Konten dari Pengguna

Patronase dan Korporasi dalam Sejarah Pilkada Lampung

Arie Purnama
Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Lampung-Konsentrasi Komunikasi Politik-Alumni Int.Class Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
18 Mei 2024 9:03 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Purnama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Patronase dan Korporasi dalam Sejarah Pilkada Lampung. Sumber (Pixabay).
zoom-in-whitePerbesar
Patronase dan Korporasi dalam Sejarah Pilkada Lampung. Sumber (Pixabay).
ADVERTISEMENT
Dalam Komunikasi politik, dikenal istilah patronase. Konsep Politik patron-klien berangkat dari teori pertukaran sosial, yang menyatakan bahwa ketidak seimbangan dalam masyarakat terhadap materi dan keadaan sosial menghasilkan perbedaan dalam kekuasaan. Menurut George C. Homans istilah “patron” berasal dari bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang, dan pengaruh. Sementara itu, klien berarti “bawahan” atau orang yang diperintah atau yang disuruh (Subadi, 2008).
ADVERTISEMENT

Sejarah Patron-Klien

Sejarah patronisme di Indonesia dimulai sejak zaman kerajaan, di mana mayoritas kerajaan di Indonesia menganut kepercayaan Hindu (Detik.com,2010). Dalam kepercayaan Hindu, dikenal dengan pembagian kelas sosial, di mana kasta Brahmana merupakan patron utama. Superioritas kasta ini mampu menentukan arah kebijakan raja-raja.
Pasca runtuhnya kerajaan di Indonesia, muncul penjajah dari VOC yang melanjutkan superioritas patron. Mereka menganggap ras kulit putih (Eropa) lebih superior dibanding dengan kaum pribumi. Pembagian kelas juga terjadi di era ini, dengan kelas atas terdiri dari orang-orang Eropa, kelas menengah meliputi orang-orang Timur Asing seperti Cina, Arab, dan India, serta kelas bawah yang terdiri dari orang-orang pribumi asli (Ricklefs, 2008).
Tanpa kita sadari, budaya ini masih mengakar hingga saat ini, terutama dalam bidang politik di Indonesia. Budaya laten ini mulai dipertontonkan lagi dalam pesta politik yang baru saja usai di 14 februari 2024 yang lalu. Jokowi sebagai patron politik mampu nendudukan putra sulungnya bersanding dengan Prabowo.
ADVERTISEMENT

Lantas apakah fenomena ini juga akan berdampak dalam kontestasi pilkada yang akan berlangsung di bulan November ini?

