Konten dari Pengguna

"Politik Dinasti" Di balik Jerat Kekuasaan dan Ambisi Keluarga

Ari Reski Sashari
Founder SosialNalar, Magister Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pengamat Sosial yang Peka pada Suara Rakyat
6 Oktober 2024 9:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ari Reski Sashari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Ketika kekuasaan tetap dalam lingkaran keluarga maka kotak suara hanya hiasan belaka (foto: Element5 Digital/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Ketika kekuasaan tetap dalam lingkaran keluarga maka kotak suara hanya hiasan belaka (foto: Element5 Digital/Unsplash)
ADVERTISEMENT
Dalam sistem demokrasi yang ideal, semua individu seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam proses politik. Namun, ketika posisi-posisi penting diwariskan di dalam satu keluarga, kesempatan ini menjadi terbatas. Hal ini menghambat munculnya pemimpin-pemimpin baru yang lebih berkualitas serta mengurangi dinamika politik yang sehat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, politik dinasti juga memperburuk masalah korupsi dan nepotisme. Ketika kekuasaan terkonsentrasi dalam satu keluarga, ada kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan keluarga di atas kepentingan umum. Ini menciptakan lingkungan di mana praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi lebih lazim, karena kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Konsentrasi kekuasaan semacam ini dapat mengarah pada pengabaian terhadap prinsip keadilan dan etika.
Politik dinasti juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik. Ketika rakyat merasa bahwa posisi-posisi kekuasaan telah dikuasai oleh keluarga tertentu, mereka cenderung merasa apatis dan kurang bersemangat untuk terlibat dalam proses politik. Akibatnya, partisipasi pemilih menurun dan legitimasi institusi politik melemah. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak stabilitas politik dan demokrasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Siklus Politik Dinasti
Di Britania Raya, pengaruh dinasti politik terlihat dalam kasus keluarga Thatcher dan keluarga Blair. Margaret Thatcher, Perdana Menteri dari 1979 hingga 1990, mewariskan pengaruh besar dalam politik Inggris. Meskipun tidak ada hukum yang secara langsung melarang pewarisan kekuasaan ini, efeknya terasa dalam pengaruh yang masih ada, dengan anggota keluarga seperti Euan Blair yang terlibat dalam arena politik dan bisnis, menunjukkan adanya kesinambungan kekuasaan dalam keluarga.
Di Spanyol, keluarga Borbón telah memegang kekuasaan selama berabad-abad, meskipun dalam konteks modern mereka lebih berfungsi sebagai simbol kekuasaan ketimbang penguasa aktif. Raja Juan Carlos I dan putranya, Raja Felipe VI, mencerminkan bagaimana pengaruh dinasti dapat bertahan lama, bahkan jika tidak secara langsung mempengaruhi kebijakan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, meskipun Jokowi awalnya dipandang sebagai sosok yang berasal dari luar lingkaran elite politik tradisional, kini ia juga tidak luput dari tudingan terkait politik dinasti. Hal ini terlihat ketika putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, berhasil memenangkan pemilihan kepala daerah dan kini menjadi Wakil Presiden terpilih 2024, serta menantunya, Bobby Nasution, yang berhasil memenangkan pemilihan kepala daerah di Medan.
Selain itu, putra bungsunya, Kaesang Pangarep, sempat digadang-gadang akan maju sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah, namun terhalang oleh putusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia minimal calon kepala daerah. Munculnya Gibran dan Bobby sebagai figur politik yang didukung oleh kekuatan politik nasional, serta rencana Kaesang yang tertunda, memperkuat anggapan bahwa Jokowi, seperti banyak pemimpin lainnya, turut berperan dalam membangun jaringan kekuasaan melalui keluarganya, yang pada akhirnya memperkuat fenomena politik dinasti di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Spirit of Greed
Dalam konteks sosial, kekuatan untuk menjadi serakah terkait dengan individu atau kelompok yang memiliki pengaruh atau kekuasaan besar. Teori elitisme memberikan pandangan bahwa dalam masyarakat, ada kelompok elit kecil yang memegang kendali atas sumber daya, kebijakan, dan keputusan penting. Kelompok elit ini memanfaatkan posisinya untuk melindungi kepentingan mereka sendiri, meskipun hal itu bisa merugikan mayoritas masyarakat.
Keserakahan bukan hanya sekadar sifat individu, tetapi juga merupakan hasil dari struktur sosial dan politik yang memungkinkan kelompok elit untuk mengakumulasi kekayaan dan kekuasaan tanpa batas. Dengan jerat kontrol yang signifikan terhadap ekonomi dan politik, elit dapat memperkuat posisi mereka dan mengeksploitasi sumber daya untuk keuntungan pribadi. Ini menunjukkan bahwa,
Keserakahan dan ketidaksetaraan bukanlah akibat dari kekurangan moral perorangan saja, tetapi lebih kepada konsekuensi dari sistem yang memungkinkan dan memfasilitasi perilaku tersebut.
ADVERTISEMENT