. "Anak saya terkadang tiba-tiba bangun karena mahasiswa di sebelah nyanyi sambil main gitar. Sudah saya tegur, tapi memang bandel," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Tumpukan sampah
Ilustrasi: Tumpukan sampah yang terabaikan, dapat menjadi lumbung pencemaran lingkungan (sumber:kumparan.com)
Masalah lain yang muncul adalah ketidakpedulian mahasiswa dalam membayar iuran sampah. Akibatnya, sampah mereka bertumpuk dan berhamburan hingga ke jalan, diacak-acak oleh kucing. Bayangkan, sampah yang tidak dibuang selama berbulan-bulan akan menimbulkan bau tak sedap dan menjadi sarang belatung.
Saya, sebagai tetangga, sangat dirugikan karena sampah itu sampai masuk ke teras rumah, terbawa oleh angin. Namun, saya hanya bisa pasrah, memaklumi mereka sebagai mahasiswa yang mungkin kekurangan uang.
Ketika diajak kerja bakti oleh warga, mereka hanya merespons dengan "baik, Pak," namun tak kunjung datang. Kontrakan tersebut bahkan sering kosong saat kerja bakti di hari Minggu, dan baru ditempati lagi setelah kegiatan selesai.
Keadaan semakin buruk ketika adu jotos tak terhindarkan. Saat itu, para mahasiswa menggelar acara dengan teman-temannya, sekitar sepuluh motor diparkir tepat di depan gerbang rumah saya, tentunya menghalangi akses untuk keluar. Emosi saya memuncak, menegur mereka, namun pemilik motor tersinggung, hingga perkelahian pun terjadi. Warga setempat melerai dan segera melakukan mediasi.
ADVERTISEMENT
"Ini akan jadi boomerang jika tidak ditindaklanjuti, karena sudah keterlaluan dan tidak saling menghargai," ujar Dul (50), Ketua RT.
Masalah lainnya adalah suara knalpot "brong" yang lantang. Mahasiswa tersebut sering pulang tengah malam tanpa inisiatif mematikan mesin motornya, menyebabkan warga yang tertidur terbangun kaget. Hal ini terjadi setiap hari. Himbauan lisan dan tulisan oleh Pak RT tak kunjung dihiraukan.
Gosip hangat
Ilustrasi: Gosip kerap kali membicarakan orang lain dengan berbagai bentuk karakternya(foto: komparan.com/ aditiya noviansyah)
Keresahan warga semakin memuncak ketika desahan wanita terdengar jelas oleh tetangga, termasuk saya. Hal ini menjadi gosip hangat karena terjadi hampir setiap hari, membuat warga kompleks geram.
Menanggapi laporan warga, Pak RT melakukan cross check dan menemukan bahwa pasangan tersebut tinggal bersama pacar dengan alasan belaka, mengklaim bahwa mereka hanya teman kampus tanpa status pacaran. Setelah menggeledah isi rumah, ditemukan banyak alat kontrasepsi berbahan lateks.
ADVERTISEMENT
Kecurigaan semakin memuncak. Langkah terakhir untuk memastikan adalah menghubungi orang tua para mahasiswa, yang dilakukan oleh warga setempat dengan meminta nomor telepon.
Ketika hal itu terjadi, para mahasiswa mulai merengek dan menangis. "Kami siap bertanggung jawab, dan akan segera menikah. Tolong jangan hubungi orang tua kami," ujar mereka sambil menangis dan memohon belas kasihan.
Fenomena seperti ini sering kita temui di perkotaan, dan harus menjadi refleksi bagi mahasiswa lain agar dapat menjalani kehidupan yang seimbang antara akademis dan sosial tanpa melanggar norma-norma yang berlaku.