Konten dari Pengguna

Diplomasi 'Politik Meja Makan' Jokowi

Arie Purnama
Dosen ilmu komunikasi Universitas Bandar Lampung.
25 Februari 2024 0:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Purnama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Diplomasi diatas Meja Makan Ala Jokowi. Sumber (Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Diplomasi diatas Meja Makan Ala Jokowi. Sumber (Foto: Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi telah beberapa kali menggunakan strategi "politik meja makan". Mulai dari masa jabatannya sebagai Wali Kota Solo, lalu Gubernur DKI Jakarta, hingga dua periode sebagai Presiden. Komunikasi politik meja makan ala jokowi ini sangat efektif meraih simpati masyarakat. Melalui kenikmatan rasa makanan, Jokowi berhasil mendapatkan kekaguman dari tamu undangannya.
Lantas dari manakah asal-muasal istilah politik meja makan ini?Diplomasi kuliner merupakan bagian dari diplomasi publik yang juga tergolong dalam soft diplomacy. Diplomasi kuliner pertama kali diperkenalkan oleh Paul S Rockower, seorang ahli gastronomi yang lulus dari University of Southern California dan kini bekerja sebagai konsultan internasional yang membantu negara-negara dalam membangun merek kuliner nasional yang efektif. Menurut Sam Chapple-Sokol, seorang mantan chef pastry di Gedung Putih, terdapat tiga jenis diplomasi kuliner.
ADVERTISEMENT
Pertama adalah Diplomasi Kuliner Track I, yang melibatkan pertemuan resmi antar pemerintahan seperti antara presiden dan para menteri, atau pertemuan antara presiden dan pemimpin parlemen atau partai politik serta makan malam dengan pemerintahan negara lain. Kedua adalah Gastrodiplomasi, yang melibatkan upaya pemerintah untuk mempengaruhi opini publik di luar negeri, dengan tujuan membangun daya tarik budaya suatu negara, mempromosikan perdagangan dan pariwisata, serta mendukung pertukaran budaya. Ketiga adalah diplomasi kuliner masyarakat, yang melibatkan pertemuan antara pemerintah dan warga negara, dengan tujuan yang bervariasi mulai dari menyelesaikan masalah lokal hingga nasional, hingga mendengarkan ide dan aspirasi warga negara.
Diplomasi kuliner di meja makan memberikan kesempatan untuk berbicara secara santai sambil menikmati hidangan lezat. Diplomasi kuliner adalah bagian dari diplomasi publik yang termasuk dalam kategori diplomasi lunak. Pasca Pemilu 2024 Jokowi makan bareng Surya Paloh di Istana Negara pada Minggu (18/02).
ADVERTISEMENT
Kejadian ini memicu banyak reaksi, mulai dari dugaan bahwa Surya Paloh dan Partai NasDem diajak masuk koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran hingga penaklukan Surya Paloh agar dapat menerima kekalahan dalam kontestasi Pilpres 2024. Saat ditanya oleh awak media Jokowi mengatakan "Saya ingin menjadi jembatan untuk semuanya, urusan politik itu urusan partai. Pertemuan tentunya bermanfaat bagi perpolitikan kita, bagi bangsa dan negara. Menurut Koordinator Staf Khusus Kepresidenan Arie Dwipayana, pertemuan keduanya membicarakan tentang berbagai hal soal tantangan global, termasuk yang terkait dinamika politik dan pemilu. Reaksi ini bukan tidak berdasar, dalam penjelasannya Jokowi menyebut dirinya sebagai jembatan untuk urusan partai-partai serta menunjukan bahwa dia tetaplah sebagai " real king maker".
Hal ini segera dibantah oleh Ketua DPP Nasdem, Willy Aditya, menuturkan pertemuan itu hanya membahas dinamika politik yang berkembang saat ini.
ADVERTISEMENT
Jangan menyalahkan spekulasi yang tersebar di kalangan publik, karena pola yang digunakan oleh Jokowi telah terlihat sejak awal kariernya di dunia politik. Semua ini menunjukkan arah politik akomodatif, di mana tujuannya adalah untuk mengamankan dukungan parlemen demi kekuasaan dan kemenangan Prabowo-Gibran. Bahkan dalam pertemuan tersebut, terjadi klaim saling menuduh antara pihak Nasdem yang mengatakan bahwa Surya Paloh diundang oleh Jokowi, sementara pihak Jokowi mengklaim bahwa Surya Paloh yang meminta bertemu.
Ketegangan semakin meningkat dengan munculnya wacana hak angket dan Interpelasi dari kubu Ganjar yang mengganggu ketenangan Jokowi, sehingga Jokowi segera mengambil langkah taktis di atas meja makan. Para calon peserta pemilu yakin bahwa ada kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Wacana ini disambut baik oleh Anies Baswedan, yang menyatakan keyakinannya bahwa Koalisi Perubahan, yang terdiri dari Partai NasDem, PKB, PKS, akan bersedia bergabung bersama.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Jokowi melakukan resuffle dengan menunjuk Agus Harimurti sebagai Menteri ATR/BPN, yang juga merupakan langkah persiapan Jokowi menghadapi wacana hak angket Pemilu di DPR. Potensi politik akomodatif ini tidaklah tanpa dasar, karena dalam pidato kemenangannya, Prabowo Subianto berkomitmen untuk merangkul semua "potensi bangsa" ke dalam pemerintahannya. Kita juga mengetahui bahwa Jokowi merupakan penentu kebijakan utama bagi Pasangan Prabowo-Gibran. Harapan besar dalam pemilu ini adalah terwujudnya keseimbangan dalam pemerintahan dengan kehadiran pihak oposisi.
Kehadiran oposisi penting, karena tanpa mereka tidak akan ada mekanisme checks and balances yang diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan pemerintah dikontrol dengan ketat. Jokowi perlu menyadari bahwa demokrasi tidak hanya tentang mencapai konsensus politik, tetapi juga melibatkan adanya disensus atau ketidaksepakatan yang memungkinkan perbaikan terus-menerus. Oleh karena itu, keberadaan oposisi merupakan salah satu cara untuk merawat kesehatan demokrasi. Jangan jadikan meja makan menjadi alat tukar politik dengan maksud terselubung dibawah meja.
ADVERTISEMENT