Penulis melihat fenomena ini sudah mulai mengemuka di beberapa daerah di Indonesia terutama di Provinsi Lampung. Sebuah analisa dari penulis berdasarkan fakta dan literasi media yang berkembang terkait dengan fenomena ini. Budaya patronase masih mengakar di daerah Lampung baik pribumi maupun pendatang.
Budaya patronase di sini banyak terkait dengan kondisi sosial ekonomi yang relatif terbatas sehingga membutuhkan pemimpin sebagai” pelindung” yang mengayomi terutama dalam konteks sosial dan ekonomi. Patronisme dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di Lampung mencerminkan pola hubungan patron-klien yang kuat.
Dalam konteks ini, calon pemimpin (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya mereka untuk mendapatkan dukungan dari para pemilih (klien). Praktik patronisme ini berakar dari sejarah sosial-politik Indonesia dan terlihat jelas dalam dinamika politik lokal di Lampung. Lampung memiliki sebaran pemilih pemilu mayoritas beretnis Jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Pada masa Orde Baru, Gubernur Lampung selalu berasal dari suku Jawa. Namun, setelah reformasi, muncul sentimen putra daerah dan orang asli Lampung, yang menyebabkan perubahan dinamis dalam komposisi pemimpin daerah setiap pilkada. Dalam berbagai pemilihan, perpaduan antara suku Jawa dan suku Lampung atau sebaliknya tampak menjadi jurus wajib dalam pencalonan.
Untuk tingkat provinsi, calon gubernur biasanya berasal dari suku Lampung asli. Pasangan Arinal Junaidi dan Chusnunia merupakan representasi dari pola tersebut (2019-2024). Arinal berlatar suku lampung, sedangkan Nunik (Chusnunia) merupakan etnis jawa.
Diperkuat lagi Nunik mendapatkan dukungan penuh dari ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Pemilih-pemilih di Lampung bersifat pragmatis dan rasional yang menghitung untung rugi secara ekonomis. Sehingga membuat politik uang dan patronisme masih sangat kuat membendung arus meritokrasi kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Banyak pengusaha berbondong-bondong menjadi bohir dari calon-calon kepala daerah,baik tingkat kabupaten, kota,sampai provinsi. Mereka mengharapkan kelancaran usaha dan bisnis yang berkelanjutan.
Mirisnya lagi pengusaha di Lampung juga ikut dalam kontestasi memperebutkan kekuasaan sebagai kepala daerah. Setali tiga uang, selain mendapatkan kekuasaan mereka juga berusaha melanggengkan kekuasaan sebagai dinasti politik.
Lord Acton melihat kekuasaan yang absolut akan menimbulkan korupsi yang absolut pula. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dinasti politik cenderung memiliki kekuasaan yang besar serta mengakar, sehingga kecenderungan perilaku korupsi juga terbuka. Menjadi patron memang sangat menggoda sehingga segala cara dihalalkan untuk meraih superioritas di daerah.
Dalam satu dekade terakhir, pemilihan kepala daerah di lampung tidak pernah lepas dari pengaruh raja gula Indonesia Sugar Group Company yang aktornya biasa disebut nyonya Lie. Contohnya pada Pemilukada tahun 2014 terdapat istilah baru ‘Politik Gula’ yakni salah satu calon di bohiri oleh Sugar Group (Ridho-bachtiar). Dilanjutkan 2018 (Arinal-Nunik) yang merupakan asuhan dari patron yang bernama Sugar Group.
ADVERTISEMENT
Kampanye politik yang didukung oleh modal korporasi mampu meningkatkan elektabilitas calon gubernur yang awalnya kurang dikenal menjadi populer melalui berbagai kegiatan "kampanye politik berhadiah." Hadiah yang diberikan sangat beragam, mulai dari alat kerja pertanian, sapi, hingga kendaraan bermotor.
Bahkan dana yang dihabiskan mencapai ratusan juta/hari untuk menarik pemilih dengan gimmick-gimmick yang unik. Kecenderungan dukungan pemilik modal korporasi gula di Lampung berpotensi besar dalam memenangkan pemilihan terhadap calon tertentu.
Saat ini para calon kepala daerah mulai bermunculan baik kabupaten kota ataupun provinsi di lampung. Calon-calon tersebut berlatar belakang yang beragam, Mulai dari Istri petahana, Adik,Ipar, bahkan anak emas kebun gula yang dapat dititipkan kepentingan.
Ada beberapa calon yang mulai menggema khusunya dalam kontestasi pemilihan Gubernur Lampung. Mulai dari Rahmat Mirzani Djausal yang merupakan anggota dewan provinsi,ia merupakan anak dari pengusaha “raja” konstruksi lampung Faisal Djausal. Mirzani dianggap sebagai kader potensial setelah berhasil membawa Gerindra menjadi partai pemenang dalam pemilu legislatif Lampung tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Umar Ahmad, kader PDI-P yang pernah menjabat Bupati Tulang Bawang Barat selama dua periode, 2014-2017 dan 2017-2022. Sebelumnya, ia menjabat Wakil Bupati Tulang Bawang Barat periode 2011-2014 yang di gadang sebagai anak emas kebun. Lantas Hanan A Rozak yang merupakan Anggota DPR-RI dari Golkar serta mantan Bupati Tulang Bawang yang terindikasi juga sebagai anak emas kebun.
Bahkan mantan anak emas kebun, Ridho Ficardo yang merupakan mantan Gubernur 2014-2019. Herman Hn mantan Walikota Bandar Lampung yang juga ketua DPW NasDem. Herman menjabat sebagai Wali Kota Bandar Lampung selama dua periode, yaitu tahun 2010-2015 dan tahun 2016-2021. Khusus untuk Arinal sang petahana, nampaknya kebun mulai renggang dan meninggalkan arinal dan juga ia bersaing dengan Hanan yang sudah mengantongi rekomendasi dari Golkar.
ADVERTISEMENT
Dengan pengamatan penulis terkait beberapa calon tersebut, maka dapat dipastikan patron SGC sangat dinanti untuk menyokong calon. Tanpa kita sadari budaya money politik dan dukung-mendukung bohir sangat kentara dan terang-terangan khususnya di provinsi lampung. Maka tidak heran siapa pun yang akan duduk sebagai pemimpin tetap akan tersandera dengan janji dan utang budi. Miris memang apabila kita melihat dari kacamata pemilih yang rasional.

