Konten dari Pengguna

Kontroversi Selimut Basotho, Mungkinkah Sebuah Budaya Dijadikan Merek Dagang?

Ari Ulandari
Kadang kita tidak sadar bahwa kalimat-kalimat sederhana dapat sangat mempengaruhi hidup seseorang
4 Oktober 2017 22:04 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ari Ulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang desainer asal Kota Cape Town, Afrika Selatan, merancang pakaian yang terinspirasi dari cara berpakaian tradisional orang-orang Lesotho. Berbagai fashion yang dihasilkan oleh Makhetha meliputi mantel trendi, jas, celana panjang, dan rok.
ADVERTISEMENT
Orang-orang di Lesotho berpakaian tradisional dengan menggunakan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Selimut ini dikenal dengan sebutan basotho. Selimut ini terbuat dari bahan wol tebal. Pada permukaannya terdapat berbagai motif beraneka warna dan rumit yang bercerita tentang berbagai sejarah penduduk basotho. Bahan ini biasa digunakan sebagai syal pada acara-acara khusus dan dijadikan sebagai cinderamata.
Makhetha sangat terinspirasi dengan tradisi ini. Ia telah mengubahnya menjadi berbagai kreasi modern sejak 6 tahun yang lalu. Pada awalnya ia membuat sebuah jas bermodelkan selimut basotho untuk dirinya sendiri. Jas itu ia kenakan saat menghadiri Juli Durban, sebuah acara pacuan kuda di Afrika Selatan. Tidak disangka hasil kreasinya itu mendapat banyak sekali pujian.
Jas itu kemudian menjadi sangat terkenal. Lantas ia berfikir mengapa tradisi-tradisi seperti ini tidak digunakan dalam kehidupan modern. Ia mengatakan, sebagaimana dilansir oleh BBC, bahwa mengapa orang-orang ketika pindah ke kota cenderung untuk meninggalkan budayanya.
ADVERTISEMENT
Makhetha kemudian merancang berbagai pakaian sehingga orang-orang dapat mengenakan selimut basotho dalam tataran global, acara-acara formal, dan acara keluarga.
Maketha bukan satu-satunya pihak yang melihat potensi fashion pada selimut basotho.
Pada tahun 2012, salah satu merek mewah yang terkenal dari Perancis, Lous Vuitton, meluncurkan model pakaian yang didesain untuk koleksi musim gugur atau musim dingin dalam bentuk syal lebar yang terinspirasi dari pola basotho.
Tahun 2017 ini, merek tersebut kembali meluncurkan koleksi terbaru bertajuk ‘kain basotho’. Satu stel pakaian meliputi kemeja dengan motif bergaya basotho. Kemeja pria berbahan sutera tersebut dihargai lebih dari 2.400 dolar atau sekitar 32 juta rupiah.
Pakaian-pakaian tersebut habis terjual di Afrika Selatan, meskipun menuai banyak kritik. Makhetha mengatakan bahwa sebaiknya Louis Vuitton berkolaborasi dengan penduduk basotho ketika mengembangkan produknya. Ia juga menambahkan bahwa seringkali dijumpai banyak merek-merek fashion terkenal yang menggunakan berbagai hasil kebudayaan sebuah tempat untuk dijadikan benda-benda fashion tanpa berkomunikasi terlebih dahulu dengan penduduk di mana kebudayaan itu berasal. Sebaiknya merek-merek terkenal seperti itu melibatkan masyarakat pemilik budaya yang ia pinjam. Sebuah perubahan cara pandang perlu dilakukan.
Masalahnya adalah tidak sedikitpun pihak-pihak pengguna tersebut memberikan penghargaan atau kompensasi finansial atas produk-produk yang mereka hasilnya.
ADVERTISEMENT
Pihak-pihak yang pro terhadap apa yang dilakukan perusahaan semacam Louis Vuitton berpendapat bahwa belum tentu suatu kebudayaan itu asli berasal dari daerah yang kini dikenal sebagai pengguna tradisi tersebut. Sebagai contoh lilin yang banyak digunakan oleh masyarakat Afrika Barat dan Tengah aslinya berasal dari Belanda. Pada saat itu sebenarnya lilin-lilin tersebut akan dipasarkan ke Indonesia.
Adam Haupt dari Universitas Cape Town mengatakan bahwa bahasa dan budaya adalah sebuah hasil persilangan. Seringkali kebudayaan dibangun dengan melibatkan banyak pengaruh. Oleh karena itu susah sekali untuk mengatakan bahwa suatu tradisi asli berasal dari Afrika atau Eropa.
Isu ini lebih baik dilihat dari perspektif hubungan antar kekuatan global, utamanya antara masyarakat yang melakukan kolonisasi terhadap dunia selatan dan orang-orang yang secara poltik dan ekonomi tereksploitasi dan terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Banyak kalangan artis dan desainer yang berargumen bahwa dalam dunia yang semakin mengglobal, terinspirasi akan sebuah budaya yang berbeda tidak dapat diartikan sebagai bentuk eksplotasi terhadap budaya tersebut.
Salah satu desainer asal Thailand yang telah menetap di Afrika Selatan selama 15 tahun terakhir berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh merek dagang Louis Vuitton tidak dimaksudkan sebagai bentuk niat jahat. Motif yang mereka gunakan memang terinspirasi dari motif selimut basotho, tetapi mereka menciptakan sesuatu yang berbeda dalam produk yang mereka buat.
Pakar hak kekayaan intelektual, Caroline Ncuba, mengatakn bahwa hukum tidak memberi ruang bagi kita untuk memiliki secara pribadi sebuah warisan kebudayaan.
Makhetha menambahkan bahwa langkah yang dapat dilakukan oleh penduduk Afrika adalah melakukan kontrol atas budaya yang mereka miliki. Hal ini termasuk cara bagaimana mereka memahami dan menggunakan budaya tersebut. Ada banyak orang Afrika yang tidak bangga dengan budaynya sendiri. Seharusnya penduduk Afrika harus sadar bahwa budaya mereka sangatlah berharga. Dengan demikian berbagai kreatifitas dapat muncul dari dalam masyarakat itu sendiri.
ADVERTISEMENT