Konten dari Pengguna

Politik "Oke Gas" Ugal-ugalan Prabowo

Arie Purnama
Dosen ilmu komunikasi Universitas Bandar Lampung.
8 Februari 2025 10:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Purnama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Politik Oke-Gas, Ugal-Ugalan Prabowo-Gibran. Sumber (Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Politik Oke-Gas, Ugal-Ugalan Prabowo-Gibran. Sumber (Pixabay)
ADVERTISEMENT
Pemilihan Presiden 2024 dengan jargon "Oke Gas-Oke Gas" yang digaungkan oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memang menarik perhatian banyak pihak. Kini, setelah lebih dari 100 hari pemerintahan, berbagai program mulai diimplementasikan. Salah satunya adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi janji politik keduanya. Pada 6 Januari 2025, program ini dimulai dan telah menyasar 650.000 penerima manfaat di 31 provinsi. Presiden Prabowo bahkan meminta agar pelaksanaannya dipercepat, agar lebih banyak rakyat yang bisa merasakannya, dengan harapan MBG bisa meningkatkan kualitas gizi dan kecerdasan generasi muda Indonesia, sehingga pada 2045 Indonesia dapat mencapai status "Indonesia Emas".
ADVERTISEMENT
Namun, apakah program MBG ini benar-benar dapat membawa dampak positif bagi kualitas pendidikan dan kecerdasan anak bangsa, atau hanya sekadar langkah politis yang memanfaatkan kebutuhan dasar masyarakat sebagai alat untuk memperoleh dukungan politik? Ini menjadi pertanyaan yang patut diajukan, mengingat dampak dari kebijakan ini dapat meluas ke berbagai aspek lainnya dalam pemerintahan.
Salah satu dampak yang paling terasa adalah pemotongan anggaran besar-besaran yang dilakukan di berbagai kementerian dan badan pemerintahan. Pemotongan anggaran ini bervariasi antara 50% hingga 80%, dengan yang paling mencolok terjadi pada sektor infrastruktur, yang mengalami pemotongan hingga 74%. Bahkan, anggaran untuk Ibu Kota Negara (IKN) yang semula dijadikan prioritas oleh Prabowo selama kampanye, juga mengalami pengurangan besar-besaran hingga 75%.
ADVERTISEMENT
Pada masa kampanye, Prabowo selalu menegaskan bahwa melanjutkan pembangunan IKN adalah bagian dari skala prioritasnya, namun setelah berkuasa, kebijakan yang diambil seolah mengingkari komitmen tersebut. Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama mengenai konsistensi janji-janji yang telah disampaikan.
Selain masalah anggaran, munculnya kasus pagar laut di Tangerang juga semakin memperburuk citra pemerintahan Prabowo-Gibran. Kasus ini mencuat setelah diduga ada kaitannya dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang terafiliasi dengan pengusaha yang memiliki Pantai Indah Kapuk (PIK). Ketika kasus ini mencuat, banyak pihak merasa bahwa kebijakan tersebut tidak sejalan dengan janji Prabowo yang selalu menegaskan bahwa kebijakan yang diambil harus mengutamakan kepentingan rakyat, bukan hanya untuk kelompok tertentu. Kasus ini menyiratkan adanya praktik-praktik politis yang memperburuk citra pemerintah.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengatur hilirisasi Gas 3 kg juga menjadi sorotan. Pihak pengecer tidak diperkenankan lagi menjual ke end user (pembeli), sehingga masyarakat harus mengantre dari pangkalan Gas yang tersedia. Kebijakan ini mengakibatkan kelangkaan dan ketidakstabilan pasokan gas di masyarakat, yang pada gilirannya membuat rakyat kecil merasa dirugikan. Meskipun kebijakan tersebut akhirnya dicabut, pernyataan dari pihak Gerindra yang menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan merupakan kebijakan langsung dari Presiden Prabowo semakin memperburuk keadaan. Bagaimana mungkin kebijakan yang menyangkut kebutuhan dasar masyarakat bisa dilepaskan begitu saja dari tanggung jawab pemerintah? Hal ini mencerminkan adanya masalah serius dalam komunikasi dan koordinasi antar kementerian.
Melihat perkembangan ini, berdasarkan analisa saya ada beberapa hal yang perlu dicermati; kemungkinan besar masalah ini terjadi karena panjangnya jalur komunikasi antara presiden, kabinet, dan kementerian. Dengan adanya jalur komunikasi yang panjang, koordinasi antar lembaga menjadi minim dan kebijakan yang diambil tidak selalu mencerminkan kebijakan pusat yang terkoordinasi dengan baik. Selain itu, banyak pihak yang mencurigai bahwa kabinet yang dibentuk oleh Prabowo lebih mengutamakan kepentingan politis dan balas budi kepada para tokoh yang mendukungnya selama pemilu, sehingga mengorbankan kepentingan rakyat.
ADVERTISEMENT
Kabinet Gemoy Prabowo, yang menjadi bahan perbincangan di kalangan publik, ternyata masih memertahankan 17 orang menteri dari era sebelumnya, yang seolah menunjukkan bahwa tujuan utama pemerintah adalah mengamankan posisi-posisi strategis, bukan menjalankan pemerintahan untuk kepentingan rakyat. Hal ini tentu saja mengundang kritik, karena kualitas kabinet dan keputusan-keputusan yang diambil sangat dipengaruhi oleh siapa yang memegang posisi tersebut.
Tarik-menarik kepentingan politik dan permainan untuk mengamankan posisi seolah menjadi prioritas utama. Dalam kondisi seperti ini, pemerintahan yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan rakyat bisa berpotensi mengalami kerusakan sistemik. Banyak kebijakan yang lebih berorientasi pada pencapaian tujuan politik jangka pendek, bukan solusi konkret yang berfokus pada perbaikan ekonomi dan sosial bagi seluruh rakyat. fenomena ini seolah mengingatkan kita dengan kutipan dari Presiden Soekarno
ADVERTISEMENT
Dampak dari kebijakan-kebijakan yang tidak terkoordinasi ini bisa sangat besar, bahkan berpotensi menciptakan masalah yang lebih kompleks di masa depan. Salah satunya adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Jika terus berlanjut, situasi ini bisa menciptakan ketegangan sosial dan politik, yang pada akhirnya akan merugikan Indonesia dalam jangka panjang.
Penting untuk diingat bahwa pemerintahan yang efektif bukan hanya soal memenuhi janji kampanye, tetapi juga soal membangun sistem yang dapat merespons kebutuhan masyarakat dengan bijaksana dan terukur. Jika pemerintah terus terjebak dalam politik praktis dan pertarungan kekuasaan, maka tidak akan ada kemajuan yang signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Program-program seperti MBG harus diimbangi dengan kebijakan yang terarah dan berkelanjutan. Pengalokasian anggaran untuk sektor-sektor penting seperti infrastruktur dan pendidikan harus tetap menjadi prioritas, meski harus ada penyesuaian dalam menghadapi tantangan ekonomi. Pemerintah harus mampu mengelola sumber daya secara optimal, dengan tetap mengutamakan kepentingan rakyat dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya berdasarkan kebutuhan politis semata, tetapi juga demi kemajuan bangsa.