Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menilik Kembali Jebakan Bahasa dalam Panggung Politik
1 Agustus 2024 18:23 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ari Reski Sashari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada masa pergerakan, ketika bangsa Indonesia masih harus berjuang melawan pemerintah kolonial, bahasa digunakan secara lisan untuk orasi di panggung dan radio. Bung Tomo "mengudara" dengan pidato yang lantang dan menggugah sebelum pertempuran 10 November di Surabaya.
ADVERTISEMENT
Affandi dan Chairil Anwar berkolaborasi menciptakan poster "Boeng Ajo Boeng." Ki Hadjar Dewantara menyusun kata-kata menjadi tulisan protes tajam berjudul "Als Ik Een Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang terbit di harian De Expres.
Berpindah ke era politik elektoral multimedia sekarang, kita melihat penggunaan bahasa yang berbeda namun tetap relevan. Prabowo Subianto, presiden terpilih pada Pemilu 2024, juga mengudara di panggung dengan ciri khasnya yang dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan kata "Gemoy."
Media internasional menyoroti tarian Prabowo setelah ia mengeklaim keunggulan dalam hasil hitung cepat. BBC menegaskan sosok berusia 72 tahun itu menggambarkan dirinya sebagai “kakek yang menggemaskan” dan sering melakukan gerakan tarian khasnya, baik di atas panggung maupun dalam beberapa video TikTok.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi hal tersebut justru disukai oleh generasi Z. Berdasarkan rilis exit poll Pilpres 2024 dari Indikator Politik Indonesia, 71 persen responden yang merupakan generasi Z atau anak muda berusia kurang dari 27 tahun memilih Prabowo.
Media sosial telah merombak dinamika komunikasi dan struktur kekuasaan dalam masyarakat kontemporer. Tokoh-tokoh politik menggunakan bahasa untuk memengaruhi massa di berbagai era dengan ciri khas tersendiri yang membedakan mereka dari kandidat lain.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana platform digital telah mengubah cara pesan disampaikan dan diterima, karena memudahkan setiap politisi untuk membangun citra dan hubungan yang lebih personal dan langsung dengan konstituen mereka.
Namun, apakah etis jika seorang kandidat hampir setiap kali berada di panggung, terutama saat kampanye, melakukan gerakan tarian khas dengan dalih "menggemaskan"? Bahasa tubuh dan simbol-simbol visual memiliki pengaruh besar dalam politik modern, tetapi ada garis tipis antara memanfaatkan tren budaya dan mereduksi integritas politik menjadi sekadar hiburan.
ADVERTISEMENT
Saat kita merenungkan sejarah dan peran bahasa dalam politik, penting untuk mempertimbangkan bagaimana cara komunikasi kita mencerminkan nilai-nilai dan visi yang ingin kita bawa ke depan. Prabowo sebagai Presiden terpilih, telah menemukan cara untuk terhubung dengan generasi muda, tetapi kita harus terus kritis terhadap bagaimana bahasa dan simbol digunakan dalam arena politik.
Siklus Penggunaan Pronomina
Tuturan yang di hasilkan oleh politisi merupakan bagian dari wacana kampanye. Tindak tutur mereka hampir selalu termasuk dalam jenis tindak perlokusi (Perlocutionary Act). Pada dasarnya, tuturan mereka mempengaruhi orang lain, baik secara emosional, sikap, maupun tindakan, dengan efek yang diharapkan berupa perolehan dukungan suara sebanyak mungkin. Politisi tidak hanya berbicara, melainkan juga melakukan tindakan dengan mendorong calon pemilih untuk mengikuti mereka.
ADVERTISEMENT
Ketika kita menilik kembali pemilu 2014, kedua kandidat memberdayakan penggunaan pronomina "kita". Calon presiden nomor satu, Prabowo Subianto, menggunakan ungkapan lama, "kalau bukan sekarang, kapan lagi. Kalau bukan kita siapa lagi." Sementara itu, calon presiden nomor dua, Joko Widodo, menggunakan tagline yang lebih berani, yaitu "Jokowi adalah kita." Kedua kandidat tersebut memproduksi tagline ini dalam berbagai bentuk komunikasi seperti pidato, baliho, spanduk, hingga leaflet.