Dampak politik korporasi di lampung dalam pilkada 2024

Ketika korporasi ini mendukung kandidat tertentu dalam Pilkada, ada kemungkinan besar bahwa kebijakan publik yang dihasilkan setelah pemilihan akan lebih menguntungkan bagi bisnis tersebut. Hal Ini dapat meliputi terkait pengembangan Infrastruktur yang mendukung operasi korporasi, seperti jalan raya, pelabuhan, dan fasilitas lainnya.
ADVERTISEMENT
Regulasi dan Izin yang mempermudah proses perizinan dan regulasi lingkungan yang lebih longgar untuk proyek-proyek korporasi. Selain itu Peningkatan risiko korupsi dan kolusi antara pejabat terpilih dan korporasi. Sehingga Kandidat yang didukung oleh korporasi besar mungkin memiliki keuntungan yang tidak adil dibandingkan kandidat independen atau dari kelompok masyarakat yang lebih kecil.
Keterlibatan korporasi dalam politik juga bisa mempengaruhi tingkat partisipasi publik dan kepercayaan terhadap sistem pemilu. Jika masyarakat melihat bahwa pemilu lebih menguntungkan korporasi besar dibandingkan dengan rakyat biasa, sehingga dapat menyebabkan apatisme politik. Ditandai dengan penurunan partisipasi pemilih karena merasa suaranya tidak berpengaruh sehingga mendeligitimasi integritas pemilu.
Dampak politik korporasi dalam Pilkada 2024 di Lampung mencerminkan fenomena patronase yang mengakar dalam sejarah sosial-politik Indonesia. Dukungan korporasi besar terhadap kandidat tertentu dalam Pilkada membawa sejumlah implikasi yang kompleks, baik dari segi kebijakan publik, ekonomi, sosial, maupun dinamika politik lokal.
ADVERTISEMENT
Pengaruh korporasi juga mendorong munculnya dinasti politik, di mana keluarga dan kerabat petahana serta pengusaha besar berusaha melanggengkan kekuasaan. Hal ini menimbulkan kekuasaan yang mengakar dan kecenderungan perilaku korupsi yang lebih tinggi.
Dalam Pilkada Lampung 2024 menunjukkan bahwa korporasi memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan hasil pemilihan dan kebijakan publik selanjutnya. Fenomena ini menjadi tantangan besar bagi integritas demokrasi, partisipasi politik yang sehat, dan keadilan sosial.
Oleh karena itu, diperlukan pengawasan ketat dan regulasi yang kuat untuk memastikan bahwa kepentingan publik tetap menjadi prioritas utama dalam setiap proses politik. Siapa pun calon yang akan maju, publik berharap tokoh-tokoh tersebut bisa membawa Lampung ke arah yang lebih berkembang. Berbagai masalah, seperti jalan yang rusak, konflik tanah, dan isu lingkungan, juga menunggu untuk ditangani.
ADVERTISEMENT