Deliberasi Virtual dalam Perumusan Kebijakan New Normal

Arie Hendrawan
Seorang pendidik. Memiliki ketertarikan terhadap isu-isu pemerintahan terbuka, demokrasi digital, kebijakan pendidikan, dan pendidikan kewarganegaraan.
Konten dari Pengguna
1 Juni 2020 18:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Hendrawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gaung kebijakan kenormalan baru (new normal) semakin kencang menggema di tengah masa pandemi virus corona belakangan ini. Kendati grafik kasus COVID-19 di Indonesia belum melandai atau turun secara ekstrim, Presiden Joko Widodo (27/5) sudah menginstruksikan sosialisasi protokol new normal dari Kementerian Kesehatan secara masif. Pemerintah meyakini, dengan sosialisasi secara masif, indeks R0 dan Rt yang merujuk pada angka reproduksi virus Corona akan semakin menurun.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, ada 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota yang bersiap untuk memasuki era new normal, di antaranya adalah provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Gorontalo, Sumatera Barat, Kota Pekanbaru, Kota Tangerang Selatan, Kota Surabaya, serta kabupaten/kota-kota lain di luar empat provinsi tersebut. Untuk memastikan masyarakat menerapkan protokol kesehatan dalam rangka persiapan new normal, personel TNI dan Polri juga akan dikerahkan ke berbagai wilayah yang telah ditetapkan.
Kota Semarang sendiri sebagai ibu kota provinsi Jawa Tengah tidak termasuk dalam daftar daerah rintisan new normal tersebut. Meskipun demikian, masih terbuka peluang bagi Kota Semarang dan juga daerah-daerah lain jika hendak mengusulkan pemberlakuan new normal untuk menggantikan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Deliberasi Virtual

Oleh karena itu, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi (Hendi), dalam akun-akun resmi media sosialnya (27/5) membahas kemungkinan penerapan new normal—yang artinya mengakhiri masa Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM). Dalam postingannya, Hendi meminta warga memberikan masukan secara terbuka tentang model new normal yang ideal di kolom komentar. Tidak berselang lama, postingan itu langsung dibanjiri oleh ribuan respons dari warganet, baik di Facebook, Twitter, maupun Instagram.
Ilustrasi Media Sosial. Gambar berlisensi CC diambil dari Pexels.
ADVERTISEMENT
Deliberasi merupakan bagian dari konsep demokrasi deliberatif yang mempunyai arti konsultasi, menimbang-nimbang, atau musyawarah (Hardiman, 2009). Lalu, mengapa disebut virtual? Sebab, deliberasi dilakukan bukan di ruang publik fisik, melainkan di ruang publik virtual, yaitu media sosial. Saat ini, berkat perkembangan teknologi digital, ruang publik memang tidak hanya terbatas secara fisik.
Deliberasi virtual yang seleras dengan demokrasi deliberatif tersebut akan mampu meningkatkan “intensitas” partisipasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan new normal, sehingga ada kesesuaian harapan antara yang diperintah (warga) dengan yang memerintah (pemerintah). Pada akhirnya, jika deliberasi virtual berjalan dengan baik, maka kebijakan new normal Pemerintah Kota Semarang akan lebih legitimatif, yang berarti bisa lebih diterima dan dipatuhi oleh masyarakat sendiri.

Syarat Keberhasilan

Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam upaya pengambilan keputusan secara deliberatif melalui deliberasi virtual di atas. Pertama, terkait dengan proses deliberasi. Argumen dari masyarakat harus didukung oleh landasan data yang komprehensif dan akurat. Untuk itu, sebelumnya, pemerintah perlu memberikan asupan informasi yang memadai kepada masyarakat mengenai “cetak biru” (blue print) rencana penerapan new normal yang disertai potensi dan risiko impelementasi kebijakan.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, argumen harus dipenuhi oleh pertentangan untuk mencari gagasan yang berimbang dan tidak merugikan pihak manapun. Di samping itu, para warga harus mau bicara dan menanggapi dengan sopan serta menilai argumen tanpa melihat bagaimana argumen dibuat atau oleh siapa dibuat (meritokrasi). Terakhir, semua sudut pandang dari mayoritas populasi harus mendapatkan perhatian. Di sini pentingnya moderasi dari operator yang bisa dijalankan oleh pusat pelayanan pengaduan daerah.
Sementara itu, kedua, terkait dengan ruang publik sebagai infrastruktur deliberasi. Pemerintah wajib menjamin bahwa ruang publik yang ada memungkinkan formulasi opini yang bebas. Kemudian, semua warga mempunyai akses dan tidak dibatasi untuk mengemukakan pendapat. Maknanya, tidak boleh ada intervensi kekuasaan tertentu terhadap argumen selama itu bersifat substantif. Sebagai pemungkas, ruang publik harus mengakomodasi perdebatan, bukan pola komunikasi satu arah.
ADVERTISEMENT

Potensi dan Inspirasi

Berdasarkan uraian di atas, kita tentu sudah bisa membayangkan, betapa besarnya potensi dari ruang publik virtual dalam perumusan tatanan new normal. Terlebih lagi, ekosistem ruang publik virtual juga memiliki sejumlah keunggulan di masa-masa social distancing seperti sekarang. Antara lain, ruang publik virtual selalu terbuka, yang dapat dijangkau oleh siapapun, kapanpun, dan di manapun. Selain itu, ruang publik virtual sangat mendukung komunikasi interaktif (banyak arah).
Keberadaan ruang publik virtual sebagai “arena” deliberasi publik dalam perumusan kebijakan new normal juga meminimalisir monopoli pertimbangan kebijakan oleh elite, kelompok ahli (epistemic community), maupun organisasi wadah pemikir (think tank). Karena pada muaranya, setiap kebijakan publik akan ditujukan bagi masyarakat dan dijalankan oleh mereka.
ADVERTISEMENT
Kita berharap, model deliberasi virtual dalam perumusan kebijakan new normal yang telah digagas oleh Pemerintah Kota Semarang juga dapat menginspirasi pemerintah daerah lain, khususnya di luar daftar wilayah 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota di atas. Bagaimanapun, pemerintah daerah lain harus mulai mengambil ancang-ancang untuk mengantisipasi kebijakan new normal ke depan dari sekarang. Hal itu sekaligus akan mengoptimalkan akun-akun media sosial para kepala daerah sebagai kanal komunikasi publik.
Arie Hendrawan – Mahasiswa Magister Ilmu Politik Undip