Dibandingkan dengan pronomina persona lainnya, pronomina "kita" memiliki keunggulan karena menyiratkan kesatuan antara penutur dan mitra tutur. Dengan menggunakan pronomina "kita," penutur secara performatif menunjukkan bahwa ia berada di pihak yang sama dengan mitra tuturnya. Pronomina "kita" juga menciptakan rasa egalitarianisme, karena menempatkan mitra tutur pada posisi yang setara dengan penutur. Jika digunakan dalam konteks yang tepat, pronomina "kita" dapat menumbuhkan empati dan kepedulian terhadap penutur.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pada pemilu 2024 tagline Prabowo Subianto, "Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas," menggunakan pronomina "bersama" berbeda dengan penggunaan pronomina "kita" yang secara eksplisit menyertakan penutur dan pendengar dalam satu kelompok, "bersama" menekankan kolaborasi tanpa menyebutkan secara eksplisit pronomina persona. Namun, efeknya tetap sama yaitu bertujuan mewujudkan kesatuan dan kerja sama secara kolektif dalam masyarakat.
Penggunaan kata "bersama" memperluas cakupan inklusi, sehingga setiap pemilih merasa menjadi bagian dari tujuan kolektif tanpa harus merasa terikat pada identitas tertentu. Ini adalah strategi linguistik yang cerdik, karena menghindari keterikatan yang terlalu personal namun tetap menggalang rasa persatuan dan kebersamaan dalam mencapai visi bersama.
Dengan demikian, penggunaan pronomina dalam wacana politik bukanlah pilihan yang sembarangan. Setiap kata yang dipilih dan setiap konstruksi kalimat yang digunakan dirancang untuk mencapai efek psikologis tertentu pada pendengar. Politisi memanfaatkan pronomina ini untuk menciptakan ilusi kedekatan dan kerja sama, memperkuat ikatan emosional dengan pemilih, dan akhirnya, mempengaruhi hasil pemilu.
ADVERTISEMENT
Superfisialitas Bahasa Politik Digital
Berlanjut ke era politik elektoral multimedia, penggunaan bahasa mengalami transformasi signifikan. Di masa ini, bahasa tidak lagi terbatas pada orasi di panggung atau siaran radio, melainkan juga diberdayakan dalam ranah digital. Politisi dan tokoh masyarakat kini memanfaatkan platform media sosial untuk menyampaikan pesan dan berinteraksi dengan masyarakat.
Kicauan di Twitter, unggahan di Instagram, dan video di TikTok maupun YouTube menjadi senjata baru dalam kampanye politik. Bahasa menjadi lebih ringkas, padat, dan sering kali disesuaikan dengan selera generasi muda yang menginginkan informasi cepat dan visual yang menarik.
Dalam menyambut pilkada serentak 27 November 2024 di seluruh Indonesia ada banyak kandidat menggunakan tagline di media sosial yang tidak memperhatikan makna mendalamnya. Fokus utama mereka adalah pada daya tarik instan dan popularitas, Akibatnya, bahasa politik di era digital cenderung menjadi lebih superfisial, dengan prioritas pada gaya dan daya tarik visual daripada isi dan makna yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini terlihat dari banyaknya slogan dan frasa yang cepat populer namun minim substansi contohnya: “Santuy Aja!” Tagline ini menggunakan bahasa gaul yang sedang populer, "santuy" (santai), tetapi tidak memberikan gambaran tentang kebijakan atau program yang di maksud dengan memuat kata “Santuy Aja”
Hal tersebut tentunya dirancang untuk memicu reaksi emosional dan meningkatkan keterlibatan pengguna media sosial. Para politisi mengandalkan tim media sosial yang ahli dalam strategi pemasaran digital, tetapi kurang memedulikan dampak jangka panjang dari pesan-pesan yang mereka sebarkan.
Dengan demikian, fenomena ini mencerminkan perubahan besar dalam cara komunikasi politik dilakukan, di mana keberhasilan diukur dari seberapa viral sebuah konten, bukan dari seberapa bermakna dan mendalam pesan yang disampaikan.
ADVERTISEMENT
Dell Hymes dalam bukunya "Foundation in Sociolinguistics"1974 mengungkapkan penggunaan rumus SPEAKING. Ia berpendapat bahwa usaha untuk mengungkap makna tuturan harus diimbangi dengan usaha untuk mengungkap setting (latar fisik dan batin), key (nada), instrumentalities (saluran), norms (norma), dan genre (jenis tutur).
Dalam upaya menghindari jebakan bahasa dalam konteks politik Indonesia saat ini, adagium Hymes dapat digunakan oleh masyarakat untuk memverifikasi informasi politik yang mereka terima. Bahasa politik tidak selalu sarat dengan kebohongan, terdapat banyak informasi yang faktual dan dapat dipercaya dalam wacana politik kita.
Namun, baik kebohongan maupun kejujuran dalam bahasa politik selalu berorientasi pada kekuasaan. Oleh karena itu, upaya verifikasi bahasa politik tidak boleh hanya berfokus pada pemisahan antara jujur-bohong atau faktual-fiktif, melainkan juga harus mempertimbangkan motif dari penuturnya.
ADVERTISEMENT