Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Analisa Salim Said: Cikal Bakal G30S/PKI Berasal dari Ide Soekarno
24 September 2017 20:56 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Ari Ulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kejadian berdarah 1965 adalah bagian dari sejarah Indonesia yang hingga saat ini tidak pernah henti-hentinya dibicarakan oleh banyak orang. Kejadian tersebut masih menyisakan banyak pertanyaan besar. Salah satu pertanyaan yang masih mencari jawab adalah tentang siapa sebenarnya yang mencetuskan ide G30S. Sesungguhnya aku pribadi, sama seperti kebanyakan generasi muda Indonesia, masih sangat bingung dengan fakta sejarah Indonesia seputar tahun 1965 ini. Aku pernah beberapa kali menulisan artikel pendek mengenai momen penting perjalanan bangsa tersebut, namun semuanya berujung dengan rasa bingung. Oleh karenanya kali ini aku ingin share hasil analisa Prof. Salim Haji Said mengenai darimana sebetulnya ide G30S atau juga dikenal dengan Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) itu berasal. Beliau adalah salah satu dosen yang mengajar di Universitas Pertahanan. Aku sempat beberapa kali menghadiri kuliah umum beliau dan membaca analisa-analisa beliau lainnya. Oleh karenanya aku pikir analisa beliau patut kita jadikan bahan masukan dalam memahami sejarah bangsa kita.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya berjudul ‘Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto’, Salim H. Said mengatakan bahwa ide penangkapan terhadap sejumlah jenderal angkatan darat awalnya berasal dari Soekarno. Hal penting yang kita perlu garis bawahi dari analisa ini adalah bahwa penangkapan tersebut tidak dimaksudkan sebagai pembantaian. Soekarno hanya meminta pasukan pengawal presiden, Cakrabhirawa, yang dipimpin oleh Letkol. Untung untuk membawa sejumlah jenderal tersebut menghadap kepada presiden. Tujuannya adalah untuk ‘mendaulat’ mereka agar patuh dan setia pada Soekarno yang pada saat itu berkedudukan sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
Kata ‘daulat’ dijelaskan oleh Salim Said sebagai sebuah tradisi yang sering digunakan oleh para pejuang Indonesia untuk meminta pihak tertentu agar patuh pada permintaan pihak yang mendaulat. Prosesi daulat tersebut diterjemahkan dalam bentuk penculikan. Salah satu peristiwa ‘daulat’ adalah penculikan Soekarno-Hatta oleh sejumlah pemuda ke Rengasdengklok dalam rangka meminta kedua tokoh tersebut segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Proses ‘daulat’ akan ditempuh ketika cara-cara formal tidak dapat lagi ditempuh.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui bahwa suasana politik menjelang tahun 1965 sangatlah tegang. Ketegangan politik tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun juga di tingkat regional, bahkan internasional. Terlalu banyak tarikan politik yang mewarnai kehidupan berbangsa-bernegara pada saat itu. Salah satu ketegangan yang memuncak tersebut adalah antara PKI (Partai Komunis Indonesia), TNI (Tentara Nasional Indonesia) khususnya angkatan darat, pihak anti-komunis, dan Soekarno sendiri sebagai Pemimpin Besar Revolusi, Panglima tertinggi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), sekaligus pencetus doktrin Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunis).
Aku juga perlu memberi catatan bahwa pada saat itu dunia sedang berada dalam ketegangan perang dingin antara faham komunis dan kapitalis/liberalis. Jika sobat sekalian membaca berbagai analisa hubungan internasional dan dokumen-dokumen badan intelijen yang sudah dibuka untuk umum maka sobat sekalian akan faham betapa sensitifnya isu tersebut pada saat itu. Persaingan antara faham komunis dan kapitalis di dunia pada era tersebut adalah nyata dan menyatu keseluruh sendi-sendi kehidupan.
ADVERTISEMENT
Dengan latar belakang kondisi seperti di atas, Presiden Soekarno ingin tampil menyatukan dunia dengan doktrin Nasakom milik beliau. Ternyata bukan mudah mewujudkan semua itu. Di Indonesia sendiri pada saat itu, terjadi gesekan yang sangat hebat antara kaum komunis dan anti-komunis. Gesekan yang hebat ini juga terjadi antara kaum komunis dan angkatan darat. Gesekan ini ternyata juga mempengaruhi pandangan Soekarno pada saat itu terhadap para petinggi angkatan darat yang terkenal anti-komunis. Pandangan tidak bersahabat para petinggi angkatan darat terhadap PKI tentunya akan menghalangi cita-cita Nasakom Soekarno. Tentunya berbagai pihak pada saat itu tidak suka dengan kedekatan Soekarno terhadap PKI. Adapun tujuan Soekarno merangkul PKI adalah untuk mengimbangi tekanan angkatan darat dan tentunya memuluskan doktrin Nasakom.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi seperti inilah, Presiden Soekarno akhirnya berniat untuk mengganti posisi sejumlah petinggi angkatan darat yang dianggap tidak loyal terhadap dirinya dengan cara ‘daulat’. Sayangnya rencana tersebut bocor kepada pihak ketiga, salah satunya adalah kepada pihak PKI. Sehingga rencana ‘daulat’ tersebut ditebengi oleh sejumlah pihak. Dengan demikian karena satu dan lain hal, proses ‘daulat’ yang semula direncanakan berlangsung lancar, malah berubah menjadi peristiwa pembantaian jenderal-jenderal angkatan darat pada tanggal 30 September 1965.
Berubahnya proses ‘daulat’ menjadi peristiwa pembataian menurut Salim Said dapat dijelaskan melaui 3 skenario. Kali ini aku hanya akan memberitahukan skenario yang menurut Salim Said paling masuk akal. Pembunuhan terhadap sejumlah jenderal di rumahnya masing-masing terjadi karena kepanikan prajurit di lapangan mengingat adanya perlawanan oleh sejumlah jenderal yang akan diculik. Pembunuhan memang tak terhindarkan karena persiapan penculikan tidak dilakukan dengan perencanaan yang teliti dan seksama.
ADVERTISEMENT
Banyak fakta menarik yang disajikan dalam buku ‘Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto. Sobat sekalian bisa membaca semua analisa Salim Said secara lengkap pada buku tersebut. Ada banyak lagi buku-buku menarik lainnya mengenai catatan-catatan pengalaman para pelaku sejarah di kisaran waktu 1965. Tentunya buku-buku tersebut akan membuka perspektif baru bagi kita. Pesan aku pribadi terhadap diriku sendiri adalah jadilah bijak memandang segala sesuatu. Jangan pernah kita terlalu cepat menghakimi perkara sebelum kita memahami betul fakta-fakta yang mendukungnya. Jangan pernah menyimpulkan sesuatu berdasarkan informasi yang belum pernah divalidasi kebenarannya. Terakhir, sekelam apapun masa lalu bangsa kita, persatuan Republik Indonesia adalah yang nomor satu saat ini.